Menanti Arah Perppu Sektor Keuangan

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Karyawan menghitung uang rupiah dan dolar AS di Bank Mandiri Syariah, Jakarta, Senin (20/4/2020). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada penutupan perdagangan Senin (20/4) sebesar 52 poin atau 0,34 persen ke level Rp15.412 per dolar AS.
Penulis: Irvan Rahardjo
Editor: Redaksi
8/9/2020, 11.00 WIB

Kabar pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyeruak dalam satu pekan terakhir. Nampaknya pemerintah dan partai pendukung sudah sepakat akan membuat Perppu penting ini.

Pemerintah akan membuat pasal-pasal penting untuk memudahkan koordinasi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Perppu ini juga dimaksudkan agar tidak ada silo-silo antarlembaga, seperti BI, OJK, dan LPS. Dan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak lagi sebagai koordinator, tapi lebih kuat sebagai pengambil keputusan.

Dalam sebuah diskusi publik melalui Zoom pada 30 Agustus lalu, satu narasumber menyiratkan mendukung rencana tersebut. Ia adalah Profesor Hendrawan Supratikno anggota DPR Komisi IX dari Fraksi PDIP dan anggota Badan Legislasi DPR, yang memaparkan informasi tentang Perppu Penataan dan Penguatan Sektor Keuangan hasil kajian Baleg DPR RI. Dalam diskusi itu ia mengungkapkan pemerintah mempunyai insentif menerbitkan Perppu Penataan BI-OJK bila DPR berlama-lama menatanya .

Apabila Perppu jadi diterbitkan akan mengonfirmasi berita Reuters pada dua bulan lalu soal pemerintah akan melakukan reformasi di OJK, BI, dan LPS. Berita tersebut ketika itu menjawab teka teki publik pasca kemarahan Presiden Joko Widodo pada sidang kabinet 18 Juni lalu yang baru dirilis beberapa hari kemudian. Dengan suara tinggi Presiden  mengancam mengganti menteri dan siap membubarkan lembaga negara, termasuk menerbitkan Perppu dalam rangka sikap extraordinary menghadapi pandemi Covid 19.

Penegasan Jokowi diulangi lagi dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Paripurna DPR/MPR RI pada 13 Agustus 2020, perlunya sinergi BI, OJK, dan LPS dalam rangka memulihkan perekonomian nasional. Jangan sia siakan pelajaran yang diberikan krisis. Momentum krisis harus dibajak untuk lompatan kemajuan," kata Presiden.

Temuan &  Sorotan terhadap OJK  

Menilik pernyataan Hendrawan, pemerintah mempunyai insentif menerbitkan Perppu Penataan BI-OJK bila DPR berlama-lama menatanya. Penulis mencatat berkembang wacana tentang keberadaan OJK beberapa waktu terakhir. 

Pertama,  Komisi XI DPR RI mewacanakan untuk mengevaluasi secara menyeluruh kinerja OJK . Evaluasi secara menyeluruh dilakukan menyusul  lemahnya kinerja jajaran OJK dalam mengawasi industri keuangan nasional.  Timbul gagasan membentuk Dewan Pengawas OJK seperti halnya Badan Supervisi BI atau Dewan Pengawas lembaga negara independen lainnya.

Kedua , Ombudsman RI berpandangan  lambannya  upaya penyelamatan  industri asuransi jiwa nasional terjadi karena jajaran OJK gagap dalam menghadapi kasus gagal bayar yang saat ini terjadi di Bakrie Life,  AJB Bumiputera dan Jiwasraya (Persero). Sebagai regulator di industri keuangan, Ombudsman menilai harusnya jajaran OJK  memiliki standardisasi yang baku dalam mengawasi hingga menyikapi tatkala terdapat perusahaan  asuransi yang sedang bermasalah.

Ketiga , Bank Dunia dalam laporan berjudul Global Economic Risks and Implication for Indonesia (September 2019) menyoroti perlunya OJK meningkatkan pengawasan konglomerasi perbankan. Tercatat pula adanya gap antara regulasi dan pengawasan  konglomerasi keuangan. Perlu aturan dan pengawasan terhadap proses penilaian risiko lintas  sektor serta aturan dan tim  khusus mengawasi risiko dari konglomerasi keuangan.

Bank Dunia mengusulkan amandemen UU OJK dengan menghilangkan tanggung jawab komisioner individu spesifik sektor dan memasukkan holding ke dalam ruang pengaturan OJK, plus memperbaiki kredibilitas sistem keuangan dengan memperbaiki kelemahan di sektor asuransi.

Temuan menarik catatan jajak pendapat Kompas pada 1 September 2020 tentang pembubaran lembaga negara yang direspon baik oleh masyarakat.  Sebanyak 51,5% responden menyatakan tumpang tindih program yang memboroskan anggaran adalah persoalan paling menonjol.  Pada 2016, Kementerian PAN dan RB menghitung potensi inefisiensi akibat tumpeng tindih program kerja tanpa manfaat mencapai Rp 397 triliun per tahun. 

Pada Juli 2020 sebanyak 18 lembaga berbentuk badan, komite, dan tim koordinasi secara bertahap dibubarkan. Kompas mencatat sejak 2014 hingga 2020 terdapat 41 lembaga nonstruktural telah dibubarkan. Bank Dunia mencatat Indeks Efektivitas Pemerintahan (IEP) Indonesia pada 2018 berada di posisi ke 95 dengan skor 54,8.  Dalam skala 0-100 makin tinggi skor, makin baik efektivitas pemerintah.

Reformasi Sektor Keuangan

Terkait dengan OJK, DPR memutuskan mengeluarkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dari Prolegnas Prioritas 2020  dan menggantinya dengan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tentang BI sebagai usul inisiatif DPR. Hal ini merupakan konsekuensi Perppu 1/2020 ( UU Nomor 2 Tahun 2020) yang terkait kewenangan BI  seperti membeli surat utang di pasar perdana, memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek, dan lain lain .

Dalam pandangan parlemen dan pemerintah dibutuhkan kecepatan dan ketegasan untuk memitigasi risiko krisis, mempertegas peran BI  dalam burden sharing penanganan krisis;  penguatan pengaturan dan pengawasan makro-mikro prudential UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang  BI, dan penjelasan pasal 7 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Perlunya koordinasi pemerintah dan BI  dengan redefinisi “bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang  (pasal 23-D UUD 1945 & pasal 4 dan  pasal 9 UU BI).  Perluasan tujuan BI (pasal 7); melembagakan koordinasi (semacam dewan moneter di masa lalu);  tanggung jawab yang semakin tegas bila terjadi krisis perbankan; mempercepat transmisi kebijakan makro-prudential menjadi mikro-operasional (pasal 34 UU Nomor 3 Tahun 2004 & penjelasan pasal 7 UU Nomor 21 Tahun 2011), sinergitas kebijakan fiskal-kebijakan moneter-kebijakan sektor riil.

Poin-poin penting Perppu Penataan dan Penguatan Sektor Keuangan antara lain pasal 4 atas status independen di UU Nomor 4 Tahun 2004 atas UU BI. Dalam revisi usulan Baleg, BI adalah lembaga negara yang independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.

Yang juga menarik di pasal 34 tugas pengawasan bank yang selama ini dilaksanakan oleh OJK dialihkan kepada BI. Pengalihan tugas mengawasi bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023.

Meskipun belum berupa naskah akademis , kita dapat menduga arah Perppu Penataan dan Penguatan Sektor Keuangan hasil kajian Baleg DPR RI sebagai upaya untuk menjadikan sektor keuangan sebagai panglima dalam upaya memerangi ancaman resesi dengan menempatkan independensi BI dan OJK dalam kendali pemerintah.  

Berbagai pilihan reformasi sektor keuangan  antara lain  mengajukan revisi UU BI, diikuti revisi UU OJK. Mengajukan RUU penataan dan penguatan sektor keuangan dengan metoda omnibus atau mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Namun harus diingat di masa pandemi , di tengah ancaman resesi, pasar lebih butuh isyarat stabilitas daripada terapi kejut yang mengalihkan krisis pandemi Covid-19. Rangkaian Perppu memberi sinyal terjadi kondisi genting berkelanjutan bahkan permanen. Dibutuhkan kajian mendalam tentang model-model integrasi peraturan dan  pengawasan sektor keuangan serta kehati-hatian dalam menentukan arsitektur kelembagaan sektor keuangan.

Irvan Rahardjo
Pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia ( KUPASI )

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.