Mengenal UU HKPD, Biang Kerok Lonjakan Pajak Hiburan hingga 75%

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/wsj.
Pengunjung bernyanyi dengan menerapkan jaga jarak di sebuah gerai karaoke, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (4/7/2020).
Penulis: Sorta Tobing
16/1/2024, 16.27 WIB

Kenaikan pajak hiburan menjadi 40% hingga 75% terus menuai protes. Penyanyi dangdut Inul Daratista dan pengacara Hotman Paris bersuara paling keras.

Kenaikan pajak itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah alias UU HKPD. Aturan ini disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Januari 2022. 

Dalam UU HKPD tertulis, pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan khusus paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Hiburan khusus itu seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap alias spa. 

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan akan memberikan insentif kepada para pengusaha. “Ini bagian dari desentralisasi fiskal. Namun, yang dirasakan oleh para pelaku usaha, jangankan (pajak) 40%, naik sedikit saja berat,” ucapnya kepada wartawan kemarin, Senin (15/1). 

SIMULASI PEMBUKAAN TEMPAT HIBURAN (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pras.)

Apa Itu UU HKPD?

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terbit untuk memperkuat desentralisasi fiskal. Melansir dari situs Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, terdapat empat pilar yang menjadi latar belakang aturan itu.

Keempat pilar tersebut mengurangi ketimpangan vertikal dan horizontal, penguatan local taxing power, peningkatan kualitas belanja daerah, serta harmonisasi belanja antara pemerintah pusat dan daerah. 

Aturannya fokus pada transfer berbasis kinerja, perbaikan pengelolaan belanja, dan upaya penguatan sinergi fiskal nasional. Pemerintah berharap langkah ini dapat memperkuat kualitas desentralisasi fiskal. 

Selain itu, kehadiran UU HKPD harapannya dapat menciptakan pengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. 

Tak hanya mengatur soal PBJT, undang-undang tersebut juga mengatur pajak lainnya. Pajak restoran, bahan bakar kendaraan bermotor, makanan/minuman, perhotelan, jasa parkir, reklame, rokok, air tanah, hingga sarang burung walet diatur dalam UU HKPD. 

SIMULASI PEMBUKAAN TEMPAT HIBURAN (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pras.)

Kenaikan Pajak Hiburan

UU HKPD menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan daerah alias Perda. Nah, dalam Pasal 58 ayat (2) tertulis, tarif PBJT atas hiburan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. 

Angka tersebut menjadi acuan pemerintah daerah dalam membuat Perda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan PBJT sebesar 40% mulai 2024. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Aturan itu diteken Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada 5 Januari 2024. Dalam Pasal 53 ayat (1) Perda ini tertulis, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap (spa) ditetapkan sebesar 40%. 

Apabila dibandingkan aturan sebelumnya, yaitu Perda Nomor 3 Tahun 2015 tarif pajak untuk diskotik, karaoke, kelab malam, bar, live music, musik dengan disc jockey (DJ) sebesar 25%. Sedangkan untuk panti pijat dan spa sebesar 35%. 

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menyebut besaran tarif pajak spa di provinsi ini idealnya 15%. Angkanya tidak jauh berbeda dengan pajak hotel dan restoran yang sebesar 10%. “Perbedaannya jangan terlalu ekstrem,” kata Ketua PHRI Bali Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati di Denpasar, dikutip dari Antara

Yang menjadi sulit, tarif pajak hiburan menjadi amanat undang-undang sehingga pemerintah daerah tidak dapat melakukan intervensi. Karena itu, upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi menjadi penting. PHRI Bali telah menempuh langkah tersebut. 

Sebelumnya, sesuai Perda Badung Nomor 8 Tahun 2020, besaran tarif pajak spa mencapai 15%. Namun, aturan daerah ini sudah tak berlaku lagi sejak 1 Januari 2024. 

Pj Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin telah meminta kabupaten dan kota di provinsinya untuk melakukan persiapan terkait kenaikan pajak hiburan. “Untuk daerah menyesuaikan saja. Tentunya kami berharap kota/kabupaten sudah ada perhitungan terkait ini,” ucapnya. 

Ia optimistis dengan pertimbangan pemerintah daerah, tidak akan memberikan efek penurunan minat masyarakat pada sektor pariwisata. “Kami terus berupaya agar pariwisata menjadi ekonomi yang tumbuh,” kata Bey.