Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, rasio utang pemerintah pada 2023 turun menjadi 38,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) dari sebelumnya sebesar 39,7% pada 2022.
“Rasio utang pemerintah mengalami penurunan menjadi 38,6% terhadap PDB,” kata Sri Mulyani dikutip dari Antara, Kamis (1/2).
Tercatat posisi utang pemerintah mencapai Rp 8.144,69 triliun, atau 38,59% terhadap PDB. Rasio utang tersebut masih berada di bawah batas aman 60% dari PDB sesuai dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Sejalan dengan konsolidasi fiskal dan pulihnya ekonomi nasional, pembiayaan utang pada 2023 juga dapat diturunkan dari target APBN tahun 2023 sebesar Rp 696,3 triliun menjadi Rp 407,0 triliun atau turun 41,5% dari 2022.
Menurut Sri Mulyani, penurunan pembiayaan utang tersebut menjadi strategi yang tepat di tengah lonjakan suku bunga dunia.
"Pembiayaan yang menurun tajam juga tetap dilaksanakan secara pruden dengan tetap menjaga keseimbangan antara biaya utang, risiko utang serta manfaat dari APBN secara keseluruhan," ujar Sri Mulyani.
Defisit Anggaran Jauh Lebih Rendah
Selain kinerja pembiayaan utang, terkendalinya risiko fiskal juga tercermin pada keseimbangan primer yang mencatatkan surplus senilai Rp 92,2 triliun. Capaian itu merupakan yang pertama kalinya sejak 2012.
Di samping itu, defisit anggaran juga tercatat jauh lebih rendah, menjadi 1,65% terhadap PDB dari target defisit 2,84%. “Risiko fiskal terkendali, tercermin dari keseimbangan primer yang mencatatkan surplus disertai strategi pembiayaan yang pruden,” ujar Sri Mulyani.
Kinerja APBN 2023 juga tetap kuat di tengah penurunan harga komoditas dan perekonomian global. Realisasi pendapatan negara mencapai Rp 2.774,3 triliun atau 112,6% dari target APBN, dengan penerimaan pajak yang melampaui target sebesar Rp 2.155,4 triliun, atau tumbuh 5,9% yoy.
Hal ini ditopang oleh kuatnya aktivitas ekonomi domestik serta efektivitas reformasi perpajakan yang diluncurkan pada akhir 2021. Rasio pajak tercatat sebesar 10,2% terhadap PDB.
Diikuti peningkatan kinerja PNBP mencapai Rp 605,9 triliun, terutama ditopang oleh optimalisasi pengelolaan SDA, peningkatan kinerja BUMN, dan inovasi layanan pada berbagai kementerian/lembaga (K/L).
Selain itu, belanja negara terserap optimal sehingga mampu menjaga kinerja perekonomian nasional di tengah berbagai tantangan dan mendukung agenda pembangunan. Tercatat penyerapan belanja negara mencapai Rp 3.121,9 triliun atau 102% dari pagu APBN. Hal ini untuk menopang perekonomian dalam menghadapi perlambatan global.
"Kemudian mendukung berbagai agenda pembangunan pemerintah, seperti penurunan stunting, kemiskinan ekstrem, mitigasi El Nino, persiapan Pemilu, serta proyek strategis nasional (PSN)," kata dia.