Jejak Peradaban Baru dan Arah Ekonomi Global

ANTARA FOTO/REUTERS/Denis Balibouse
Sebuah logo terlihat di Pusat Kongress (Congress Center) menjelang pertemuan yang diselenggarakan setiap tahun World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, Senin (20/1/2020).
Penulis: Sampe L. Purba
30/1/2021, 07.00 WIB

Bersamaan dengan perhelatan world economic forum* -forum tahunan ekonomi dunia- di Davos, Swiss pada 25 – 29 Januari 2021, terbit briefing kuartalan berdasarkan riset kebijakan terbaru dan hasil konsultasi dan survei terhadap chief economist ternama di sektor publik maupun swasta.

Dari hasil kajian tersebut disarikan jejak-jejak berikut prioritas untuk merespons krisis ekonomi global yang dipicu oleh pandemi Covid-19.

Lima hal utama yang paling nyata dan implikasi lama dari pandemi, secara berturut-turut, yaitu, pertama kecenderungan bisnis dan aktivitas dapat dijalankan dari tempat jauh (remote), tanpa harus memerlukan kantor atau tempat yang permanen. Survei itu menunjukkan, selama pandemi, orang-orang lebih banyak bekerja dari rumah, namun justru lebih produktif.

Menurut penulis, hal ini memberi pesan, bahwa pemerintah perlu memprioritaskan kebijakan akses kepada internet yang meluas dan handal, menjadi barang publik yang cuma–cuma. Ke depan, menggunakan internet pun harus digratiskan sebagaimana semudah orang mengakses siaran radio dan tanpa bayar.

Kedua, untuk pemulihan ekonomi, ketimpangan pendapatan membuat negara miskin semakin kedodoran. Salah satu prasyarat titik balik pemulihan ekonomi yakni tersedia dan divaksinasinya penduduk secara meluas dan efektif. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, atau Uni Eropa pada kuartal ketiga 2021 diperkirakan telah memvaksinasi sekitar 70 % penduduknya, sebagai standar untuk membentuk kekebalan komunal (herd immunity).

Di sisi lain, banyak negara berkembang yang baru mulai vaksinasi massal di 2022. Sementara untuk yang terpapar, tidak tersedia fasilitas kesehatan yang memadai. Tentu hal ini akan semakin membuat jurang yang menganga. Diperlukan koordinasi, kerja sama, dan intervensi global untuk menolong negara-negara terkebelakang, dengan berbagai skema bantuan, akses permodalan, pasar, dan lain-lain.

Ketiga, akselerasi dan konsentrasi ekonomi digital. Pada masa awal pademi, di mana diterapkan lockdown, dalam dua bulan pertama saja fasilitas rapat daring menggunakan zoom melibatkan 300 juta orang. Pemerintah RRC dibantu jaringan platform Ant Financial mendistribusikan dana darurat kepada jutaan warga terdampak dan usaha kecil. Lima perusahaan jasa digital terbesar merupakan pendorong utama kinerja indeks S&P 500 di tahun 2020.

Masif dan dominannya pasar digital ini menarik perhatian beberapa pemerintah terkait dengan keamanan data. Pemerintah RRC, misalnya, mengintervensi penawaran saham perdana (IPO) Ant Financial yang dimiliki raksasa Jack Ma pendiri Alibaba. Beberapa negara lain menerapkan aturan terkait persaingan dan dominasi teknologi digital tertentu di pasar.

Keempat, menguatnya peran pemerintah. Di masa pandemi, di mana banyak bisnis secara disruptif terpapar dan terkapar, pemerintah memiliki peran sangat sentral untuk memulihkan ekonomi. Sepanjang 2020, misalnya, negara-negara yang tergabung dalam G 20 mengalokasikan komitmen dana lebih dari US$ 10 triliun (hampir tiga kali dari ketika krisis keuangan global 2008) untuk langkah-langkah darurat dalam bentuk hibah dan stimulus ekonomi.

Beberapa aturan diterapkan kepada korporasi seperti membatasi pembagian dividen maupun pemutusan hubungan kerja. Untuk mengkompensasi hal tersebut pemerintah memberi paket-paket bantuan. Misalnya, pemerintah Amerika Serikat membantu secara masif perusahaan-perusahaan skala kecil. Masyarakat Eropa memberikan komitmen stimulus fiskal hingga 20 % untuk mempercepat transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Kelima adalah deglobalisasi. Pandemi  bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Sebelum pandemi, 300 dari 500 perusahaan top dunia memiliki hub (pusat) mata rantai suplai di provinsi tersebut. Hal ini segera menyadarkan para pemimpin dunia akan perlunya self sufficiency (kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri) mata rantai suplai industri, juga diversifikasi regional.

Selain itu, persaingan teknologi antara Amerika Serikat dan Cina yang diperkirakan berlanjut dapat menjurus pada kompartementalisasi daerah pengaruh (sphere of influence). Amerika, misalnya, telah melarang sejumlah penyedia jasa teknologi Cina memasuki jalur distribusi dagang maupun pasar modal Amerika. Dunia masih menunggu, bagaimana sikap pemerintahan baru Amerika di bawah Joe Biden terkait isu-isu hubungan dagang ini.

Arah Kebijakan Pemulihan dan Transformasi

Briefing tersebut juga menyampaikan empat fokus jalur kebijakan untuk pemulihan dan transformasi ekonomi, yaitu di bidang fiskal, moneter, persaingan, dan kerja sama multilateral, Secara padat diuraikan sebagai berikut.

Kebijakan Fiskal

Untuk mengatasi krisis Covid-19, negara-negara sepakat untuk meningkatkan pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari utang. Di beberapa negara maju, rasio utang ke pendapatan domestik bruto (GDP) meningkat 15 – 20 %. Bahkan beberapa negara telah lebih dua kali.

Hal ini sebetulnya mengkhawatirkan. Namun para ekonom sepakat, untuk mengatasinya bukan dengan menaikkan pajak, melainkan restrukturisasi utang korporasi, penjaminan, dan moratorium utang jangka panjang.

Kebijakan Moneter

Saat ini bank sentral memiliki peran besar dalam pelonggaran kuantitatif (quantitative easing), dengan membeli aset keuangan dari bank komersial dan institusi swasta serta obligasi jangka pendek pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menurunkan suku bunga pasar pada target tertentu dalam rangka mengendalikan dampak inflasi. Juga diharapkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap akan memampukan pemerintah membayar obligasi yang jatuh tempo.

Eratnya kaitan antara pengambil kebijakan moneter dan kebijakan fiskal membuat independensi bank sentral agak tergerus. Namun para responden memahami dan menyepakati kecenderungan tersebut adalah situasional dan tidak untuk jangka panjang.

Kebijakan Persaingan

Menguatnya platform teknologi digital yang memberi akses luas terhadap data global dapat merupakan ancaman dominasi pelaku bisnis tertentu yang tidak memberikan ruang sama (level of playing field) dalam perdagangan. Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan masyarakat Eropa menaruh perhatian yang dalam, dan mengevaluasi apakah aturan antitrust yang sekarang telah memadai untuk memproteksi masyarakat dan menciptakan pasar yang adil. Inovasi teknologi juga akan diarahkan sehingga konsumen memiliki kontrol penuh atas penggunaan datanya.

Kerja Sama Multilateral

Dengan pemerintahan baru di Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden, diharapkan kerja sama multilateral akan semarak lagi, yang sebelumnya di bawah Donald Trump agak dikesampingkan. Para responden sepakat bahwa kerja sama multilateral akan banyak bertumpu pada hal-hal yang terkait dengan perubahan iklim, membendung arus proteksionisme, dan penyediaan dukungan fiskal kepada negara negara yang rawan.

Dalam konteks ini, persyaratan restrukturisasi perpajakan di negara penerima bantuan kemungkinan akan mengemuka. Kerja sama konkrit lainnya adalah di pengaturan di bidang teknologi penginderaan, distribusi vaksin, keamanan siber serta antisipasi untuk pandemi di masa yang akan datang.

*World Economic Forum 2021 dilaksankan  secara kombinasi virtual dan fisik di Davos dan Singapura

Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.