Sejumlah analis memperoyeksikan rupiah bisa di bawah Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) jika bank sentral AS, The Fed memangkas suku bunga pada tahun ini. Hal ini sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) bahwa rupiah bisa menguat Rp 15.800 per dolar pada semester II 2024.
Tak berbeda dengan BI, Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana juga memperkirakan rupiah di level Rp 15.800 per dolar AS atau terapresiasi Rp 15.560 hingga akhir 2024. "Hal ini disebabkan tensi geopilitik yang masih tinggi, jadi masih ada sentimen risk off global," kata Fikri kepada Katadata.co.id, Senin (21/5).
Adapun yang dimaksud sentimen risk off adalah kondisi di mana investor atau pelaku pasar cenderung menghindari investasi berisiko tinggi. Sebaliknya jika risk on, investor memilih mengalihkan investasi ke aset berisiko dan imbal hasil tinggi.
Selain risiko tersebut, penguatan rupiah bisa terjadi jika The Fed menurunkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini. Sehingga rupiah masih berpotensi volatile atau naik turun di 2024.
Fikri juga menyoroti penguatan rupiah jika BI memangkas suku bunga sebanyak dua hingga tiga kali pada tahun ini. Namun pemulihan perdagangan dengan negara mitra Indonesia masih terbatas dan memengaruhi pergerakan rupiah.
"Sehingga akan berdampak pada penurunan penerimaan negara dan neraca berjalan yang baru akan surplus di kuartal ketiga mendatang," kata Fikri.
The Fed Pengaruhi Pergerakan Rupiah
Senada dengan Fikri, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai pergerakan nilai tukar rupiah akan bergantung pada ruang pemotongan suku bunga The Fed pada tahun ini.
Jika The Fed hanya melakukan sekali pemotongan pada Desember 2024 sebesar 25 basis poin, maka suku bunga acuan BI atau BI Rate akan tetap bertahan di level 6,25, sehingga rupiah akan di kisaran Rp 15.900 – Rp 16.100 per dolar AS.
"Namun, jika The Fed melakukan pemangkasan dua kali masing-masing 25 bps di sisa tahun ini, maka rupiah kami proyeksi dapat menyentuh kisaran Rp 15.700-an per dolar AS," kata Josua.
Dia menilai pasar cenderung bereaksi positif terhadap penguatan rupiah yang menunjukan bahwa stabilitas rupiah cenderung terkendali ditopang fundamental ekonomi Indonesia yang baik serta upaya stabilisasi oleh BI sehingga memicu aliran modal asing masuk atau capital inflow di pasar keuangan ketika sentimen risk on investor global meningkat.
Meski demikian, penguatan rupiah akan cenderung terbatas sejalan dengan pola musiman mas puncak pembayaran returns atau imbal hasil instrumen keuangan Indonesia ke non-residents sehingga permintaan dolar AS dari dalam negeri masih cukup tinggi.
Josua juga menyebut penguatan rupiah berdampak positif pada beban pembayaran utang luar negeri, serta pembayaran kupon global bond. Selain itu, beban subsidi juga dapat berkurang karena harga minyak dunia yang relatif menjadi lebih murah.
"Secara rata-rata, year to date (YTD) rupiah masih di kisaran Rp 15.793 per dolar AS dan jika pola penguatan terus berlanjut maka secara average masih bisa turun lagi," kata Josua.