‘Menggoreng’ Saham dan Berbagai Kejahatan di Pasar Modal

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI
Penulis: Riki Frindos
Editor: Yuliawati
13/11/2020, 10.27 WIB

Istilah ‘menggoreng’ saham saat ini menjadi istilah yang cukup populer, setidaknya bagi masyarakat perkotaan. Krisis keuangan skala raksasa yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya, yang diduga terkait dengan skandal ‘saham gorengan’, membuat istilah ini makin populer.

Menggoreng saham merupakan salah satu kejahatan pasar modal yang ditengarai cukup sering terjadi di Indonesia. Namun, goreng-menggoreng saham bukan satu-satunya kejahatan di pasar modal. Secara umum, ada tiga jenis kejahatan di pasar modal yang sering terjadi, yaitu, market manipulation, insider trading, dan front running.

Manipulasi laporan keuangan, pemberian informasi yang menyesatkan, penggelapan uang perusahaan publik oleh manajemen, atau penggelapan uang nasabah oleh perusahaan keuangan, adalah contoh kejahatan yang juga kerap terjadi dan merugikan investor di pasar modal. Namun, ini bukanlah modus kejahatan unik di pasar modal.

Market Manipulation (Manipulasi Pasar)

Manipulasi pasar adalah aktivitas satu atau beberapa pihak untuk menciptakan harga pasar yang semu (artificial).  Tujuan dari para penjahat dalam mempermainkan harga saham ini tentu dalam rangka memperoleh keuntungan. Manipulasi pasar kurang lebih sama dengan istilah menggoreng saham yang sering kita pakai.

Agar harga saham bisa dipermainkan sesuai keingan para penjahat tersebut, mereka harus mengendalikan jumlah saham yang cukup signifikan. Oleh karena itu, manipulasi saham kerap terjadi pada perusahaan relatif kecil. Seringkali, penjahat yang memanipulasi atau menggoreng saham bekerja sama dengan pihak pengendali perusahaan. Bisa juga, pihak pengendali sendiri yang melakukannya.

Salah satu tipe manipulasi saham yang sering terjadi adalah ‘pump and dump’ alias ‘angkat dan banting’. Fenomena goreng-menggoreng saham yang sering dibicarakan dibicarakan di bursa saham kita adalah tipe pump and dump ini.

Fase pertama adalah fase pump atau tahap “menggoreng”. Komplotan penjahat mempermainkan harga saham agar harganya naik sambil memancing agar investor lain ikut membeli saham tersebut. Untuk memancing investor, para penjahat seringkali juga melakukan upaya lain, seperti menyebarkan rumor dan berita yang seolah-olah menjustifikasi kenaikan harga. Atau, bahkan dengan mengeluarkan laporan riset yang terkesan independen yang memberikan rekomendasi untuk membeli saham.

Fase berikutnya adalah fase dump alias banting. Ketika harga telah naik mencapai tingkat yang diinginkan dan investor umum telah ramai berpartisipasi, komplotan penjahat akan menjual saham yang mereka miliki. Biasanya, aksi penjualan ini berlangsung dengan cepat dan dalam skala yang besar. Ketika proses dumping selesai, berarti komplotan telah berhasil keluar dari saham tersebut dengan keuntungan besar. Harga saham kembali ke harga semula atau bahkan lebih rendah, jika komplotan penjahat ini memutuskan untuk “menggoreng ke bawah”.

Satu episode goreng-menggoreng selesai. Para penjahat ini bisa mengulang lagi dengan episode berikutnya, atau pindah dengan menggoreng saham lain.



Perlu diketahui, pihak yang dirugikan bukan selalu investor yang naif. Sering juga terjadi investor yang memang sudah mengetahui sebuah saham tengah digoreng, namun memutuskan ikut berpartisipasi dengan harapan memetik keuntungan berbarengan dengan komplotan penjahat. Meski yang terjadi seringkali sebaliknya.

Bahkan, ada juga investor yang dengan kesadaran sendiri berkomplot dengan penjahat penggoreng saham untuk merugikan diri. Tentu, bukan uang mereka sendiri tetapi dana pihak lain yang dipercayakan pada mereka.

Sebagai contoh, oknum perusahaan asuransi atau dana pensiun berkomplot dengan penjahat penggoreng saham dengan membeli saham yang dimanipulasi pada harga yang tinggi. Biasanya proses ini diatur sedemikian rupa, termasuk dengan melakukan riset yang seolah-olah objektif dan independen. Ketika episode penggorengan selesai, harga saham anjlok, perusahaan asuransi atau dana pensiun tersebut mengalami kerugian, yang kemudian dianggap sebagai risiko investasi yang wajar. Komplotan penjahat penggoreng saham memetik keuntungan besar, dan kemudian membagi keuntungan tersebut dengan oknum perusahaan asuransi atau dana pensiun tadi.

Konspirasi seperti ini bisa juga disembunyikan dalam produk lain. Misalnya, komplotan penjahat bekerja sama dengan manajer investasi untuk membuat sebuah reksadana berisikan sebagian besar atau seluruhnya saham-saham yang dimanipulasi. Oknum dari perusahaan asuransi atau dana pensiun kemudian membeli reksadana ini. Yang tercatat di pembukuan mereka adalah reksadana, bukan saham gorengan.

Yang kadang kala terjadi juga adalah kejahatan dengan mekanisme repo saham. Sederhananya, pihak A  meminjam dana pada pada pihak B, dan memberikan sejumlah saham sebagai jaminan. Misal, A meminjam dana sebesar Rp 100 miliar dari B, dan menyerahkan sahamnya sebagai jaminan senilai Rp 150 miliar (150 juta lembar saham dengan harga pasar Rp 1.000). Yang kemudian terjadi, A tidak mengembalikan dana pinjaman tadi dengan alasan yang sudah disiapkan di depan. Memang B memiliki jaminan saham yang bisa dia jual di pasar. Tetapi, ternyata saham tersebut dimanipulasi, dan sekarang harganya sudah anjlok menjadi Rp 100, sehingga total nilai jaminannya hanya Rp15 miliar. Tentu, pihak B bisa jadi bagian dari komplotan, seperti oknum perusahaan asuransi, dana pensiun, sekuritas, atau manajer investasi yang mengelola dana nasabah.

SIDANG VIRTUAL PEMBACAAN VONIS KASUS ASURANSi JIWASRAYA (ANTARA FOTO/ Reno Esnir.)

Insider Trading (Transaksi Orang Dalam)


Insider trading, atau transaksi yang menyalahgunakan informasi orang dalam, adalah sebuah kejahatan yang dilarang di pasar modal. Insider trading mendapat perhatian besar dari otoritas dan pelaku pasar modal, serta media di berbagai belahan dunia. Namun, kasus ini jarang terungkap di Indonesia, walau diduga cukup sering terjadi. Sepertinya, ada kecenderungan sikap yang permisif terhadap insider trading di Indonesia, atau menganggap sulit untuk dibuktikan.

Jadi apa itu insider trading? Perlu kita pahami setiap informasi material (penting) terkait dengan perusahaan publik yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek wajib disampaikan secara terbuka, karena sahamnya dimiliki oleh masyarakat luas. Dan setiap investor harus memiliki akses yang sama dengan prioritas waktu yang sama pada setiap informasi material tersebut.

Kenapa? Karena nilai atau pergerakan harga saham bergantung pada informasi material terkait perusahaan. Informasi yang positif, seperti kenaikan laba, rencana akuisisi oleh perusahaan lain, akan mendorong kenaikan harga saham.

Sebaliknya informasi negatif yang material, seperti penggelapan uang perusahaan dalam jumlah besar oleh oknum manajemen, atau dibatalkannya kerja sama oleh klien besar perusahaan, akan menurunkan harga saham. Informasi seperti ini, sebelum diumumkan, tentu hanya diketahui oleh orang dalam perusahaan atau yang terlibat dalam transaksi.

Kapan harga saham akan berubah terkait dengan informasi material tersebut? Jawabannya, ketika informasi itu diterima oleh investor dan masyarakat luas. Bagaimana jika ada pihak tertentu menerima informasi lebih awal dari yang lainnya? Mereka akan bisa memanfaatkannya untuk keuntungan dirinya sendiri.  

Misal, perusahaan X akan diakuisisi oleh perusahaan Y dengan harga penawaran saham 50% di atas harga pasar. Pihak yang mengetahui informasi ini (orang dalam D) dapat mengambil keuntungan dengan membeli saham pada harga pasar sekarang. Nanti, ketika rencana akusisi ini diumumkan dan harganya melonjak, ia dapat menjualnya pada harga yang lebih tinggi.

Tindakan D ini adalah sebuah kejahatan, karena D mengeksploitasi penjual saham yang tidak mengetahui informasi material, yaitu rencana akuisisi. Keuntungan yang diperoleh D dari transaksi tersebut, secara esensi, merupakan hak penjual yang telah ‘dirampok’ D. Jika penjual tadi memiliki informasi yang sama dengan D, maka ia tidak akan mau menjual dengan harga yang sama, ia akan meminta harga 50% lebih tinggi.

Di dunia pasar modal, pengelolaan informasi yang material, yaitu informasi yang mempengaruhi harga saham, diatur dengan sangat ketat. Publik harus mendapat akses dan prioritas yang sama pada informasi yang material. Dan ini merupakan fondasi dasar bagi sebuah pasar modal yang fair dan sehat. Jika tidak, pasar modal akan menjadi sarana bagi satu pihak untuk mengeksploitasi pihak yang tidak memiliki akses yang sama terhadap informasi yang material.

Informasi material tidak hanya informasi terkait perusahaan, tetapi juga terkadang informasi ekonomi. Data tentang inflasi, suku bunga bank sentral, angka pengangguran, dan berbagai statistik ekonomi lainnya, di banyak negara dianggap informasi yang material bagi kinerja saham atau instrumen investasi lainnya. Pengungkapan tentang informasi ini diatur dengan sangat ketat.

Insider trading terkait devaluasi rupiah di masa lalu barangkali bisa memberikan gambaran tambahan. Di masa orde baru, nilai Dollar AS terhadap Rupiah ditetapkan oleh bank sentral dan pemerintah. Dari waktu ke waktu nilai ini diubah, atau didevaluasi. Barangkali kita pernah mendengar bahwa orang dalam yang mengetahui informasi tentang devaluasi memanfaatkannya dengan membeli dollar AS, yang nilainya kemudian naik ketika devaluasi diumumkan secara resmi. Pihak ini secara esensi telah melakukan kejahatan insider trading.

Sekali lagi, seperti halnya manipulasi saham, insider trading adalah sebuah kejahatan, dan diatur secara resmi dalam UU Pasar Modal. Pelaku insider trading tidak hanya manajemen perusahaan publik, manajer investasi, pialang, tetapi bisa siapa saja yang mendapatkan informasi material secara ilegal.

Front Running

Front running secara sederhana dapat diartikan sebagai “curi start”. Setiap transaksi akan mempengaruhi supply dan demand di pasar, dan akhirnya mempengaruhi harga. Pihak yang melakukan front running mengeksploitasi informasi terkait transaksi yang akan terjadi untuk keuntungan pribadi. Biasa dilakukan oleh oknum pialang saham/broker, tetapi juga oleh manajer investasi, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan siapa pun.

Oknum pialang yang menerima order nasabah untuk membeli saham dalam jumlah besar menyadari harga akan terdorong naik. Oleh karena itu, ia akan curi start membeli saham tersebut untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ia mengeksekusi order besar nasabahnya tadi yang membuat harga terdorong naik. Pialang ini kemudian dapat menjual sahamnya pada harga yang lebih tinggi. Ini bisa terjadi dalam hitungan menit saja, easy money tapi kemungkinan besar haram.

Manajer investasi atau pengelola dana pada perusahaan asuransi atau dana pensiun juga dapat melakukan front running. Misal, mereka memutuskan membeli saham-saham tertentu dalam jumlah besar untuk portofolio perusahaan. Sebelum mereka meminta pialang untuk mengeksekusi pembelian saham untuk portofolio perusahaan, mereka melakukan pembelian terlebih dulu untuk portofolio pribadi mereka. Kemudian, mereka menjual saham pribadi mereka, ketika harga naik bersamaan dengan pembelian dalam jumlah besar seperti yang mereka rencanakan untuk portofolio perusahaan.

Konsep front running di beberapa negara bisa lebih luas definisinya. Misalnya, perusahaan sekuritas akan menerbitkan laporan riset yang memberikan rekomendasi BUY, yaitu merekomendasikan nasabah mereka untuk membeli saham perusahaan tertentu. Jika analis atau pialang perusahaan sekuritas tersebut membeli saham yang mereka rekomendasikan sebelum laporan tersebut mereka kirimkan pada nasabah, maka ini dapat dikategorikan sebagai front running.

Tapi perlu diingat, risiko kerugian adalah bagian yang inheren dari sebuah investasi. Jadi kerugian dalam berinvestasi di pasar modal adalah sebuah kewajaran. Jangan pernah mengasosiasikan setiap kerugian dengan kejahatan. Sektor pasar modal tak berbeda dengan sektor lainnya, selalu ada pihak yang berbuat kriminal, namun mereka adalah minoritas. Semua tergantung dari karakter pelaku, kesempatan, dan tentu bagaimana hukum ditegakkan.

Bagi masyarakat luas, untuk meminimalisasi risiko menjadi korban kejahatan di pasar modal, adalah sangat penting untuk memilih perusahaan keuangan atau perusahaan investasi yang memiliki tata kelola (governance) yang baik. Walau bukan menjadi jaminan, perusahaan dengan skala lebih besar, perusahaan yang berasal, dan terikat pada aturan, dari negara lain dengan penegakan hukum yang lebih baik, biasanya memiliki tata kelola yang lebih baik. Namun, perusahaan lebih kecil dari negara berkembang bisa jadi memiliki tata kelola dan etika bisnis yang baik.

Riki Frindos
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.