Serangan AS ke Iran Picu Krisis Minyak, Inflasi Global hingga Tekanan Ekonomi
Amerika Serikat (AS) resmi terlibat dalam konflik Israel-Iran dengan melancarkan serangan ke tiga situs nuklir Iran. Langkah ini memicu kekhawatiran besar terhadap stabilitas ekonomi global, terutama terkait lonjakan harga energi, krisis minyak dan inflasi yang sulit dikendalikan.
Para investor menilai keterlibatan AS kemungkinan besar akan berdampak langsung pada harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak berpotensi memicu inflasi lebih tinggi, mengerek biaya transportasi, gas, hingga kebutuhan energi global lainnya.
“Harga minyak mungkin tidak diperdagangkan jauh lebih tinggi kecuali terjadi guncangan pasokan yang berkelanjutan,” kata analis energi Rachel Ziemba kepada USA Today, Minggu (22/6).
Namun, situasi memburuk setelah Iran memutuskan memblokir Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak dunia. Ziemba menilai skenario ini berisiko besar meski probabilitasnya masih tergolong rendah.
“Ini contoh risiko dengan dampak besar yang sulit dipahami oleh sebagian besar pedagang komoditas,” ujarnya.
Ia memperkirakan harga energi global akan tetap tidak stabil, setidaknya hingga situasi geopolitik mereda. Terlebih, musim panas yang segera dimulai di Amerika Serikat dan gelombang panas di beberapa wilayah juga berpotensi meningkatkan permintaan energi.
Kepala Eksekutif deVere Group Nigel Green menilai ekonomi global saat ini tidak cukup kuat untuk menahan guncangan energi tambahan. “Keterlibatan AS dalam konflik ini meningkatkan risiko reaksi global yang tajam,” ujar Green.
Menurutnya, investor sebenarnya tengah bersiap menyambut penurunan suku bunga, harga energi yang stabil, dan prospek ekonomi global yang membaik. Namun, eskalasi konflik justru memaksa investor melakukan penyesuaian besar-besaran terhadap portofolio investasi mereka di seluruh kelas aset.
Tekanan Berat untuk The Fed
Lembaga riset Oxford Economics memperingatkan, konflik Israel-Iran adalah tambahan guncangan buruk bagi ekonomi global yang sudah rapuh. Mereka memproyeksikan, harga minyak bisa meroket ke level US$ 130 per barel dan mendorong inflasi global hingga 6%.
Sebagai perbandingan, inflasi pascapandemi sempat mencapai puncaknya di level 9,1% pada 2022. Kondisi ini menempatkan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) dalam posisi sulit.
Di satu sisi, The Fed perlu menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi. Di sisi lain, pelonggaran suku bunga diperlukan guna menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Sejauh ini, The Fed memilih menahan suku bunga tetap stabil sambil memantau perkembangan situasi global. Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan, pihaknya mencermati ketat dampak dari ketegangan di Timur Tengah.
“Ketika terjadi kekacauan di Timur Tengah, biasanya kita melihat lonjakan harga energi,” ujar Powell.
Selat Hormuz Jadi Titik Kritis
Keputusan Iran memblokir Selat Hormuz menjadi salah satu ancaman terbesar bagi pasar energi global. Selat ini merupakan jalur utama ekspor minyak dan gas alam cair (LNG), termasuk untuk negara seperti Qatar yang menyumbang sekitar 20% perdagangan LNG dunia.
Bloomberg Economics menyebut, gangguan di Selat Hormuz akan berdampak besar pada pasar LNG global, mendorong harga gas Eropa melonjak tajam. Terlebih, Qatar tidak memiliki jalur alternatif untuk ekspor.
Selain itu, Cina sebagai pembeli terbesar minyak Iran akan menjadi salah satu negara yang paling terdampak jika jalur perdagangan energi terhambat.
Meski begitu, beberapa mitigasi masih memungkinkan. Negara anggota OPEC+, termasuk Arab Saudi, dinilai masih memiliki kapasitas produksi cadangan yang dapat diaktifkan untuk meredam lonjakan harga minyak.
Badan Energi Internasional juga dapat mengoordinasikan pelepasan stok darurat untuk menstabilkan pasar. Namun, Direktur Penelitian Makro Global Oxford Economics, Ben May menegaskan bahwa guncangan energi ini tetap menjadi ancaman serius.
“Harga minyak yang lebih tinggi dan lonjakan inflasi konsumen (CPI) yang menyertainya akan membuat bank sentral di seluruh dunia pusing,” kata May.