DHE Wajib Parkir di Himbara: Stabilitas Rupiah atau Gangguan Baru ke Dunia Usaha

ANTARA FOTO/Arnas Padda/hp.
Suasana aktifitas bongkar muat di Makassar New Port (MNP), Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (26/1/2023).
Penulis: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing
12/12/2025, 14.54 WIB

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa segera merampungkan revisi peraturan pemerintah terkait devisa hasil ekspor sumber daya alam. Selama ini DHE SDA mudah keluar-masuk di sistem perbankan domestik. Ke depan pemerintah berencana mewajibkan devisa ini parkir dulu di bank-bank milik negara alias Himbara.

Purbaya beralasan selama ini dana dari DHE bisa dipindahkan ke bank lain, dikonversi ke dolar AS, dan dibawa ke luar negeri. Kondisi ini menyebabkan suplai dolar di pasar domestik tidak bertambah signifikan.

Untuk itu ia akan memastikan penempatan DHE ke depan lebih efektif. “Jadi tujuannya adalah memastikan DHE-nya betul-betul efektif, tentu saja, sehingga suplai dolar di sini betul-betul bertambah,” kata Purbaya di Gedung DPR, Senin (8/12).

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio sebelumnya juga menyatakan proses revisi sudah dibahas dengan perbankan. Begitu juga dengan pelaku usaha sebelum masuk tahap harmonisasi berkaitan dengan rencana penempatan DHE di Himbara.

“Terutama untuk perbaikan pengawasan itu, kami minta (DHE SDA) ditempatkan di bank Himbara saja supaya lebih mudah pengawasan oleh Bank Indonesia,” ujar Febrio.

Namun saat pemerintah menggodok rancangan kewajiban penempatan seluruh DHE di Himbara, isu ini menjadi sorotan. Di satu sisi, rupiah memang terus tertekan dan cadangan devisa menjadi instrumen vital untuk meredam gejolak. Namun, di sisi lain, pasar keuangan adalah ekosistem yang sensitif.

Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman melihat kebijakan penempatan DHE di Himbara pada dasarnya adalah upaya pemerintah mengamankan suplai valas domestik. Khususnya di tengah tekanan eksternal yang masih tinggi.

“Dengan memusatkan parkir devisa pada bank negara, pemerintah ingin memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga dan aliran valas lebih mudah dipantau,” kata Rizal kepada Katadata.co.id, Jumat (12/12).

Dari sisi makro, langkah ini memberi sinyal kuat bahwa stabilitas kurs menjadi prioritas. Terutama saat ruang kebijakan moneter tidak terlalu leluasa.

Namun bagi pelaku usaha kebijakan ini berpotensi menimbulkan friksi baru. Kewajiban memarkir DHE di Himbara dapat mengurangi fleksibilitas cashflow eksportir. Terutama yang ekosistem pembiayaannya sudah tertanam di bank swasta atau bank asing.

“Risiko kenaikan compliance cost, tambahan biaya transaksi, hingga penurunan efisiensi treasury menjadi isu yang perlu diperhatikan,” ujar Rizal.

Tanpa insentif bunga dan fleksibilitas penempatan yang cukup, ia menilai eksportir bisa melihat kebijakan ini sebagai beban, bukan dukungan.

Secara keseluruhan, kebijakan ini bisa dibaca positif untuk stabilitas makro, tetapi berpotensi negatif untuk iklim usaha. Hal ini bisa terjadi apabila diimplementasikan tanpa skema insentif dan service level yang kompetitif.

Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak hanya memindahkan devisa secara administratif, tetapi juga menciptakan kenyamanan dan efisiensi bagi eksportir. “Jika tidak, stabilitas nominal bisa tercapai, tetapi mengorbankan kelancaran aktivitas bisnis dan daya saing ekspor,” kata Rizal.

Kekhawatiran Monopoli dan Rusaknya Kompetisi

Nada lebih kritis datang dari ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. Menurut dia, memperketat aturan DHE dari 30% menjadi 100% selama setahun adalah langkah yang logis untuk memperkuat cadangan devisa.

Namun, mewajibkan penempatannya di Himbara merupakan hal yang kontraproduktif. “Ini akan dipandang sebagai pemburukan iklim bisnis dan investasi,” kata Wijayanto.

Ia mengatakan rencana pemerintah ini dapat dipandang sebagai upaya bank pelat merah untuk memonopoli bisnis ekspor-impor. Jika situasi monopoli itu terwujud, Himbara akan kewalahan. “Selain itu, pasar menjadi tidak kompetitif dan efisien,” ujar Wijayanto.

Bagi bank swasta dan asing, kebijakan tersebut menjadi tidak masuk akal. Terlebih saat bank swasta dan asing memberikan kredit kepada korporasi atau eksportir namun DHE-nya harus diparkir di Himbara.

Wijayanto menyatakan kebijakan ini berpotensi mengganggu iklim bisnis sektor keuangan. “Sebaiknya pemerintah membatalkan rencana tersebut,” kata Wijayanto.

Efektivitas Bisa Tercapai Asal Pemerintah Mengelola Persepsi

Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai pada dasarnya kebijakan pemerintah sebenarnya memiliki niat baik. Pemerintah ingin memastikan dana hasil ekspor benar-benar kembali dan memperkuat rupiah.

Secara konsep, langkah itu bisa dipahami dan bahkan dianggap bagus. Namun, ia juga melihat satu masalah besar yakni eksklusivitas.

“Hanya saja di satu sisi, selain efektifitasnya bagus, tapi kita lihat kan ini hanya Himbara saja. Bank non-Himbara tidak diberikan kesempatan padahal banyak kok yang memiliki inovasi bagus untuk memberikan solusi ya,” kata Myrdal.

Agar efektif, Myrdal mengusulkan agar pemerintah memberikan sosialisasi yang dapat meyakinkan pelaku perbankan. “Supaya persepsi dari kebijakan ini bagus. Karena ada khawatiran perlakuan yang tidak adil,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya sosialisasi yang mampu meyakinkan pelaku pasar, industri keuangan, dan investor. Pemerintah perlu menjamin kebijakan ini bukan bentuk takeover bank negara.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti