Belajar dari Nepal: Ketimpangan sebagai Akar Masalah
Nepal tengah mengalami perubahan drastis. Negara yang terkurung daratan (landlocked country) di kawasan pegunungan Himalaya ini menghadapi kondisi politik yang tidak stabil. Sejak 2008, tercatat sudah ada 14 kali pergantian pemerintahan. Tidak satu pun di antaranya mampu menuntaskan masa jabatan penuh selama lima tahun.
Awalnya, demonstrasi berlangsung dengan damai. Tidak lama kemudian, kerusuhan pecah di berbagai lokasi. Sejumlah hotel dan kantor publik terbakar dilalap si jago merah.
Larangan penggunaan media sosial kerap disebut sebagai pemicu utama. Namun, sejatinya hal itu hanyalah puncak dari gunung es. Masalah mendasar yang belum terselesaikan tetap berkisar pada kebutuhan pangan dan kesejahteraan rakyat.
Kenaikan harga bahan makanan, terbatasnya peluang kerja, serta rendahnya kepercayaan terhadap elite politik menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat menyulut gejolak sosial.
Selain itu, kondisi geografis Nepal juga menjadi tantangan tersendiri. Distribusi dan logistik barang sangat memengaruhi perekonomian negara ini. Dalam konteks perdagangan, India menjadi mitra dagang utama dengan pangsa ekspor mencapai 68%. Hal ini didukung oleh adanya perbatasan terbuka antara Nepal dan India sepanjang 1.751 km.
Sebaliknya, porsi ekspor ke Tiongkok hanya sekitar 1,7%. Secara geografis, perbatasan Nepal–Tiongkok memang berupa jalur pegunungan yang sulit diakses, dengan panjang mencapai 1.389 km.
Pertanian dan Remitansi sebagai Penopang Utama
Secara historis, Nepal memasuki pertengahan abad ke-20 sebagai negara yang relatif terisolasi. Sejak dekade 1950-an, berbagai perubahan signifikan mulai terjadi. Hingga kini, Nepal masih tergolong negara berkembang dengan ketergantungan tinggi pada sektor pertanian dan remitansi.
Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 32% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekaligus menyerap 65% tenaga kerja.
Sementara itu, pada tahun 2023, nilai remitansi diperkirakan mencapai US$11 miliar, meningkat 15% dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai ini setara dengan 25% PDB, atau setara pula dengan kombinasi bantuan internasional dan investasi ke Nepal.
Jumlah remitansi tersebut dikirimkan oleh sekitar 3,5 juta warga negara Nepal di luar negeri. Pertumbuhan remitansi sangat pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, nilainya hanya US$1,2 miliar. Kemudian naik menjadi US$6,7 miliar di tahun 2015 dan US$8,1 miliar.
Bahkan ketika periode Covid-19, jumlah remitansi tidak mengalami penurunan. Data terakhir pada 2024 justru menunjukkan peningkatan kontribusi remitansi terhadap PDB, yaitu 33%.
Fakta ini menegaskan bahwa sebagian besar generasi Nepal memilih bekerja di luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kondisi tersebut sejalan dengan tingginya tingkat pengangguran di Nepal.
Menurut data kantor pusat statistik, tingkat pengangguran mencapai 12,6%. Sumber lain, seperti Statista.com, mencatat angka 10,7%, yang relatif konstan berada di atas 10%. Selama masa pandemi Covid-19, angka pengangguran bahkan sempat menyentuh 13%.
Ketimpangan yang Tinggi
Nepal termasuk negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi. Pada 2010/2011, nilai indeks gini pendapatan tercatat sebesar 0,49. Namun, pada 2019 justru meningkat menjadi 0,58, yang menandakan memburuknya ketimpangan.
Dari sisi distribusi pendapatan, 10% penduduk terkaya di Nepal memiliki pendapatan yang setara dengan 40% penduduk termiskin. Secara rata-rata, pendapatan kelompok 10% terkaya mencapai tiga kali lipat dari rata-rata pendapatan 40% kelompok termiskin.
Ketimpangan terlihat lebih tajam bila menggunakan indikator aset atau kekayaan. Rata-rata kepemilikan aset 10% penduduk terkaya tercatat 26 kali lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan aset 40% penduduk termiskin.
Secara teoritis maupun dalam praktik, ketimpangan kekayaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan maupun pengeluaran. Data dari World Inequality Database (Paris School of Economics) juga menunjukkan hal serupa.
Sebanyak 1% penduduk terkaya di Nepal menguasai 25% kekayaan nasional. Sementara itu, 10% penduduk terkaya menguasai hingga 59% dari total kekayaan negara. Saat ini, nilai indeks Gini adalah 0,50 untuk indikator pendapatan dan 0,75 untuk indikator kekayaan/aset.
Tingginya ketimpangan tersebut menjadi bahan bakar kecemburuan sosial. Situasi ini semakin diperkuat dengan semakin luasnya akses masyarakat terhadap media sosial, yang membuat mereka dapat melihat langsung perilaku pejabat yang terkesan abai terhadap kondisi rakyat. Praktik korupsi dan merosotnya nilai empati di kalangan elite memperbesar rasa frustasi, sehingga potensi gesekan sosial pun semakin meningkat.
Pelajaran untuk Indonesia
Sebenarnya Indonesia dan Nepal juga memiliki akar masalah yang sama, yaitu ketimpangan. Menurut data BPS, indeks Gini di Indonesia adalah 0,38. Nilainya terlihat lebih kecil daripada di Nepal.
Perlu diingat bahwa penghitungan indeks Gini di Indonesia selama ini menggunakan indikator pengeluaran. Padahal, data dari World Inequality Database menunjukkan hasil yang berbeda: indeks Gini untuk pendapatan mencapai 0,58, sedangkan untuk kekayaan bahkan mencapai 0,76.
Meski demikian, data tersebut memiliki keterbatasan karena diperoleh melalui metode imputasi, akibat belum tersedianya data pendapatan dan aset yang benar-benar memadai serta mewakili keseluruhan populasi Indonesia. Kendati terbatas, data ini tetap lebih baik dibandingkan tidak adanya data sama sekali.
Gelombang protes di Indonesia memang telah mereda. Di Indonesia memang tidak sampai pada pembakaran gedung parlemen, serta Kepala Negara tidak sampai berganti. Namun, potensi gejolak serupa bisa kembali muncul jika akar masalah, yakni ketimpangan, tidak ditangani secara berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang diklaim tinggi, baik 5%, 6%, maupun 8%, akan kehilangan makna jika tidak berkualitas dan tidak dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, konsep pertumbuhan inklusif harus benar-benar diwujudkan.
Jangan sampai bahwa pertumbuhan tinggi dirasakan hanya menjadi omon-omon bagi rakyat.
Jangan dilupakan bahwa Pancasila menegaskan prinsip “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai salah satu janji kemerdekaan yang harus diwujudkan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.