Banjir rob dan Jakarta tenggelam sempat ramai disorot berbagai media, meskipun isu tersebut kalah pamor dengan berita-berita bertajuk Covid-19 varian omicron dan boikot Nikita Mirzani. Perkiraan DKI Jakarta tenggelam hingga kawasan Monumen Nasional dalam tiga puluh tahun ke depan seakan menjadi topik yang tidak begitu relevan, padahal ini menyangkut hajat hidup lebih dari sepuluh juta jiwa.
Ada potensi kehilangan PDRB penduduk sebesar Rp 1.186 triliun. Ada juga potensi kerugian materiil seperti pusat bisnis, infrastruktur, dan gedung-gedung bersejarah. Juga kerugian non-materi selayaknya kebudayaan dan kenangan penduduk yang melekat pada setiap sudut kota menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi dianggap remeh.
Krisis iklim yang turut mempercepat kenaikan air laut menjadi satu dari sekian penyebab yang seharusnya ditangani secara global, bukan oleh warga Jakarta saja. Kebijakan-kebijakan yang diambil serta solusi-solusi yang sudah dijalankan tetap tidak bisa memastikan akan satu kondisi, yaitu efek dari naiknya permukaan air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Hal ini lantaran penanganan perubahan iklim membutuhkan solusi yang lebih global dan masif serta penuh dengan ambisi. Animo pesimistis terhadap penanganan isu perubahan iklim terjadi karena banyak kebijakan lokal maupun global yang masih berpihak kepada energi fosil.
Belum lagi kenaikan harga gas alam yang membuat banyak negara di Eropa dan Amerika kembali menggunakan batu bara sebagai energi utama demi menyelamatkan masyarakat dari musim dingin tahun ini.
Namun demikian, sebagai warga negara kita dituntut untuk lebih memperhatikan isu ini secara lokal. Pasalnya, meskipun tanggul-tanggul di Jakarta Utara dinaikkan setiap tahun, banjir rob tetap terjadi.
Hal itu mengindikasikan bahwa permukaan tanah Jakarta menurun terus-menerus. Penyebabnya, tingkat debit-kredit air yang tidak seimbang, kurangnya tempat resapan air, dan dinding-dinding sungai yang menyempit setiap hari karena penumpukan sampah.
Solusi preventif yang dapat dilakukan yaitu rehabilitasi sungai dan memperbaiki reservoir. Sementara solusi antisipatifnya yakni membangun tembok-tembok a la anime Attack On Titan di pesisir Jakarta yang tidak memakan sedikit biaya.
Rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur seakan mengamini bahwa Jakarta sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Sehingga, pertanyaan terbesarnya adalah apakah mundur dari pertarungan dengan perubahan iklim menjadi bijak untuk masyarakat?
Mundur yang dimaksud yaitu bergerak meninggalkan wilayah-wilayah yang berpotensi tenggelam dan membangun peradaban baru yang menjauh dari laut tanpa meninggalkan laut itu sendiri. Beberapa aspek yang akan muncul terkait keberadaan DKI Jakarta yang baru meliputi luasan provinsi, relokasi penduduk, serta berkurangnya pemasukan daerah menjadi hal-hal yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari.
Perencanaan untuk membuat sebuah peradaban baru yang lebih lestari dan berkelanjutan menjadi sebuah kewajiban apabila kita masih ingin melihat anak-cucu dapat menikmati udara bersih, air yang cukup dan memadai, serta kehidupan yang layak.
Mengingat Jakarta memiliki ketergantungan pangan tinggi terhadap daerah lain, apabila setengah Jakarta kelak benar-benar tenggelam, masyarakat perlu menjadikan Ibu Kota ini lebih tahan banting. Mengapa?
Ketika skenario bencana 2050 melanda, krisis iklim akan meluluhlantakkan aktivitas seluruh daerah. Bilamana solusi-solusi atas ketergantungan baru digalakkan di tengah kepanikan massal, hampir dapat dipastikan bahwa dalam tahun-tahun berikutnya Jakarta hanya akan menjadi sebuah catatan kaki dalam buku sejarah dunia.
Atas dasar itulah pengembangan regeneratif (regenerative development) perlu dipertimbangkan sebagai alternatif dari pengembangan keberlanjutan (sustainable development). Lantas apa saja yang dapat masyarakat lakukan demi hari ini dan esok yang lebih baik?
Sebelum masuk pada solusi, kita perlu sama-sama mengetahui bahwa yang disebut dengan sustainable development adalah sebuah proses untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hari ini tanpa mengorbankan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan di masa depan (Brundtland, 1980). Pengembangan keberlanjutan dimaksudkan untuk mencapai titik keseimbangan yang dinamis antara manusia dan ekosistem kehidupan.
Sekilas proses yang demikian ini terdengar baik, mengingat sudah sejak lama PBB mendorong semua negara untuk melakukannya. Namun perlu diingat bahwa pada praktiknya seringkali kita sebagai manusia lupa untuk menjaga keberlangsungan tempat-tempat sumber daya didapatkan. Atas dasar kealpaan menahun inilah regenerative development dianggap sebagai solusi mutakhir yang lebih relevan untuk diterapkan.
Pengembangan regeneratif dapat didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sembari memajukan kapasitas sistem pendukung yang diperlukan untuk pertumbuhan masa depan (Gabel, 2015).
Pengertian regenerasi sendiri melampaui keberlanjutan dan pencegahan resiko. Hal ini lantaran lebih kepada secara aktif merestorasi, membina, dan menciptakan kondisi di mana ekosistem, ekonomi, dan manusia dapat tumbuh bersama. Tujuan akhirnya untuk mencapai titik support maksimum, yaitu mencapai sistem yang dapat berkembang dan berevolusi dengan sendirinya.
Selanjutnya, terdapat beberapa cara untuk menciptakan kota yang lebih tangguh bencana. Pertama-tama, masyarakat memerlukan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Itu artinya pemerintahan yang terdesentralisasi.
Masalah yang timbul dari konsentrasi kekuasaan pada satu pihak menyebabkan aspirasi rakyat di sudut-sudut perkotaan ayal terdengar, hal ini kemudian menyebabkan masyarakat yang tersegregasi. Istilah-istilah kekinian seperti “Anak Jaksel” atau “Anak Timur” merupakan bukti adanya perpecahan semacam ini. Saat kekacauan skala nasional terjadi, eksklusivisme golongan hanya akan memperlambat proses perbaikan.
Aksi nyata masyarakat dalam menghilangkan segregasi bisa dilakukan sesederhana dengan mulai berbaur sejak hari ini. Hal konkret lain yang dapat kita lakukan sebagai individu adalah berkaca diri dan menyadari bahwa pada hakikatnya semua manusia itu sama. Perbedaan suku, ras, agama, dan golongan hanyalah identitas sementara yang kelak segera kita tanggalkan begitu wajah tertutup tanah.
Energi yang dapat diperbaharui menjadi langkah ketiga yang perlu diambil. Itu artinya menghilangkan ketergantungan terhadap energi fosil (minyak bumi dan batu bara) dan ketergantungan kepada satu organisasi pusat.
Pengembangan renewable energy dapat dimulai dari setiap rumah, misalnya dengan menggunakan panel surya level rumah tangga maupun pembangkit listrik mikro skala kompleks dan apartemen. Namun untuk penerapan skala lebih masif memang diperlukan perencanaan yang lebih berorientasi keberlanjutan.
Sebab, meskipun panel surya menghasilkan jejak karbon yang lebih sedikit ketimbang energi fosil, pada kenyataannya setiap langkah dalam proses manufaktur panel-panel tersebut tetap mencemari lingkungan. Misalnya saja terkait keperluan kayu untuk melelehkan silikon (bahan baku utama panel surya), juga terkait media transportasi produk jadi ke berbagai benua, hingga tahapan instalasi di tempat konsumen.
Ketiga, pengolahan sampah yang lebih baik. Mungkin terdengar klise, tetapi langkah yang sederhana ini dapat menyelamatkan lingkungan hidup. Dalam bahasa yang lebih beken, solusi ini disebut dengan circular economy yang dapat dimengerti sebagai sebuah model produksi dan konsumsi yang melibatkan pemberian, peminjaman, penggunaan kembali, perbaikan, dan mendaur ulang material dan produk sejauh mungkin.
Contoh level industri yang sering kita temui sehari-hari adalah ponsel-ponsel Apple yang dikenal sebagai barang refurbished. Walaupun pasar Indonesia memiliki sentimen buruk terhadap refurbished item, pada hakikatnya ponsel-ponsel yang didaur ulang secara resmi oleh Apple memiliki kualitas yang serupa dengan produk baru.
Sebagai contoh yang lebih familier, tidak jarang kita menemukan pot-pot bunga yang terbuat dari botol plastik atau kaleng bekas di pekarangan-pekarangan rumah tangga. Terlihat sepele, tetapi langkah-langkah kecil semacam inilah yang dilakukan secara kontinu yang pada akhirnya akan menyelamatkan hajat hidup kita bersama.
Terakhir dan terpenting, Jakarta harus memiliki ketahanan pangan sendiri dan tidak bergantung dari daerah lain. Berbicara tentang makanan, dua bahan paling krusial yang tidak dapat terlewatkan dalam proses penciptaannya merupakan tanah dan air.
Sayangnya sejak ditemukannya pestisida, dunia belum pernah mengonsumsi pangan yang semestinya. Secara singkat, pestisida bukan hanya membunuh hama tetapi juga turut memusnahkan mikroba dan cacing yang memberikan nutrisi bagi tanah. Jika nutrisi di tempat tumbuhan hidup saja sudah musnah, maka apa yang sebenarnya kita makan selama ini?
Dalam skenario terburuk, tanah pertanian yang kita lihat hari ini akan menjadi padang tandus bak di layar lebar Interstellar atau gurun gersang Dune. Ketika Jakarta dan kota-kota urban lainnya yang memiliki lahan terbatas terdampak krisis pangan, maka setiap rumah tangga, kompleks dan apartemen harus mempersiapkan solusi yang praktikal.
Di titik inilah urban permaculture memainkan peranan yang penting. Permakultur atau agrikultur permanen berkutat pada sebuah teori holistik bahwa manusia dianggap sebagai satu bagian dari sistem ekologi yang lebih besar dan bukan sebagai bagian yang terpisah.
Pada konsep pertanian ini, bumi dan tanah dilihat sebagai ekosistem yang terus berkembang dan memenuhi dirinya sendiri selain memang untuk memerbaiki kesehatan tanah itu sendiri. Para aktivis permakultur berusaha untuk mengembalikan pertanian sebagaimana bumi menumbuhkembangkan flora dan fauna secara natural (Lamb, 2008). Sementara urban permaculture berusaha untuk menerapkan pengertian ini pada pertanian urban dalam lingkup tertutup yang lebih sempit.
Dengan melihat kondisi di atas, Jakarta memang sudah saatnya untuk mundur dari pertarungannya dengan alam dan ikut berkompromi. Akan tetapi, istilah “Kerasnya Ibu Kota” juga harus menggambarkan bahwa Jakarta tidak menyerah dan 2050 bukan saatnya Jakarta mati , seperti judul sebuah film James Bond “No Time To Die”.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.