Fenomena Spotify dan Membangun Kemandirian Music Streaming Bangsa

Instagram/@spotify
Ilustrasi Spotify
Penulis: Luki Safriana
Editor: Redaksi
21/6/2021, 11.16 WIB

Hadirnya pandemi corona berdampak pada peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia. Peningkatannya terbukti sejak 2 Maret 2020. Laporan Survei Internet APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) kuartal II 2020 menyebutkan penetrasi internet sudah mencapai 73,7% atau 196,71 juta pengguna. 

Bak gayung bersambut, salah satu hikmah dari pandemi global ini ternyata mampu mendorong industri musik digital. Hal ini terbukti pada platform musik digital Spotify. Tercatat kenaikan jumlah penggunanya mencapai 31% selama triwulan pertama tahun lalu atau ditaksir 130 juta pelanggan.

Kebijakan lockdown maupun serupa lainnya kerap digunakan oleh banyak negara dan kian memaksa orang-orang untuk beraktivitas di rumah. Dengan aktivitas yang terbatas, banyak orang mencari hiburan melalui platform musik digital Spotify hampir sepanjang hari. Spotify menyatakan bahwa jumlah waktu mendengarkan musik naik menjadi dua kali lipat dalam beberapa pekan terakhir.

Sebelum adanya pandemi global, orang pada umumnya mendengarkan musik saat pagi hari. Lain halnya ketika karantina wilayah diberlakukan, frekuensi masyarakat mendengarkan musik semakin bertambah yaitu saat memasak, mengerjakan pekerjaan rumah, berkumpul bersama keluarga dan juga saat bersantai di rumah.

Fenomena Spotify

Spotify merupakan platform musik digital asal Swedia yang didirikan pada tanggal 23 April 2006 dan dapat diakses melalui ponsel, tablet maupun komputer. 

Tidak hanya dapat mendengarkan ratusan lagu dari mancanegara saja, Spotify juga menyuguhkan podcast untuk penggunanya. Sebuah kutipan menarik dari Caleb Denison, editor Digital Trends, menyatakan, “Spotify perubahan untuk masa depan. CEO Spotify mengatakan, musuh terbesarnya adalah pembajakan. Musisi dan Spotify perlu kerja sama daripada perang.”

Taylor Swift, mantan kekasih Harry Styles, sempat menjadi kontra produktif dengan melakukan gerakan walk out dari Spotify pada tahun 2014. Gerakan tersebut juga dilakukan oleh Justin More, Brantley Gilbert dan Jason Aldean.

Anehnya, meski gerakan musisi itu menggurita, Spotify tidak panik. Bahkan gerakan yang dilakukan oleh Taylor Swift tersebut justru menjadi “endorsement wave” bagi kemajuan Spotify. Alih-alih, kasus tersebut membuat paradoxical effect. Spotify terus berkibar karena melakukan pembenahan secara internal dengan menggali pengalaman streaming penggunanya.

Selama pandemi, pengguna aktif Spotify kian bertambah. Pengguna aktif yang berasal dari kawasan Eropa (35%), diikuti dengan Amerika Utara (26%), Amerika Latin (22%) dan wilayah lainnya (17%). 

Jika dibandingkan kuartal pertama 2019, total pendapatan Spotify tahun lalu meningkat sebanyak 22% menjadi 1,85 miliar euro atau sekitar Rp 3 triliun.

Menurut laporan Business Insider, sejak 2006 hingga saat ini, Spotify telah membayar royalti sebanyak US$ 9,76 miliar kepada artis yang menggunakan jasanya. Pada akhirnya, kontroversi pun hadir di antara label musik dan platform musik digital ini. 

Permasalahan yang hadir adalah titik buntu kesepakatan dengan tiga label raksasa yaitu Sony, Universal dan Warner mengenai perhitungan royalti yang masuk. Pendapatan label lain tergerus tajam dan musisi independen masih menjadi perdebatan juga ancaman serius.

The New York Times memaparkan, 52% royalti dibayarkan langsung oleh Spotify ke pihak label. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 15% royalti yang sampai ke tangan musisi. Artis internasional papan atas cenderung lebih diuntungkan jika dibandingkan dengan artis independen. 

Menurut Digital Music News, Taylor Swift ditaksir meraup royalti sekitar US$ 400 ribu per pekan dari Spotify. Sedangkan bagi artis independen, jumlah royaltinya jauh berbeda.

Tidak hanya artis dan Spotify, zona perang pun meluas hingga melibatkan label musik. Wacana perubahan dan/atau penambahan fungsi Spotify menjadi label jelas menjadi buah simalakama. Spotify harus berhadapan dengan tiga label raksasa yang memilki porsi sangat besar pada pasar musik. 

Pada akhirnya, Spotify tetap berada pada jalurnya yaitu sebagai platform musik digital saja. Jika lebih jauh pun, Spotify hanya menjamah dunia podcast saja yang tidak terkait dengan fungsi label.

Spotify menyebutkan bahwa 2020 menjadi tahun yang luar biasa untuk penemuan dan apresiasi terhadap musik lokal di Indonesia. Pamungkas menjadi artis lokal yang paling banyak didengarkan di Indonesia 2020. Albumnya, “Walk The Talk” yang dirilis pada 2018 pun menjadi album yang paling banyak didengarkan di Indonesia.  Lalu, menyusul Fiersa Besari, Hindia, Tulus hingga (almarhum) Glenn Fredly.

Kemandirian Music Streaming

Pandemi pun turut memicu persaingan diantara platform musik digital. Pemain seperti YouTube (AS), Joox (Tiongkok), Resso (Tiongkok), Apple Music (AS), Amazon Music (AS), SoundCloud (Tiongkok), Tidal (AS) dan Langit (Indonesia), kian mempersengit kompetisi di sektor ini.

Berdasarkan data terbaru, Biro Sensus AS menyebutkan, jumlah populasi di Indonesia adalah 275.122.131 penduduk, sedang menurut Worldometers adalah 273.523.615 penduduk. 

Jumlah populasi ini adalah yang terbanyak keempat setelah AS. Posisi tersebut membuat Indonesia sangat berpotensi menjadi pasar yang menggiurkan bagi industri musik, terutama sektor platform musik digital yang masih dikuasai oleh pemain asing.

Tercatat rintisan platform musik digital terbaru yang mulai dirintas oleh PT Melon Indonesia dengan Telkom melalui Langit Musik. Kabar ini memberi angin segar bahwa ada upaya untuk menciptakan kemandirian pada sektor platform musik digital ini.

Perkembangan platform musik digital di Indonesia menunjukkan suatu geliat yang sangat positif. Ada fenomena baru, musisi independen maupun grup musik ternama beserta labelnya mulai serius menggarap pasar platform musik digital ini. Semakin banyak pilihan, semakin banyak tawaran dan semakin banyak pula pendapatan yang didapatkan.

Besar harapan industri musik Indonesia dapat menjadi lebih produktif dengan keberadaan platform musik digital. Optimalisasi melalui diskusi dan sosialisasi dengan beragam program pun harus terus dilakukan. Inisiasi tersebut hendaknya mendapat porsi yang cukup dan dapat difasilitasi oleh Kemenparekraf (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) maupun asosiasi terkait. Platform musik digital lokal juga tetap dituntut untuk beradaptasi dengan menawarkan pelayanan dan kinerja yang lebih baik.

Akhir kata, perkembangan industri musik nasional tidak lepas dari digitalisasi. Program khusus beserta pendanaan segmen ini, terutama bagi start-up muda-mudi Indonesia, perlu didorong. Diversifikasi penting agar tidak hanya meetings, incentives, conferencing, exhibitions (MICE) yang mendapatkan ceruk.

Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.