Target Ambisius Penurunan Emisi: Jauh Panggang dari Api

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Torry Kuswardono
3/9/2024, 06.55 WIB

Indonesia akan menyerahkan dokumen berupa komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca melalui Second Nationally Determined Contributions (NDC) pada September tahun ini. Pemerintah seolah ingin terlihat ambis di mata internasional dengan terus memperbarui dan menaikkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). 

Nyatanya, jauh panggang dari api. Komitmen pemerintah Indonesia bertolak belakang dengan kenyataan. Paling gamblang dapat terlihat dari eksploitasi kehutanan dan lahan Indonesia yang masih terjadi. Padahal, produksi gas rumah kaca Indonesia dari sektor ini masih jadi salah satu yang terbesar.

NDC merupakan komitmen yang disusun oleh negara yang meratifikasi persetujuan Paris, untuk berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Dokumen itu diserahkan kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Indonesia menyampaikan dokumen NDC pada 2016 dengan target penurunan emisi gas rumah kaca 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional pada 2030.

Pada 2021, Indonesia memperbarui komitmen iklim melalui dokumen Updated NDC. Target untuk mengurangi emisi masih tetap 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan dukungan internasional. 

Namun, target pengurangan emisi di sektor energi dan kehutanan dan penggunaan lahan sedikit meningkat, khususnya dalam skenario jika ada dukungan internasional. Updated NDC juga memuat target adaptasi perubahan iklim yang berfokus pada ketahanan ekonomi, sosial-penghidupan, serta ekosistem dan lanskap.

Dokumen NDC tersebut terus dimutakhirkan dan ditingkatkan target penurunan emisinya. Pada 2022, Indonesia meningkatkan ambisi pengurangan emisinya melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC). Target pengurangan emisi naik menjadi 31,89% dengan upaya sendiri hingga 43,2% dengan dukungan internasional.

Masih tingginya konversi lahan di Indonesia ini berbanding terbalik dengan komitmen yang tertuang dalam NDC. Dalam dokumen ENDC, Indonesia menjanjikan pencegahan laju deforestasi dan degradasi hutan; rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk pembangunan hutan tanaman seluas 12 juta hektare; pengelolaan hutan berkelanjutan termasuk lewat perhutanan sosial; dan restorasi gambut dan perbaikan tata air gambut seluas 2 juta hektare.

Komitmen Indonesia dalam pemanfaatan hutan dan lahan (Forestry and Other Land Use /FOLU) mempunyai banyak kelemahan. Target rehabilitasi masih didominasi pembangunan hutan tanaman dibandingkan penanaman kembali hutan alam. 

Saat ini hutan tanaman masih didominasi korporasi. Komitmen itu juga membuka ruang hilangnya hutan seluas 175-359 ribu hektare per tahun hingga 2030. Dalam sepuluh tahun berarti 3,5 juta hektare hutan bisa tumpas.

Komitmen Indonesia juga tidak sinkron dengan FOLU Net Sink 2030. Ini adalah komitmen Indonesia mencapai tingkat emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030. Bahwa pada 2030 sektor lahan dan hutan akan menyerap lebih banyak emisi karbon dibandingkan yang dikeluarkan. Sementara untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030 itu, tidak ada lagi ruang buat deforestasi.

Bermasalah di sektor FOLU, ENDC juga berantakan di sektor energi. Tidak ada target keluar dari jebakan energi batubara (phase out), yang menjadi salah satu sumber polutan bumi. Tidak ada satu kata pun yang menyebut target pensiun dini PLTU Batubara di ENDC tersebut. Tak heran jika Climate Change Tracker NDC Indonesia di sektor energi mendapat ponten critically insufficient, alias sangat-sangat tidak cukup.

Rasanya beberapa aksi mitigasi Indonesia dalam sektor energi hanya dalam bentuk peningkatan porsi biofuel, campuran biomassa dalam PLTU Batubara, dan penggunaan kendaraan listrik. Target Biofuel di NDC 2030 misalnya, mencapai 18 juta kiloliter. Ini disebut dapat mengurangi konsumsi energi fosil, yang digantikan oleh energi nabati. 

Tapi yang mengkhawatirkan, bio dalam biofuel itu berasal dari kelapa sawit. Kita tahu, peningkatan penggunaan biofuel di Indonesia tujuannya bukan untuk mengurangi porsi konsumsi minyak fosil, tapi untuk menyediakan pasar baru bagi kelapa sawit yang sudah kelebihan pasokan di pasar dunia. 

Artinya jika target porsi minyak nabati dari sawit itu naik terus dalam biofuel, maka mesti ada lahan tambahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hutan semakin berpotensi untuk dibabat lagi. 

Sebelumnya, analisis deforestasi yang dilakukan Madani berdasarkan data Auriga Nusantara dan Global Forest Watch pada 2023 menyimpulkan, bahwa lebih dari 50% deforestasi atau hilangnya hutan alam di Indonesia itu terjadi di wilayah izin atau konsesi. Jika digabung dengan lahan sekitar konsesi di radius 2 kilometer, maka 70% deforestasi terjadi di lahan konsesi dan sekitarnya.

Dorongan untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik juga tak kalah problematik. Kendaraan listrik berbasis baterai ini membutuhkan bahan baku berupa nikel. Kebutuhan nikel untuk baterai mendorong semakin banyaknya pembukaan dan pengolahan tambang nikel di berbagai daerah, utamanya di Sulawesi Tengah dan Tenggara serta Maluku Utara.

Tanpa ada kebijakan pengutamaan daur ulang dalam produksi baterai, maka hutan alam dan lahan akan semakin habis untuk memenuhi kebutuhan ini. Benar bahwa nikel masuk kategori material mentah kritis. Tapi pemanfaatannya tidak harus selalu merambah hutan alam. Apalagi menerabas wilayah adat. 

Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, ada 9,8 juta hektare hutan yang masih untapped, alias berada di luar izin dan konsesi, belum masuk skema perlindungan dan alokasi kelola masyarakat pada 2022. Dari total itu, 15,28% atau setara 1,5 juta hektare merupakan hutan alam primer. 

Sebanyak 67,77% atau setara 6,7 juta hektare hutan alam untapped berada di dalam kawasan hutan. Hanya 3,29% atau setara 325 ribu hektare hutan alam untapped masuk dalam Fungsi Ekosistem Gambut (FEG). Tanpa perlindungan, hutan ini bisa lenyap. 

Juga masih ada target 6,4 juta hektare lahan yang belum dijadikan perhutanan sosial. Sebelumnya pemerintah menargetkan penetapan status perhutanan sosial dapat mencapai 12,7 juta hektare, yang tersebar di ekosistem hutan pesisir, lahan gambut dan hutan darat. Namun hingga September 2023, baru 6,3 juta hektare yang sudah mendapat status sebagai perhutanan sosial. 

Pekerjaan rumah pemerintah juga masih berderet jika menilik status hutan adat. Memang hingga tahun 2023 pemerintah sudah mengakui 244.195 hektare lahan sebagai hutan adat. Hutan ini, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, tidak boleh diubah statusnya, baik itu untuk konsesi perorangan, badan hukum, bahkan tanah negara sekalipun. 

Namun jika membandingkan dengan data Badan Registrasi Wilayah Adat—inisiatif masyarakat sipil untuk mengadvokasi hutan adat di Indonesia—pengakuan pemerintah terhadap hutan adat itu terbilang seujung kuku. Sebab menurut catatan badan tersebut, semestinya ada 11 juta hektare hutan yang berpotensi menjadi hutan adat.

Makanya, dengan melihat kondisi eksploitasi kehutanan dan lahan yang masih tinggi ini, dan masih rendahnya upaya penyelamatan hutan, pemerintah mesti mengingat lagi apa itu FOLU Net Sink 2030. Komitmen ini adalah wasiat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. 

FOLU Net Sink 2030 adalah komitmen tingkat serapan emisi sudah lebih tinggi dari tingkat emisi pada tahun 2030. Target itu dicapai melalui aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan. Tanpa perhatian serius pada percepatan perhutanan sosial, penetapan hutan adat, hingga perlindungan terhadap hutan alam, mustahil rasanya FOLU NET SINK 2030 tercapai. Itu artinya NDC Indonesia tidak akan pernah berhasil.

Banyaknya celah dalam pernyataan komitmen itu bisa jadi karena kurangnya keterlibatan publik. Deforestasi dan alih fungsi lahan secara brutal adalah juga pendorong terjadinya bencana. Kelompok-kelompok rentan akan yang paling menerima dampaknya. Selain gagal untuk mengurangi emisi, jalan Indonesia menuju gagal beradaptasi menjadi semakin terang.

Untuk itu, dalam penyusunan Second NDC, pemerintah perlu membuka pintu seluas-luasnya masukan publik dan melibatkan secara bermakna kelompok yang paling terdampak perubahan iklim seperti masyarakat adat dan lokal, perempuan, anak-anak dan lansia, penyandang disabilitas, petani kecil dan nelayan tradisional, buruh, dan kelompok rentan lainnya. Melalui partisipasi bermakna masyarakat sipil, termasuk kelompok rentan, Second NDC akan menjadi lebih kredibel dan legitimate, baik di mata publik maupun di mata dunia internasional.

Torry Kuswardono
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.