Menguji Kredo Bisnis Energi Baru Terbarukan

Katadata
PLTB Sidrap
Penulis: Naufal Azizi
Editor: Sorta Tobing
31/7/2021, 11.00 WIB

Sulit menyangkal energi baru terbarukan (EBT) kini jadi incaran lini bisnis baru bagi pebisnis energi. Besarnya perhatian pasar didasari kredo bahwa EBT sebagai green recovery economy pascapandemi Covid-19. Bahkan sejumlah emiten fosil mulai berbondong-bondong melirik bisnis penghasil energi bersih tersebut. Terlebih mereka mulai pontang-panting akibat keterbatasan pendanaan. Perbankan dunia sepakat memangkas kucuran dananya mengalir ke proyek energi fosil.

Sayangnya, kondisi ini tak serta merta mampu menjawab ambisi besar pemerintah mencapai bauran EBT. Sesuai target rencana umum energi nasional (RUEN), EBT memiliki porsi bauran energi primer sebesar 23% di tahun 2025 dan meningkat jadi 31% di tahun 2050. Sisanya masih dominan dikendalikan oleh energi fosil untuk total penyediaan energi 400 juta ton setara minyak (MTOE) di 2025. Bandingkan dengan Amerika Serikat, Joe Biden sudah mematok porsi EBT sebesar 80% dari total penggunaan energi di tahun 2030. 

Kendati difungsikan sebagai jalan panjang transisi energi, EBT rasanya belum mampu memberikan keyakinan terhadap jawaban isu energy trilemma. Faktor pertimbangan utama adalah bagaimana menghadirkan energi dengan harga relatif terjangkau (affordability), andal (security), dan berkelanjutan (suistanibility). Aspek keterjangkauan harga menjadi prioritas bagi pemerintah dalam mengambil sikap. Kelebihan inilah yang justru melekat pada batu bara maupun migas. 

Sejauh ini biaya investasi EBT butuh modal besar, kendati seiring berjalannya waktu mengalami penurunan secara signifikan, seperti surya, air, dan angin. Dampaknya, bila harga EBT tak bisa kompetitif, sepertinya sulit bersaing dengan energi fosil. Apalagi dari segi struktur modal (capex dan opex), energi fosil punya kemapanan skala keekonomian di mata pebisnis. Di tambah lagi campur tangan negara melonggarkan subsidi. Laporan BloombergNEF, subsidi bahan bakar fosil Indonesia naik 26.6% sejak 2015 sampai 2019 (Guardian, 20/7/2021).  

Kondisi seperti itu malah memengaruhi daya beli masyarakat. Sekarang saja, dengan banyaknya industri berhenti beroperasi (shut off), mengurangi beban pembangkit di Jawa atau memiliki ekses listrik atau kelebihan pasokan sekitar 30%. Pekerjaan ini makin berat bila menggantungkan PLN sebagai pembeli tunggal (single off-taker)

Di luar itu, belum beresnya penanganan pandemi menyebabkan keraguan investor menjalankan bisnis EBT di Indonesia. Adanya pemberlakuan pembatasan aktivitas masyarakat (PPKM) akan membuat ekonomi 'pincang' dan memupus harapan perbaikan kontraksi pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 yang diramalkan Presiden Jokowi sekitar 3% sampai 4% year on year. Padahal, investasi merupakan senjata paten Jokowi dalam pemulihan ekonomi nasional. 

Sine Qua Non

Tantangan di atas tak seyogyanya membuat pemerintah memangkirkan EBT. Ingat, Indonesia telah terikat pada kesepakatan internasional dalam Paris Agreement yang diratifikasi pada 2016. Mau-tak mau, pemerintah harus membuat EBT sebagai prioritas kebijakan. Sejalan dengan spirit global berperang mengendalikan emisi karbon serta mengadang percepatan perubahan iklim.

Sesuai Nationally Determined Contribution, sektor energi diharapkan mampu mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) 38% atau sekitar 314  juta sampai 398 juta ton karbon dioksida (CO2) di 2030. Harapannya, total emisi GRK turun drastis hinggga 29% dengan business as usual (BaU) dan 41% dari bantuan internasional. Dan skrenario paling apik dalam menjawab persoalan tersebut adalah penyediaan listrik berbasis EBT.

Betul, kita punya segudang potensi EBT. Coba bayangkan, dari 417,8 Giga Watt (GW) total potensi, baru termanfaatkan 2,5% atau 10,4 GW. Isu yang kerap jadi ganjalan adalah kesiapan infrastruktur termasuk penguasaan teknologi. Justru isu ini dijadikan tameng oleh kalangan pro-fosil mengusung kemandirian energi lantaran teknologi EBT masih didominasi dari Eropa maupun Amerika. Ya, memang beberapa sumber EBT masih butuh base load, sifatnya inkonsisten, dan sangat site spesific. 

Persoalan tersebut tak lantas membuat langkah kita mundur. Mengadopsi Darren MacCauley (2018) bahwa EBT adalah syarat mutlak menghadapi perubahan iklim dan keadilan. Keadilan soal tanggung jawab pemakaian energi tak sepenuhnya bergantung pada negara, tapi melibatkan konsumen individu. 

Setidaknya pemilihan EBT memicu lahirnya pola pikir baru. Adaptasi terhadap revolusi industri 5.0 dengan menghasilkan keberlanjutan lingkungan. Kita dapat memangkas faktor negative externalities. Acap kali, eksploisitas energi fosil mengancam kerusakan lingkungan, kesehatan, hingga memicu konflik sosial. 

Vaksinasi Insentif 

Bagi pebisnis, kesadaran lingkungan saja tak cukup. Yang perlu diperhatikan bagaimana pemerintah menyita perhatian penuh terhadap kebijakan EBT. Menciptakan iklim investasi kondusif. Pandangan saya, cara jitu menyembuhkan keadaan seperti ini adalah mempercepat aksi pemberian insentif baik fiskal maupun nonfiskal.

Tak mudah memang. Apalagi di tengah keuangan negara yang tertekan dan fokus ke penanganan kesehatan dan perlindungan sosial. Dalam konferensi pers hari Sabtu (18/7) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya mematok insentif dunia usaha di sisa akhir anggaran 2021 pada angka Rp62,83 triliun. Nilai ini tak besar.  

Untuk itu, pemerintah perlu mencari terobosan pembiayaan baru. Misalnya dengan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dan melibatkan sektor swasta dalam pembanguan infrastruktur.  Langkah ini memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel dalam mempercepat pemanfaatan EBT sebagai backbone sumber energi. 

Hal lain yang patut diperlukan adalah penyelesaian segera rancangan undang-undang EBT. Termasuk yang saat ini tengah digodok peraturan presiden tentang tarif listrik EBT. Bila aturan hukum ini digarap setengah hati, kita tak perlu banyak berharap misi Indonesia pembangunan rendah karbon akan tercapai. Bisnis EBT pun hanya tren latah saja. Semoga saja tidak. 

Naufal Azizi
Anggota

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.