Wajib Pajak Patuh Cukup Betulkan SPT

Arief Kamaludin|KATADATA
Acara sosialisasi tax amnesty pada 1 Agustus ini di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, dihadiri oleh sekitar 10 ribu pengunjung.
Penulis: Lasmin, PhD., CA
27/8/2016, 18.46 WIB

Ferdinand Hutahaean adalah representasi masyarakat Indonesia yang awam pajak. Saya yakin bahwa dia, penulis artikel "Ketika UU Tax Amnesty Jadi Teror Bagi Rakyat", tidak berniat menghujat atau mengolok-olok tax amnesty (TA) sehingga tidak perlu kita menuduhnya melakukan teror sinisme yang dilandasi kegamangan dan kekacauan berpikir. Dia jujur menyuarakan kegelisahan yang justru harus dipahami dan ditolong karena pajak tidak mudah untuk dipahami.

Ferdinand tidak sendirian, masih ada seorang pensiunan yang ingin ikut TA tetapi kemudian bingung ketika nilai wajar hartanya melonjak tinggi dibandingkan nilai pembeliannya. Sama dengan kebingungan masyarakat banyak mengapa harta yang waktu beli telah dikenakan pajak dan kemudian membayar pajak lagi secara berkala harus dikenakan pajak ulang karena TA.

Saya sempat menjelaskan bahwa harta bisa dilaporkan tanpa harus membayar pajak tambahan jika penghasilan terkait perolehan harta tersebut telah dikenakan pajak secara benar.

Pajak dan TA sebaiknya dipahami secara bersama-sama agar kebingungan tidak melanda. Saya akan coba membahasakan secara lugas dan pendek agar bisa dicerna hanya untuk hal terkait harta yang tidak dilaporkan.

Apa yang harus saya lakukan jika masih ada harta yang belum dilaporkan? Haruskah saya ikut TA atau ikut pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) atau bahkan saya diamkan saja?

Harta yang belum dilaporkan diatur oleh dua undang-undang: Undang-Undang Pajak dan UU TA. Mengapa dua? Karena untuk memberikan keadilan kepada Wajib Pajak (WP) dengan membedakan mana WP yang lebih patuh dan WP yang kurang patuh.

WP yang lebih patuh adalah WP yang telah membayar pajak atas penghasilan yang digunakan untuk membeli harta yang belum dilaporkan tersebut, tidak melaporkan harta lebih karena keteledoran semata. WP yang kurang  patuh adalah yang tidak membayar pajak atas penghasilan yang dipakai untuk membeli harta tersebut. WP yang telah bayar pajak tentu harus dibedakan dengan WP yang belum bayar.

Lalu, bagaimana selanjutnya? Ikut UU TA atau UU Pajak? Begini jawabnya.

Jika Anda termasuk WP yang lebih patuh, cukup lakukan pembetulan SPT Tahunan sesuai dengan tahun perolehan harta tersebut dengan memasukkan semua harta yang Anda punya. Tidak perlu membayar pajak penghasilan tambahan karena telah Anda bayar penuh sebelumnya.

Anda ikut mekanisme yang diatur di UU Pajak. Termasuk jika harta Anda seluruhnya telah dilaporkan di SPT namun masih ada kesalahan nilai atas harta tersebut, silakan dibetulkan SPT-nya. Dengan catatan, bukan merupakan harta baru yang belum dilaporkan.

Jika Anda termasuk WP yang kurang patuh, segera ikut program TA. Nyatakan seluruh harta dan membayar uang tebusan atas nilai harta yang belum dilaporkan. Anda ikut UU TA.

Jika Anda termasuk WP yang telah 100 persen patuh, Anda tinggal duduk diam saja. Namun bila tetap ingin ikut TA, Anda tetap bisa ikut karena TA adalah fasilitas untuk berpartisipasi lebih aktif dan positif membangun negara. Tinggal bayar uang tebusan dan akan mendapatkan jaminan urusan pajak Anda tidak akan diutak-atik lagi 30 tahun ke belakang.

Nah, tentu WP yang benar-benar tidak patuh, yang memutuskan untuk tidak melaporkan seluruh penghasilan dan hartanya harus diperlakukan berbeda dengan Anda yang lebih patuh. Apa yang terjadi kalau ketahuan masih ada harta yang belum dilaporkan? Akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan pajak plus sanksi 200 persen kalau telah ikut TA atau sanksi bunga menurut UU Pajak.

Jadi, setelah berlakunya UU TA pada saat semua unsur masyarakat melaporkan hartanya, WP bisa dibedakan berdasarkan tingkat kepatuhan mereka. Dan, perlakuan pajak akan berbeda untuk tingkat kepatuhan yang berbeda demi memberikan keadilan untuk WP yang patuh.

Fasilitas ini adalah privilege selama sembilan bulan dan pilihan sepenuhnya ada pada Anda untuk menjadi WP patuh dengan segala fasilitasnya, atau WP tidak patuh denga segala konsekuensinya.

Lasmin, PhD., CA
Co-founder of Indonesian Tax and Accounting Institute (INTAI)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.