Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Desa dalam Politik Resentralisasi

Katadata/Bintan Insani
Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian Ekonomi Perdesaan
Penulis: Trisno Yulianto
23/10/2025, 06.05 WIB

Genap satu tahun Presiden Prabowo Subianto memimpin pemerintahan, dengan segala kontradiksi program kebijakan yang memunculkan polemik dan resistensi psikososial masyarakat. Program kebijakan unggulan berwatak ekstra populis yang menyedot anggaran negara yang sangat besar namun implikasi bagi ekonomi makro sangat minimalis kalau tidak disebut zero impact.

Program kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto terkait desa sangat bertolak belakang dengan pemerintahan sebelumnya. Desa di era Prabowo Subianto tidak lagi diberikan ruang politik untuk mengaktualisasikan otonomi desa. Otonomi desa sebagai wujud pengakuan politik negara atas peran desa dalam menjaga eksistensi negara kesatuan sekaligus menjaga kedaulatan dalam perspektif ketahanan sosial. 

Otonomi desa sebagaimana otonomi daerah tergerus oleh politik resentralisasi pemerintahan Prabowo Subianto. Desa tidak lagi memiliki kebebasan otentik untuk menjalankan program inovasi dengan menggunakan dana desa. Desa tidak menjadi mitra setara (counterpart) pemerintah pusat untuk menjalankan program program yang pro rakyat di desa. Bahkan dana desa yang sejatinya menjadi pemenuhan kewajiban negara atas otonomi desa diarahkan menjadi piranti bagi kesuksesan program unggulan pemerintah pusat.

Dana desa yang alokasi dalam APBN 2025 sebesar Rp71 Triliun, didorong untuk mendukung program Koperasi Desa Merah Putih dan program ketahanan pangan. Melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, dan regulasi selevel peraturan menteri maupun keputusan menteri desa, dana desa dipaksa digunakan untuk biaya pengurusan legalitas Koperasi Desa Merah putih dan pembangunan sarana prasarana usahanya. 

Bahkan dana desa dalam alur pendirian dan aktivasi usaha Koperasi Desa Merah Putih diwajibkan menjadi jaminan finansial bagi berutang pada perbankan. Maksimal 30% alokasi dana desa mulai tahun 2026 diwajibkan untuk “financing Guarantee” bagi utang Kopdes Merah putih.

Pemerintahan Prabowo Subianto dalam arah resentralisasi fiskal yang tercermin dalam nota pengajuan RAPBN 2026 memangkas dana desa sebesar Rp11 Triliun hingga tersisa Rp60 Triliun. Dipastikan alokasi penggunaan dana desa tahun 2026 untuk kepentingan menyukseskan program unggulan seperti koperasi merah putih, ketahanan pangan dan sebagainya. 

Dana desa tidak lagi diaplikasikan sesuai muruah Otonomi Desa sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 juncto UU Nomor 3 Tahun 2024. Tidak ada lagi keleluasaan bagi desa untuk menggunakan dana desa bagi program layanan sosial dasar masyarakat. Pembangunan infrastruktur desa, permodalan BUMDes maupun menjadi piranti inovasi desa tematik seperti pengembangan desa wisata, desa kreatif, desa proklim dan lainnya.

Desa dalam optik resentralisasi fiskal maupun resentralisasi kekuasaan hanya diletakkan sebagai eksekutor program unggulan pemerintah pusat. Desa dipaksa berperan optimal dalam proses pembentukan dan aktivasi program Koperasi Merah Putih. Koperasi berwatak top down policy yang melawan prinsip hakiki koperasi. 

Koperasi Desa Merah Putih hanya repetisi program Koperasi Unit Desa Orde Baru yang gagal menjadi instrumen penyejahteraan masyarakat desa. Tidak ada sejarah di seluruh dunia koperasi yang dibentuk kekuasaan berhasil mandiri dan berperan dalam menyejahterakan masyarakat. Mengingat koperasi memiliki prinsip kemandirian, demokrasi, partisipasi, dan otonomi. 

Program Koperasi Desa Merah Putih sendiri merupakan Upaya politik pemerintahan Prabowo Subianto untuk membangun patronase kekuasaan di ruang perdesaan. Desa dikorbankan untuk kepentingan memuluskan program program unggulan yang nantinya akan dipergunakan untuk menjaga elektabilitas politik dan dukungan politik elektoral.

Politik resentralisasi atas desa memiliki implikasi sosiologis yakni; Pertama, tergerusnya muruah otonomi desa. Desa tidak lagi mandiri dalam merumuskan perencanaan Pembangunan desa melalui proses partisipasi yang deliberatif. Desa tidak akan optimal dalam mengakomodasi input atau aspirasi masyarakat dalam program inovasi desa. Desa diatur atur menjadi perangkat teknis pelaksanaan program pemerintah pusat.

Kedua, desa menjadi piranti teknis kekuasaan. Desa dimobilisasi sumber daya dan institusi sosiologisnya untuk memperkuat patronase kekuasaan demi  melanggengkan kekuasaan. Desa lambat laun akan ditempatkan dalam pengawasan represif untuk satu suara satu Tindakan mendukung pemerintah pusat. 

Ketiga, masyarakat desa yang merupakan lumbung suara dalam momentum pemilu akan ditempatkan menjadi komunitas yang wajib mendukung program pemerintah pusat baik sebagai penerima manfaat (beneficiaries) maupun aktor pemenangan suara. Sebagaimana era Orde Baru, Masyarakat desa akan ditundukkan secara politik untuk mendukung partai atau koalisi partai penguasa. 

Keempat, dana desa yang selama sepuluh tahun menjadi amunisi penggerak kegiatan Pembangunan desa dan ekonomi perdesaan akan dikurangi secara bertahap dan memiliki peluang dihapuskan atau ditransformasikan untuk membiayai program kegiatan yang diarahkan pemerintah pusat. Dana desa alokasi dan penggunaannya tidak lagi sejalan dengan aspirasi masyarakat desa.

Politik resentralisasi secara substansial akan menggerus kemandirian ekonomi desa yang selama ini ditopang peran UMKM, BUMDes, sektor kreatif dan kegiatan produktif desa ekonomi riil desa. Program kebijakan ekonomi komando ala Prabowo Subianto seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, ketahanan pangan akan mengeliminasi peran kelembagaan ekonomi desa dan masyarakat desa. Koperasi Desa Merah Putih jelas menjadi kompetitor baru bagi usaha ekonomi Masyarakat desa. Program ketahanan pangan yang tersentralisasi akan menegasikan kegiatan produktif pangan lokal. Program MBG mengabaikan peran partisipatif UMKM Desa.

Pelajaran sejarah di era Orde Baru desa yang dipaksa tunduk pada politik resentralisasi akan semakin melemah otonominya. Desa tidak akan lagi menjadi benteng penjaga eksistensi ekonomi mikro di perdesaan. Ruang fiskal anggaran desa akan semakin sempit dan tidak akan memadai untuk program inovasi desa sesuai kepentingan masyarakat. Desa akan berada dalam penyeragaman otoritatif oleh negara.

Untuk itulah penting bagi desa melalui jejaring gerakan masyarakat sipil di desa dan kelembagaan politik supra desa bergerak melakukan koreksi kolektif atas program kebijakan pemerintah pusat yang tidak sejalan dengan kehendak riil objektif Masyarakat desa. Desa penting untuk bersikap kritis terhadap ekonomi komando yang resentralitatif yang akan merugikan hak hak mendasar masyarakat desa.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Trisno Yulianto
Koordinator Forum Kajian Ekonomi Perdesaan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.