Seperti biasa, setiap tahun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas mengumumkan kinerjanya, yang merupakan bagian dari pertanggungjawaban kepada publik. Capaian pada 2022 dijabarkan di hadapan media dan disampaikan secara terbuka pada 19 Januari 2023.
Secara umum, angka-angkanya baik. Dari lima indikator kinerja (KPI) utama, dua diantaranya, yaitu lifting dan investasi, tidak mencapai target. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Sebab keputusan investasi dan besarannya akan menentukan lifting.
Realisasi investasi pada 2022 sebesar US$ 12,3 miliar lebih tinggi US$ 1,4 miliar dibandingkan pada tahun sebelumnya. Namun, lebih rendah US$ 0,9 miliar jika dibandingkan dengan target.
Sebuah capaian yang tidak sempurna, karena tidak mencapai target, tapi tidak terlalu buruk. Sebagian pemerhati menilai hal ini sebagai sebuah signal, sebuah pertanda, terjadi perbaikan iklim investasi. Kemudian ‘ditengarai’ investor hulu migas mulai tertarik masuk ke Indonesia.
Sebenarnya seperti apa? Lalu, bagaimana investasi hulu migas ke depan?
Arah Investasi Migas
Mari kita lihat lebih rinci. Sebagian besar dari investasi pada tahun lalu, atau 71,5% dari realisasi investasi, dialokasikan untuk menjamin operasional. Lalu, 22% untuk program pembangunan fasilitas, dan sisanya 6,5% untuk kegiatan eksplorasi.
Tahun ini proyeksinya investasi hulu migas mencapai US$ 15,5 miliar. Sebesar 66,8% untuk operasional. Angka ini 4,7% lebih rendah jika dibadingkan pada 2022.
Pengurangan alokasi kegiatan operasional 'dialihkan’ ke kegiatan eksplorasi. Dengan begitu, porsi investasi eksplorasi naik menjadi 11,5% atau senilai US$ 1,7 miliar. Sedangkan porsi untuk development relatif sama, yaitu 21,7%.
Porsi yang besar untuk kegiatan operasional tahunan seolah menegaskan bahwa pada 2022 pemerintah dan SKK Migas mengutamakan upaya untuk ‘bertahan hidup’. Bila dikaitkan dengan produksi dan lifting, dapat diartikan bahwa porsi investasi tersebut dimaksudkan untuk menahan supaya tingkat produksi tetap pada posisi ‘normal’ declining. Atau, mampu menahan, supaya declining tidak semakin dalam.
Investasi operasional mencakup pembiayaan untuk kegiatan rutin, maintenance, drilling development, infill, reaktifasi sumur, workover dan well services. Sedangkan investasi development adalah investasi yang diarahkan untuk pembangunan fasilitas baru yang nantinya akan menambah produksi.
Tidak seluruhnya investasi development tahun ini akan menambah produksi di tahun yang sama. Dampak dan hasil dari investasi baru terasa di tiga atau empat tahun kemudian.
Sebagai contoh, proyek Jambaran Tiung Biru (JTB). Uang yang diinvestasikan sudah tercatat sebagian di tahun sebelumnya dan hampir seluruhnya di 2022. Namun, dampak terhadap produksi dan liftingnya tidak mendadak langsung di titik optimum.
Target investasi 2022 sebesar US$ 13,2 miliar diharapkan dapat menghasilkan 654 ribu barrel per hari dan gas bumi 5500 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Namun, realisasinya hanya US$ 12,3 miliar.
Investasi tersebut mampu menambah tingkat produksi minyak bumi sebesar 17 ribu barel per hari, tapi diikuti declining sebesar 58,7 barel per hari. Realisasi lifting berada di posisi 612 barel per hari. Sedangkan gas bumi mampu bertambah 236 MMSCFD, tapi menanggung declining 389 MMSCFD, sehingga realisasi lifting gas bumi berada di 5347 MMSCFD.
Apabila dihubungkan dengan rencana jangka panjang, yaitu menuju 1 juta barrel per hari dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030, maka masih ada defisit 70 ribu barrel per hari untuk minyak bumi dan gas bumi defisit 156 MMSCFD.
Upaya untuk mencapai target itu nampaknya semakin berat. Harus diimbangi dengan upaya untuk menutup defisit tersebut pada 2024 dan 2025.
Di sisi lain di kedua tahun tersebut kontribusi tambahan produksi dari eksplorasi semakin besar. Biasanya dihasilkan dari dari ekplorasi di tiga atau empat tahun yang lalu.
Jadi, sulit untuk mencapai target jangka panjang 2030. Kecuali waktunya dimundurkan, misalnya menjadi 2035. Atau targetnya direvisi, bukan di 1 juta barrel dan 12 MMSCFD. Lebih baik lagi bila targetnya dinyatakan dalam bentuk migas (combining), bukan minyak bumi dan gas bumi masing-masing.
Data 2022 memperlihatkan, dari 22 sumur temuan baru, sebanyak 13 sumur ditemukan gas bumi, delapan sumur menghasilan minyak bumi dan gas bumi. Hanya satu sumur saja yang potensial menghasilkan minyak bumi.
Juga teridentifikasi hanya dua sumur saja ditemukan di Indonesia bagian timur, persisnya di Papua Barat. Sedangkan sisanya 20 di area ‘gemuk’, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan Timur.
Pada paparan SKK Migas untuk target eksplorasi 2023 sayangnya tidak menyertakan lokasi eksplorasi. Seberapa banyak kegiatan eksplorasi yang diarahkan ke Indonesia bagian timur dan barat.
Potensi yang tidak tergarap lebih banyak di bagian timur. Demikian juga dengan eksplorasi diarahkan untuk mendapatkan minyak bumi atau gas bumi.
Peluang dan Tantangan Investasi Migas
Intelligence Energy merilis estimasi belanja modal perusahaan minyak pada 2023, khususnya untuk hulu migas. Angkanya diperkirakan mencapai US$ 485 miliar. Gairah investasi salah satunya dipicu oleh pelonggaran kebijakan perpajakan di beberapa negara Eropa, terutama Inggris.
Sementara perang Rusia-Ukraina masih akan berlangsung tahun ini. Kalaupun terjadi perjanjian genjatan senjata di pertengahan tahun, dampak sampai akhir tahun tetap akan terasa.
Pasar minyak bumi dan gas bumi diperkirakan tetap bergejolak. Shock dua peristiwa itu sedikit menekan harga minyak dunia. Hingga akhir tahun harganya masih berada di atas US$ 70 per barrel.
Bagi Indonesia, tentu ini menjadi sebuah peluang. Dengan optimisme dan logika bisnis, wajar bila SKK Migas mematok target investasi pada 2023 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, seperti mata uang yang memiliki dua sisi, di dalam peluang terkandung tantangan. Artinya, kesempatan itu bila diambil menjadi sebuah tantangan untuk mewujudkannya.
Para pakar ekonomi memprediksi di pertengahan tahuni ini akan terjadi resisi ekonomi global. Output aggregate menurun yang disebabkan penurunan aktifitas bisnis. Sudah pasti akan diikuti dengan penurunan permintaan energi secara global.
Di sisi lain, transasi energi mendekati 2030 bergerak lebih cepat dan semakin menguat. Beberapa pengamat mempercayai transisi ini lebih deras dari perkiraan semula.
Upaya menghilangkan energi fosil dan mengubah dengan energi baru terbarukan (renewable energy) akan datang lebih cepat. Kira-kira 10 tahun lebih cepat. Dengan begitu, di tahun-tahun yang akan datang, ada kecenderungan penurunan porsi investasi untuk hulu migas secara global.
Misalnya, Chevron berencana menginvestasikan US$ 2 miliar pada proyek rendah karbon. Termasuk US$ 500 juta untuk menurunkan intensitas karbon dari operasi tradisionalnya dan US$ 1 miliar lainnya untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan bakar terbarukannya.
Lalu, BP dengan semangat ‘more $ for new energy’, mengubah dirinya, Dari semula disebut sebagai energy company menjadi green energy company.
Perusahaan minyak multinasional, mulai mendapat tekanan dari aktivis lingkungan hidup, perbankan, investor dan juga pemerintah untuk memiliki model bisnis baru yang mengarah pada energi hijau.
Mulai nampak gerak-gerik para pemilik uang dan lembaga keuangan penyedia jasa pinjaman, yang mensyaratkan perusahaan minyak untuk mengubah arah, meninggalkan energi fosil dan berpindah ke terbarukan bila membutuhkan dukungan dana.
Negara-negara pemilik sumber daya alam minyak dan gas bumi harus bermain cantik, mengundang investor dengan memberikan iming-iming return of investment yang memadai. Indonesia harus berbenah. Bila tidak, maka akan menjadi pilihan investor di urutan bawah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.