Kilang Minyak Mini, Solusi Pemenuhan BBM di Pelosok Negeri

Katadata
Penulis: Eko Setiadi
4/4/2016, 12.27 WIB

KATADATA - Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional meningkat rata-rata delapan persen setiap tahun. Saat ini, konsumsi BBM sekitar 1,6 juta barel per hari (bph). Kapasitas kilang di Indonesia hanya mampu mengolah minyak mentah menjadi produk BBM sekitar 800 ribu bph, dan kekurangannya dipenuhi melalui impor dengan biaya Rp 1,95 triliun rupiah per hari.

Upaya membangun kilang minyak untuk menutupi kebutuhan BBM domestik dan mengurangi ketergantungan impor sudah dimulai 10 tahun silam. Pertamina sudah menjajaki kerjasama dengan beberapa investor internasional, seperti Sinopec China dan NIORDC Iran. Namun sampai saat ini belum satu pun kilang minyak baru yang berhasil dibangun. Mundurnya pembangunan kilang minyak karena menemui berbagai kendala, antara lain: sulitnya pembebasan lahan, perlunya insentif fiskal dan nonfiskal, kepastian investasi, serta kendala perizinan dan regulasi.

Sebagai respons atas berbagai hambatan tersebut, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Perpres tersebut memuat skema pembangunan kilang minyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan badan usaha, dengan tujuan untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang minyak serta mewujudkan ketahanan energi nasional melalui peningkatan penyediaan BBM dan produk lainnya secara terintegrasi.

Pembangunan KilangMinyak Mini

Perpres Pembangunan Kilang Minyak tersebut merupakan upaya mempercepat program upgrading kilang minyak yang suadah ada dan pembangunan kilang minyak baru Pertamina. Selain itu, Perpres tersebut membuka peluang membangun kilang minyak skala mini. Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang menyiapkan peraturan menteri yang menjadi dasar pembangunan kilang mini, sekaligus penyiapan skema lelang proyek tersebut.

Disebut kilang mini karena kapasitasnya hanya enam hingga 20 ribu bph. Dari sisi hulu, kilang mini merupakan terobosan upaya monetisasi dari lapangan marjinal dengan level produksi di bawah lima ribu bph, berlokasi di daerah terpencil, yang jumlahnya tersebar di berbagai wilayah kerja hulu. Selama ini, perusahaan minyak yang mengelola lapangan-lapangan marjinal dengan produksi terbilang kecil, harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk mengangkut minyak mentah melalui pipa atau trucking ke floating storage yang lokasinya jauh. Proses ini membutuhkan biaya transportasi yang menambah komponen biaya operasi.

Mekanisme ini adalah skema hulu, dengan biaya transportasi bagian dari komponen cost recovery, yang artinya mengurangi penerimaan negara. Ketika harga minyak mentah masih cukup tinggi, laba dari lifting minyak mentah masih bisa menutupi biaya operasi. Namun ketika harga minyak merosot di bawah US$ 40  per barel sejak setahun ini, margin laba semakin tertekan. Bahkan di beberapa lapangan, biaya operasinya malah di atas harga jual minyak mentah. Konsekuensinya, lapangan produksi tersebut terpaksa di-suspend

Sebagai upaya monetisasi potensi lifting minyak mentah karena kendala lokasi dan biaya produksi yang tidak ekonomis, kilang mini dapat dianggap solusi praktis. Kilang mini memiliki model skid mounted, sudah dalam bentuk modular, dan bisa dipindah-pindah. Durasi konstruksi sekitar 18 bulan, diperkirakan biaya pembangunan senilai US$ 50 - 150 juta untuk kapasitas enam hingga 20 ribu bph.

Untuk menjadi proyek yang layak secara ekonomis, komponen utama yang harus diperhitungkan adalah harga minyak mentah dengan formula di kepala sumur (wellhead). Optimasi penentuan lokasi kilang harus dilihat dari sisi hulu dan hilir, dengan memperhitungkan efisiensi dan efektivitas penyaluran hilir dalam distribusi produk kilang.

Dari sisi investor dan operator kilang mini, beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan adalah: investasi modal dan teknologi, biaya dan efisiensi produksi, pengelolaan risiko dan ketidakpastian. Hal ini dalam konteks: penyediaan minyak mentah, hargajual minyak mentah, dan perubahan permintaan jenis BBM. Indikator keberhasilan pembangunan dan pengoperasian kilang mini adalah: terpenuhinya aspek keekonomian (economic life cycle) pengadaan dan operasional secara efisien, berkontribusi terhadap pendapatan negara, dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. BBM yang dihasilkan kilang mini tersebut dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BBM daerah setempat.

Pembangunan kilang mini yang lokasinya dekat dengan lapangan produksi, dinilai efektif untuk meningkatkan keekonomian lapangan marjinal karena mampu menghilangkan berbagai biaya yang sebelumnya timbul dengan mekanisme transportasi dengan pipa atau trucking. Biaya-biaya tersebut, antara lain: 1.Transportation Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan minyak (KKKS) untuk menyalurkan crude siap lifting dari fasilitas produksi menuju terminal/titik lifting. 2. Storage Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan KKKS untuk menyimpan/menimbun crude yang telah siap untuk di-lifting hingga waktu lifting. 3. Losses Cost, yaitu total biaya atas sejumlah volume crude yang hilang yang disebabkan oleh proses transportasi dan penyimpanan dibandingkan dengan produksi crude dalam satu tahun. 4. Operational Cost, yaitu biaya untuk mengoperasikan terminal di titik lifting.

Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah jenis minyak mentah yang dihasilkan belum tentu sama dari setiap lapangan, yang berpengaruh pada rancang-bangun spesifikasi kilang. Sedangkan spesifikasi pasokan minyakmentah dan proses pengolahan ini akan mempengaruhi kualitas produk BBM.

Terdapat delapan kluster yang menjadi bakal lokasi pembangunan kilang mini, yaitu: Sumatera Utara, Selat Panjang Malaka, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Maluku. 

Kilang Minyak Mini (Katadata)

Multiplier Effect Kilang Minyak Mini

Kilang mini bukanlah teknologi baru karena sudah lama beroperasi di Rusia, juga banyak tersebar di ladang minyak Texas, Amerika. Di Indonesia, kilang mini pertama yang sudah beroperasi adalah kilang milik PT Tri Wahana Universal (TWU) di Bojonegoro dengan kapasitas 16 ribu bph, yang mengolah minyak mentah dari lapangan Banyu Urip, Cepu sejak 2009. Produk  BBM yang dihasilkan TWU juga kompetitif. Harga solar atau setara Dex yang diproduksi kilang mini TWU ternyata lebih murah dibandingkan dengan harga solar nonsubsidi yang saat ini dijual di pasar.

Merujuk pada penelitian LPPM UGM tentang keberadaan kilang mini TWU tersebut, pada 2014, multiplier effect (efek ganda) pengoperasian kilang minyak tersebut memberikan nilai tambah ekonomi Rp1,3 triliun di Bojonegoro, Rp2,6 triliun di JawaTimur, dan Rp 9,8 triliun secara nasional. Apabila proyek pembangunan kilang skala mini ini mulai berjalan, tentu akan dapat memenuhi kebutuhan BBM di daerah terpencil, memicu pertumbuhan ekonomi setempat, penyerapan lapangan kerja, penerimaan pajak untuk negara dan daerah, serta nilai tambah lainnya, seperti yang sudah terjadi dengan beroperasinya Kilang TWU Bojonegoro.

*Tulisan ini merupakan opini pribadi.

Eko Setiadi
Reporter: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.