Dilema Nikel di Indonesia: Aturan Semrawut, Lingkungan Terabaikan

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Fanny Tri Jambore
15/10/2024, 09.55 WIB

Pemerintah semakin agresif menjadikan Indonesia sebagai pemain nikel dunia. Hal tersebut dapat terlihat dari produksi bijih nikel yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 132/2024 tentang Neraca Sumber Daya dan Cadangan Minerba Nasional Tahun 2023 mencatat, realisasi produksi bijih nikel Indonesia hampir mencapai 175,6 juta ton sepanjang 2023. 

Nikel menjadi primadona. Produksi bijih nikel terus meningkat. Investor pun terus berdatangan. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, total investasi untuk hilirisasi nikel hingga Juni 2024 telah mencapai US$30 miliar, dengan fokus pada pembangunan smelter dan pabrik baterai kendaraan listrik. 

Terakhir, Indonesia menjalin kerja sama dengan Uni Emirat Arab sebagai hasil pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dengan dengan Presiden UEA Mohamed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) di Qasr Al Watan, Abu Dhabi. Kerja sama itu menyangkut perdagangan nikel dari hulu sampai hilir.

Berbagai upaya dan kebijakan telah dirumuskan pemerintah demi menggenjot eksploitasi nikel. Sayangnya, eksploitasi nikel yang ambisius membuat kebijakan pemerintah cenderung memihak industri nikel, bukan kemaslahatan masyarakat, seperti seharusnya menjadi tujuan sebuah kebijakan. Kertas kebijakan bertajuk “Neo-ekstraktivisme di Episentrum Nikel Indonesia” yang disusun Walhi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah serta Satya Bumi menyebutnya regulatory capture.

Misalnya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam tata kelola pertambangan. Ini memotong partisipasi masyarakat mengajukan keberatan kepada pemerintah daerah, karena kewenangannya dialihkan ke pemerintah pusat. 

Masyarakat pun tidak diberikan keleluasaan menolak tambang. UU Minerba memberikan pelonggaran kewajiban reklamasi dan kegiatan pascatambang. Hal itu berpotensi menciptakan lebih banyak lubang tambang beracun. Perusahaan hanya wajib menutup lubang tambang berdasarkan persentase yang ditentukan undang-undang bukan seluruh lubang hasil kegiatan pertambangan.

Auriga Nusantara mencatat akibat kebijakan itu, luasan lubang bekas tambang yang terancam tidak direklamasi mencapai 87.307 hektare. Berdasarkan laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, sejak 2011 hingga 2021 terdapat 40 orang menjadi korban tenggelam di lubang tambang di Kalimantan Timur yang tidak direklamasi.

Kebijakan lain yang berpihak kepada industri adalah UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. UU ini banyak memangkas perlindungan lingkungan. Misalnya, perusahaan pertambangan yang sebelumnya dihukum denda Rp10 miliar dan dipidana penjara 5 tahun karena tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). UU Cipta Kerja hanya menjatuhkan sanksi administratif berupa denda, sekalipun kegiatannya merusak hutan. Hal lain yang dipangkas aturan ini adalah keterlibatan masyarakat sipil dalam penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). UU Cipta Kerja banyak mengeluarkan peraturan turunan yang problematik.

Terkait pertambangan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 memungkinkan penambang membuang limbah ke laut dalam dengan menggunakan metode Deep Sea Tailing Placement (DSTP). Pengalaman produksi nikel Ramu Tiongkok di PNG menunjukkan bahwa meskipun lokasinya dekat dengan parit laut dalam, DSTP tidak menjamin pembuangannya bersih. Masalah utamanya adalah “geseran” atau naiknya air yang tercemar dari saluran pipa pembuangan di bawah permukaan, naik kembali ke permukaan laut.

Kebijakan yang berpihak kepada industri menjadi ancaman bagi lingkungan hidup, misalnya deforestasi. Data Google Earth Engine (GEE) dan kombinasi data Landsat 4,5,7, 8, Sentinel 2 dan Global Forest Change memperlihatkan deforestasi di Sulawesi mencapai 2 juta hektare dari 2001 sampai 2019. Deforestasi terbesar terjadi di Sulawesi Tengah yang mencapai 722 ribu hektare.

Selain deforestasi,ancaman lain adalah kehilangan biodiversitas dan hutan dengan stok karbon tinggi. Berdasarkan citra satelit, perusahaan dengan ranking tertinggi yang menyebabkan deforestasi di wilayah Sulawesi, yakni PT Vale, Bintang Delapan Mineral, dan Aneka Tambang. Ketiganya tercatat sebagai pemegang konsesi di atas lahan dengan tingkat biodiversitas yang tinggi (Key Biodiversity Area/KBA) dan hutan dengan stok karbon tinggi (High Carbon Stock/HCS).

Aktivitas bisnis di atas HCS berisiko besar terhadap perubahan iklim. Lalu apa yang harus dilakukan negara agar berkah nikel tak menjadi kabar buruk bagi lingkungan dan hutan? Pertama, selaraskan paradigma “penguasaan negara” dengan teks “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kemakmuran rakyat harus menjadi pertimbangan negara. Tak boleh ada satu individu pun yang dimiskinkan akibat penguasaan negara atas sumber daya alam Indonesia. Pemerintah dapat merevisi undang-undang yang hanya mementingkan industri.

Kedua, pemerintah harus menyusun cetak biru tata kelola pertambangan nikel yang tidak merusak lingkungan hidup dan mengancam kehidupan manusia. Pemerintah wajib mengeluarkan moratorium izin tambang nikel sampai terbitnya cetak biru tata kelola pertambangan nikel yang bertanggung jawab. 

Industri pertambangan memang harus dibenahi dari hulu ke hilir. Dalam setiap proses perizinan sampai operasionalnya, penghargaan dan perlindungan HAM harus diutamakan. Jadi, tidak ada lagi pemerintah merespons penolakan masyarakat dengan cara intimidatif, pengerahan berlebihan aparat keamanan. 

Pemerintah juga mesti memberikan perlindungan terhadap tanah, air, dan hutan untuk keselamatan dan kesejahteraan warga. Pemerintah pun harus memastikan corak ekonomi yang sudah berkembang pada wilayah itu, dan kebijakannya harus mampu mempertahankan corak ekonomi warga yang sudah ada di situ. Bukan memaksakan industri ekstraktif ini muncul.

Poin penting lainnya adalah perlindungan terhadap regenerasi ekologi serta keanekaragaman hayati. Kalau kita lihat proyek nikel, sebagian besar izin yang dikeluarkan pemerintah, berada pada kawasan hutan. Seharusnya pemerintah lebih dulu memperhatikan keselamatan wilayah penting secara ekologis seperti hutan, wilayah pesisir, atau sekitar sumber mata air sebelum mengeluarkan perizinan untuk proyek apapun termasuk pertambangan.

Pemerintah juga harus memastikan perlindungan terhadap risiko bencana. Dalam proses perencanaan, ketika ada potensi bencana maka harus tunduk kepada Undang-Undang Kebencanaan. Undang-Undang Kebencanaan sudah memastikan harus ada penegakan tata ruang untuk pengendalian risiko bencana. Setiap industri harus memiliki risiko bencana sebelum izin diberikan.

Bila itu semua tak bisa dilakukan, maka nikel bukanlah berkah, melainkan kabar buruk bagi keseimbangan manusia dan alam Indonesia. Siapapun pemimpinnya, wajib mengurai aturan kusut mengenai pertambangan dan memastikan perlindungan masyarakat serta lingkungan.

Fanny Tri Jambore
Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Walhi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.