Perbaikan Iklim di Persimpangan Jalan Akibat Pandemi Covid-19

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Diwangkara Bagus Nugraha
Editor: Redaksi
14/7/2020, 12.10 WIB

Sebagai contoh, pandemi menggoyang usaha pemerintah untuk memanfaatkan bahan bakar nabati. Pemerintah mencanangankan program mandatori biodiesel B30 pada tahun ini, meskipun harga bahan bakar nabati (BBN) masih lebih tinggi daripada harga bahan bakar diesel. Akibat pandemi, penurunan harga produk minyak bumi memperlebar gap harga antara bahan bakar diesel dengan bahan bakar nabati. Implikasinya, insentif lebih besar harus dIsediakan untuk mengompensasi selisih harga dan melanjutkan program ini.

(Baca: Norwegia Bayar Rp 812,86 Miliar ke RI karena Turunkan Emisi Karbon)

Rencana pembangunan PLTS terapung d Cirata, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Agenda Hijau dalam Pemulihan Pascapandemi

Dari kacamata lain, bukan tidak mungkin menggunakan agenda hijau sebagai motor pemulihan ekonomi. Korea Selatan mengambil langkah ini untuk pulih dari krisis ekonomi tahun 2008 dengan memfokuskan investasi baru bagi program energi bersih. Malaysia, tetangga dekat Indonesia, membuka tender pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan total kapasitasfp 1 GW bagi perusahan lokal untuk mendorong industri lokal pascapandemi COVID-19.

Laporan Special Series on Fiscal Policies to Respond to COVID-19 oleh International Monetary Fund (IMF) menekankan bahwa krisis Covid-19 tidak akan mengubah tantangan perubahan iklim, tetapi respon pemerintah saat pandemi ini dapat mengubah iklim ke depan.

Indonesia dapat melihat pandemi ini sebagai batu loncatan bagi usaha perbaikan iklim. Menurut analisis Bappenas, pembangunan rendah karbon akan menumbuhkan 15,3 juta lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan menjadi 4,2% pada tahun 2045. Sehingga, Presiden Jokowi harus tetap fokus pada pencapaian target penurunan emisi dan transisi energi bersih untuk dapat meraih benefit tersebut.

(Baca: Kementerian ESDM Mulai Bahas Aturan DMO Minyak Sawit untuk Pertamina)

Penurunan mobilitas dan logistik antarnegara dan antardaerah saat krisis pandemi menjadi ujian bagi kemandirian daerah. Penguatan akses energi, terutama bagi daerah-daerah terpencil, dapat dilakukan pemanfaatan sumber energi lokal, seperti air dan matahari. Pembangunan pembangkit EBT skala kecil, seperti PLTS dan PLTMikrohidro, dapat membuka peluang bagi penyediaan energi bersih bagi masyarakat sekaligus penguatan kemandirian daerah menghadapi krisis serupa di masa depan.

Kerjasama proyek kelistrikan dan energi terbarukan antara Indonesia dan International Energy Agency (IEA) yang baru saja diumumkan pada 7 Juli 2020 patut diapresiasi. Kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan investasi swasta pada energi terbarukan dan integrasi energi terbarukan ke sistem kelistrikan Indonesia. Kerjasama ini diharapkan dapat menjadi katalis awal untuk pengembangan energi bersih pascapandemi.

Pekerjaan rumah selanjutnya adalah efisiensi energi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 70/2009 tentang Konservasi Energi, pemerintah seharusnya memiliki roadmap konservasi dan efisiensi energi dalam bentuk Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN). Meskipun target peningkatan efisiensi energi ada dalam RUEN, roadmap detail terkait efisiensi energi sangat dibutuhkan melihat kontribusi efisiensi energi yang besar bagi penurunan emisi karbon.

(Baca: PLTS Likupang jadi Pembangkit Tenaga Matahari Terbesar di Indonesia)

Halaman:
Diwangkara Bagus Nugraha
Peneliti Energi Purnomo Yusgiantoro Center, Alumnus University of Manchester

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.