Ketiga, klaim percepatan keputusan pengembangan Blok East Natuna. Hal ini berdasarkan klaim adanya satu kali pertemuan antara Kementerian ESDM, Pertamina, dan mitra-mitranya di Blok East Natuna dalam kurun waktu 20 hari sejak 27 Juli sampai 15 Agustus lalu. Klaim bahwa pertemuan itu menyepakati kontrak bagi hasil Blok East Natuna adalah klaim yg mengada-ada.
Yang jelas, pada 23 Agustus lalu, ada perintah mendadak dari Kementerian ESDM untuk menyelesaikan kontrak PSC Blok East Natuna paling lambat 1 September 2016. Alhasil, keesokan harinya (24 Agustus 2016), tim dari Pertamina, Exxon, dan SKK Migas tergopoh-gopoh datang ke Yogyakarta memenuhi undangan para petinggi Ditjen Migas. Pertemuan itu untuk merundingkan kontrak PSC Blok East Natuna.
(Kolom: Arcandra dan Untung-Rugi Negara)
Jika benar antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah disepakati kontrak PSC Blok East Natuna, mengapa ada perintah dari Kementerian ESDM agar kontrak diselesaikan pada 1 September 2016? Lagi-lagi, klaim bahwa East Natuna PSC sudah diselesaikan dalam 20 hari merupakan klaim yang patut dipertanyakan, dan anehnya tidak ada satu pun tulisan terbuka yg mempertanyakan hal tersebut.
Keempat, yang lebih bombastis, klaim bahwa revisi PP 79/2010 telah disepakati dan tinggal menunggu tandatangan Presiden Joko Widodo. Padahal, PP tersebut selama lima tahun terakhir ini dianggap sebagai hantu penyebab menurunnya minat eksplorasi dan eksploitasi investor-investor migas di Indonesia.
Namun, kenyataannya klaim itu sampai sekarang hanya merupakan klaim angin surga. Buktinya, masih diperlukan upaya negosiasi politik birokrasi antarkementerian, terutama Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan, sehingga pasal-pasal revisinya dapat disetujui kedua belah pihak (ESDM dan Kementerian Keuangan).
Kesediaan Kementerian Keuangan untuk mulai serius duduk bersama membahas revisi PP 79/2010, itu pun sebenarnya hasil kerja keras dari Kementerian ESDM periode Mei 2015 sampai Juli 2016. Upaya itu melalui Komite Eksplorasi Nasional yang secara resmi tidak henti-hentinya menyuarakan pencabutan PP 79/2010 agar usaha hulu migas bisa bangkit kembali.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mulai membentuk tim khusus revisi PP 79/2010 setelah berpidato pada acara IPA Convention Mei 2016. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan juga mulai serius membahas kemungkinan revisi PP tersebut setelah adanya sejumlah Focus Group Discussion (FGD) Komite Eksplorasi Nasional pada kurun Januari-Juni 2016.
(Baca: Menteri ESDM Klaim Investasi Skema Darat Blok Masela Lebih Murah)
Meski begitu, hingga kini belum ada kata sepakat dari Kementerian Keuangan untuk penghapusan pasal-pasal krusial dalam PP 79/2010. Padahal, berkali-kali hampir tiap pekan dalam tiga minggu terakhir ini selalu dibilang bahwa "minggu depan Insya Allah revisi PP 79/2010 sudah diteken Presiden". Industri migas saat ini harap-harap cemas menunggu realisasi janji klaim tersebut dari Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa dijadikan penyemangat oleh para eksekutif, termasuk jajaran legislatif wakil rakyat, dalam membangun industri energi/migas Indonesia ke depan. Dalam hal ini, paling tidak, para penyelenggara negara menjadi lebih waspada dan kritis dengan klaim-klaim sepihak yang belum tentu benar.
Kalaupun klaim-klaim itu benar, setidaknya perlu dimohonkan untuk segera mengumumkan hasil akhir resminya dalam bentuk dokumen-dokumen negara maupun perjanjian-perjanjian yang mengikat dan bisa disaksikan, sehingga dapat meyakinkan seluruh rakyat Indonesia.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.