Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu pilar penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Sebagai instrumen demokrasi lokal, Pilkada memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka anggap paling layak dan mampu membawa perubahan positif bagi daerah.
Namun, meski telah menjadi bagian dari proses politik yang rutin, isu kecurangan selalu menghantui setiap perhelatan Pilkada, seakan menjadi bayang-bayang yang sulit dihilangkan. Kecurangan dalam Pilkada tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem politik.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja menyoroti potensi kerawanan yang lebih tinggi pada Pilkada 2024 dibandingkan dengan Pemilu pada Februari 2024. Meningkatnya risiko ini disebabkan oleh persaingan yang ketat antar-calon yang memperebutkan posisi pimpinan di seluruh negeri.
Menanggapi tantangan tersebut, Bawaslu mengimbau agar terjalin kerja sama yang kuat dengan TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk memastikan kelancaran proses pemilu. Badan tersebut telah mengidentifikasi 1.952 potensi kerawanan, meskipun angka tersebut dianggap sebagai estimasi awal yang dapat meningkat dalam kondisi nyata. Mengingat besarnya risiko tersebut, Bawaslu menggarisbawahi pentingnya membangun sinergi dan kerja sama dengan semua pemangku kepentingan terkait.
Dalam konteks yang lebih luas, kecurangan dalam Pilkada mengingatkan kita pada pertanyaan mendasar tentang esensi demokrasi itu sendiri. Apakah demokrasi hanya sekadar prosedur untuk memilih pemimpin, atau lebih dari itu, merupakan sistem yang menegakkan keadilan, kesetaraan, dan transparansi?
Kecurangan dalam Pilkada
Kecurangan dalam Pilkada dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari manipulasi daftar pemilih, politik uang, hingga intimidasi terhadap pemilih dan aktor politik lainnya. Semua bentuk kecurangan ini merusak prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan.
Sebagai contoh, politik uang, yang sering kali melibatkan kandidat dan pendukung mereka, menciptakan ketidaksetaraan di mana keputusan pemilih tidak lagi didasarkan pada kualitas kandidat, melainkan pada keuntungan materi yang diterima. Ini mereduksi demokrasi menjadi “jual beli suara,” dan hasil Pilkada pun tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya.
Selain itu, manipulasi daftar pemilih atau pelanggaran administratif lainnya sering kali terjadi dengan mengabaikan aturan yang berlaku, baik secara langsung maupun terselubung. Di beberapa daerah, misalnya, pemilih siluman—yaitu pemilih yang tidak terdaftar secara sah—seringkali digunakan untuk memanipulasi hasil. Praktik semacam ini jelas mencederai integritas proses Pilkada, dan pada akhirnya melemahkan kualitas demokrasi itu sendiri.
Dalam pandangan politik klasik, seperti yang dikemukakan oleh John Locke, kekuasaan politik harus diperoleh melalui kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Pemimpin harus dipilih secara sah oleh rakyat berdasarkan kehendak umum. Namun, kecurangan dalam Pilkada jelas melanggar prinsip ini, karena manipulasi hasil berarti pemimpin yang terpilih tidak mendapatkan legitimasi dari kontrak sosial yang sebenarnya.
Selain Jhon Locke, Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals berbicara tentang pentingnya tindakan moral yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal. Dalam konteks Pilkada, tindakan curang bertentangan dengan prinsip moral ini, karena kecurangan secara inheren melanggar norma kejujuran dan keadilan. Kant berpendapat bahwa tindakan harus dinilai berdasarkan moralitas yang universal, bukan hasilnya. Jadi, meskipun kecurangan mungkin memberikan hasil yang menguntungkan bagi segelintir pihak, hal itu tetap tidak dapat dibenarkan secara etis.
Hal serupa juga disampaikan oleh Plato dalam The Republic, yang menggambarkan keadilan sebagai salah satu elemen utama dari negara ideal. Menurut Plato, masyarakat yang adil adalah masyarakat di mana setiap orang memegang peran sesuai dengan kemampuannya dan tidak ada pihak yang melanggar aturan demi keuntungan pribadi. Kecurangan dalam Pilkada, dalam hal ini, adalah bentuk ketidakadilan yang secara sistematis menghancurkan prinsip keadilan dalam negara demokrasi.
Tantangan Netralitas
Meskipun ancaman kecurangan dalam Pilkada sangat nyata, perkembangan teknologi digital memberikan harapan baru untuk memperbaiki sistem pemilihan. Penggunaan teknologi seperti sistem pemilu berbasis blockchain, pemantauan independen melalui aplikasi digital, serta pengawasan langsung oleh publik dapat menjadi solusi untuk mengurangi kecurangan. Blockchain, misalnya, menawarkan transparansi yang sulit dimanipulasi, karena setiap suara terekam secara permanen dalam sistem yang tidak dapat diubah tanpa terdeteksi.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Kesadaran kolektif tentang pentingnya demokrasi yang bersih dan transparan harus dibangun secara simultan. Media massa, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pengawas memiliki peran penting dalam menciptakan budaya antikecurangan. Media berperan dalam memberikan informasi yang akurat dan jujur, serta mengawasi jalannya Pilkada agar publik dapat mengetahui setiap pelanggaran yang terjadi.
Dalam kerangka pemikiran Michel Foucault, kekuasaan tersebar melalui berbagai institusi, termasuk media, masyarakat sipil, dan lembaga pengawas. Dengan demikian, pengawasan terhadap Pilkada tidak hanya menjadi tugas lembaga formal seperti Bawaslu, tetapi juga merupakan tugas bersama dari seluruh elemen masyarakat. Dalam konsep Foucault, kekuasaan dan pengawasan yang tersebar ini dapat menjadi alat untuk melawan dominasi dan kecurangan yang dilakukan oleh aktor politik yang kuat.
Di sisi lain, netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilkada sering kali dipertanyakan. ASN, sebagai pelayan publik, seharusnya bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu kandidat. Namun, dalam praktiknya, kecurangan yang melibatkan ASN sering kali muncul, terutama ketika mereka terjebak dalam tekanan politik dari petahana atau calon tertentu. ASN yang seharusnya menjaga independensi dan profesionalisme sering kali terpaksa berkompromi demi kepentingan politik yang bersifat sementara.
Netralitas ASN penting untuk menjaga keadilan dalam Pilkada. Sebagai birokrat yang menjalankan fungsi administratif pemerintahan, ASN memegang peran kunci dalam memastikan proses Pilkada berjalan lancar tanpa intervensi politik. Namun, tanpa komitmen kuat dari pemerintah dan penegakan hukum yang tegas, menjaga netralitas ASN akan tetap menjadi tantangan besar.
Untuk melawan bayang-bayang kecurangan dalam Pilkada, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Pemerintah, sebagai pemegang otoritas, harus memperkuat regulasi dan sanksi terhadap pelanggaran Pilkada. Tidak hanya itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga sangat penting agar rakyat memahami pentingnya suara mereka dalam menentukan arah masa depan daerah mereka.
Lembaga pengawas seperti Bawaslu dan KPU juga harus diberdayakan dengan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan secara efektif. Transparansi dalam proses pemilihan, mulai dari pendaftaran calon hingga penghitungan suara, harus dijamin agar kecurangan dapat diminimalisasi.
Selain itu, masyarakat perlu lebih aktif dalam mengawal proses Pilkada. Penggunaan media sosial dan platform digital lainnya bisa dimanfaatkan untuk mengawasi dan melaporkan kecurangan secara langsung. Partisipasi publik yang tinggi akan menjadi benteng utama melawan upaya manipulasi suara.
Meskipun bayang-bayang kecurangan dalam Pilkada masih mengintai, harapan untuk membangun demokrasi yang lebih bersih dan adil tetap ada. Dengan pengawasan yang ketat, pemanfaatan teknologi, dan partisipasi aktif masyarakat, kecurangan dapat diminimalisasi. Demokrasi bukan sekadar soal prosedur pemilihan, tetapi juga soal bagaimana menjaga keadilan dan kesetaraan dalam proses tersebut.
Melawan kecurangan dalam Pilkada berarti melindungi esensi demokrasi itu sendiri. Pada akhirnya, demokrasi yang sejati hanya dapat terwujud jika setiap suara dihargai dan setiap proses dijalankan dengan keadilan. Hanya dengan demikian, Pilkada akan benar-benar menjadi instrumen bagi perubahan yang membawa kebaikan bagi seluruh rakyat.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.