Ini Alasan Pengusaha Spa Ajukan Uji Materi Soal Kenaikan Pajak Hiburan

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Personel Brimob Polri berjaga di gedung Mahkamah Konstitusi jelang hasil putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Jakarta, Selasa (7/11/2023). Menjelang hasil putusan MKMK tentang sengketa dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi, gedung MK dijaga ketat oleh petugas keamanan untuk mengantisipasi kericuhan.
5/3/2024, 14.26 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materi terkait kebijakan pajak hiburan yang diajukan oleh pengusaha spa. Dalam hal ini, pemohon menguraikan potensi kerugian akibat kenaikan tarif Pajak Barang Dan Jasa Tertentu (PJBT) atau hiburan sebesar 40%-75%.

Kuasa hukum para pemohon, Mohammad Ahmadi mengatakan, kerugian atas kenaikan pajak hiburan akan berdampak pada aspek ekonomi maupun sosial.

“Kerugian ekonomi berupa pengenaan pajak yang tinggi sebesar 40% dan potensi bangkrutnya usaha spa sebagai pengenaan pajak yang tinggi tersebut,” ujar Ahmadi dalam keterangan resmi MK dikutip Selasa (5/3).

Selain itu, dia menyebut adanya potensi tarif pajak ganda dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekaligus tarif PJBT. Kemudian ada potensi bangkrutnya usaha pengusaha spa yang bisa berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. 

Ahmadi mengatakan, para pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang bergerak dalam bidang kesehatan dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif pajak hiburan sebesar 40%-75% yang dikenakan pemerintah daerah (Pemda). Sementara, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan pajak hiburan sebesar 10%.

Para pemohon juga ingin memperbaiki kedudukan hukum, kewenangan MK, alasan-alasan pokok permohonan, serta petitum. Dalam petitumnya itu, para pemohon meminta Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

"Para Pemohon meminta MK memaknai norma tersebut tanpa mencantumkan frasa “dan mandi uap/spa," kata Ahmadi.

Menurut para pemohon, seharusnya usaha mandi uap/spa yang merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional tidak dimasukkan dalam kategori jasa seni dan hiburan yang dikelompokan bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

"Para pemohon merasakan ketidakadilan dan berimbas pada masyarakat yang bisa dirugikan karena pengusaha SPA akan menambah biaya PBJT sebesar 40%-75% untuk setiap jasa perawatan kesehatan SPA kepada konsumen/klien," kata dia.

Akibatnya, minat masyarakat menurun untuk melakukan perawatan tubuh melalui jasa spa. Oleh karena itu, dia meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan inkonstitusional.

Di antaranya pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 55 ayat (1) huruf l.

Perkara ini sendiri diajukan oleh 22 pemohon yang terdiri dari badan hukum perkumpulan atau organisasi, badan hukum privat, dan perorangan yang berkaitan dengan usaha kesehatan spa.

Spa Masuk dalam Kategori Hiburan Tertentu

Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno akan merekomendasikan spa dikecualikan dari aturan pajak hiburan yang baru. Dalam regulasi ini, pajak hiburan tertentu di daerah naik menjadi 40% - 75% sejak awal tahun.

Aturan yang dimaksud yakni UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Industri hiburan tertentu dalam UU ini adalah diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Menurut Sandiaga, spa merupakan bagian dari usaha kebugaran dan pariwisata kesehatan.

"Kami baru menerima surat dari Presiden yang nanti mewakili pemerintah saat sidang di Mahkamah Konstitusi," kata Sandiaga dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/2).

Reporter: Zahwa Madjid