Kenapa Gaji 40 Juta Pekerja RI Masih di Bawah Rp 5 Juta? Ini Alasannya

Fauza Syahputra|Katadata
Sejumlah pekerja berjalan saat jam pulang kerja di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 mewajibkan pekerja baik pegawai swasta, PNS, TNI hingga Polri untuk membayar iuran simpanan tabungan perumahan rakyat atau Tapera dengan besar iuran 2,5 persen dari gaji pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja yang mulai diterapkan paling lambat pada 2027 mendatang.
15/6/2024, 04.50 WIB

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyoroti ketimpangan gaji pekerja di Indonesia yang sangat tinggi. Bahkan, ada sekitar 40 juta pekerja Indonesia yang memiliki gaji di bawah Rp 5 juta per orang.

Nilai itu masih jauh di bawah target pendapatan per kapita atau rata-rata pendapatan penduduk sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan pada tahun 2024.

Sejumlah ekonom menilai ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari kualitas sumber daya manusia (SDM), pendidikan hingga ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru.

Ekonom dari Center of reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai dominasi pekerja sektor informal masih besar dan umumnya mempunyai keterbatasan dalam hal upah.

"Selain bekerja dengan upah yang relatif kecil, mereka juga tidak punya kepastian terkait upah, apalagi yang bekerja di sektor pertanian dan perkebunan," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Sabtu (15/6).

Artinya, ketika memasuki masa panen, mereka bisa mendapatkan penghasilan. Namun ketika menghadapi gagal panen, mereka tidak mendapatkan penghasilan dari pekerjaan mereka.

Di saat yang bersamaan, mereka yang bekerja di sektor informal tidak mempunyai jaminan sosial untuk kesehatan maupun tenaga kerja. Sehingga, mereka harus mengandalkan tabungan sendiri jika menghadapi guncangan ekonomi seperti pandemi Covid-19 dan bencana alam.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan pekerja sektor formal yang mempunyai upah relatif tinggi dan jaminan sosial. Mereka juga masih mempunyai dana darurat jika menghadapi guncangan ekonomi.

Di saat bersamaan, ada isu-isu mendasar yang berkontribusi terhadap ketimpangan gaji pekerja, termasuk kemampuan SDM dan kemampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerja formal.

"Pemerintah juga harus bisa menyerap angkatan kerja dalam jumlah yang besar sampai melatih keterampilan teknis yang dibutuhkan ketika masuk ke lapangan kerja, yang saat ini masih terbatas," kata dia.

Masalah Akses Pendidikan

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat masalah ketimpangan struktural ini disebabkan oleh faktor pendidikan. Karena dalam 10 tahun terakhir, porsi pekerja lulusan di bawah SMA masih mendominasi.

"Proporsi pekerja yang mengenyam pendidikan di bawah SMA atau sederajat masih berada pada kisaran 55% dari total pekerja, turun 10% dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu," kata Josua.

Sementara itu, terjadi peningkatan proporsi pekerja lulusan SMA dan derajat dari 7% menjadi 33%. Kemudian proporsi lulusan diploma ke atas sebesar 13% dari total pekerja.

Dengan begitu, kata Josua, masih banyaknya pekerja yang berada pada tingkat pendidikan rendah, yang merefleksikan masih terbatasnya kesempatan pekerja Indonesia untuk naik kelas.

Hal ini bisa dilihat dari tren koefisien Gini pada 10 tahun terakhir, yang cenderung menurun meskipun trennya stagnan dalam 5 tahun terakhir. Gini ratio ini menggambarkan pemerataan atau ketimpangan secara keseluruhan mulai dari pendapatan hingga distribusi.

Menurut Josua, kondisi ini sejalan terbatasnya pilihan untuk peningkatan pendapatan bagi para pekerja dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah.

"Memang masih banyak determinan ketimpangan lain, namun pendidikan adalah kunci penurunan ketimpangan, mengingat pendidikan dapat membuka ruang kesempatan masyarakat untuk menaiki tangga sosial," ujarnya.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari