KUR Bunga Flat: Solusi atau Masalah Baru?

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Koes Afifah Qurratuaini Putri
6/12/2025, 06.05 WIB

Rencana pemerintah menghapus skema suku bunga berjenjang dan batas frekuensi peminjaman berpotensi menjadi kebijakan yang kontraproduktif. Alih-alih meningkatkan penyerapan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor produktif, kebijakan ini justru dapat menghambat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) naik kelas. Kebijakan ini juga akan membuat KUR hanya dinikmati oleh debitur lama, sementara pengusaha baru semakin sulit mendapatkan akses. 

Mempercepat penerapan innovative credit scoring (ICS) akan membuka akses yang lebih luas bagi UMKM sektor produksi. Selain itu sosialisasi yang lebih masif tentang KUR serta peningkatan literasi keuangan bagi pengusaha UMKM yang baru masuk pasar dapat mendorong penyaluran KUR super mikro ke sektor produksi yang saat ini masih sangat rendah. 

Suku Bunga Flat untuk Pinjaman KUR Berulang

Dua pekan terakhir, kita mendengar berita tentang rencana perubahan dalam kebijakan KUR untuk tahun 2026. Menteri UMKM telah mengungkapkan rencana peningkatan plafon kredit KUR sebesar Rp40 triliun dan pengenaan bunga flat sebesar 6% untuk setiap peminjaman. 

Peningkatan plafon KUR menjadi Rp320 triliun dapat menjadi terobosan yang baik karena akan meningkatkan jumlah penerima kredit atau jumlah yang diterima per debitur. Menurut menteri UMKM, peningkatan plafon KUR adalah bentuk keberpihakan pemerintah terhadap usaha-usaha mikro dan kecil yang saat ini mendominasi perekonomian nasional. Namun, jika dibarengi dengan penghapusan skema bunga berjenjang dan batasan frekuensi pinjaman, kebijakan ini justru dapat menjadi bumerang dalam upaya mendorong UMKM naik kelas.

Rencana pemerintah untuk menghapus batas frekuensi pinjaman dan menerapkan sistem bunga flat ini bukan tanpa alasan. Pertama, pemerintah ingin meningkatkan penyaluran KUR di sektor produksi menjadi 65% di tahun 2026. Berdasarkan pernyataan Menteri UMKM, realisasi KUR untuk sektor produktif telah mencapai 60,7% per November ini, lebih dari target yang ditetapkan sebesar 60%. Jika tahun ini target sudah terpenuhi maka sudah semestinya target tahun depan juga dinaikkan. Selain itu, penghapusan frekuensi pinjaman di sektor produksi akan mendorong UMKM di sektor produksi untuk terus berproduksi, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

Kedua, pemerintah juga ingin meminimalisasi risiko kredit macet atau non-performing loan (NPL) yang sering dikeluhkan oleh bank. Dari sudut pandang bank sebagai penyalur, akan lebih aman memberikan pinjaman kepada UMKM yang sama secara berulang daripada UMKM baru tanpa riwayat peminjaman yang jelas. Memberikan pinjaman kepada debitur baru akan memunculkan risiko NPL yang tinggi. Bagi pemerintah, mengurangi risiko yang ditanggung oleh penyalur adalah kunci agar perbankan terus meningkatkan penyalurannya, apalagi seluruh dana KUR ditanggung oleh penyalur dan pemerintah hanya menanggung subsidi bunga.

Risiko yang Ditimbulkan 

Di atas kertas, rencana pemerintah ini sangat baik untuk meningkatkan akses UMKM terhadap permodalan. Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan risiko yang dapat muncul di kemudian hari dari kebijakan ini. Pertama, skema baru ini berisiko membuat pinjaman KUR hanya diterima oleh sekelompok UMKM tertentu saja, yakni mereka yang telah dipertimbangkan oleh penyalur sebagai debitur dengan kelayakan kredit tinggi. Alih-alih mendistribusikan KUR kepada UMKM yang berbeda tiap tahun, penyalur bisa saja lebih memprioritaskan penerima KUR terdahulu. 

Kedua, jika bunga KUR tetap flat 6% dan dapat dipinjam berulang tanpa batas, maka pelaku usaha akan terus memilih KUR Mikro karena tidak dapat dikenai syarat agunan. Namun, hal ini dapat membuat mereka terjebak pada plafon pinjaman yang kecil. Nilai KUR mikro sebesar Rp10 hingga 100 juta tersebut belum cukup untuk mendorong UMKM naik kelas karena ekspansi usaha seperti penambahan mesin, perluasan kapasitas produksi, atau peningkatan tenaga kerja membutuhkan pembiayaan yang lebih besar. Akibatnya, kemudahan dan murahnya KUR Mikro justru membuat pelaku usaha enggan beralih ke kredit komersial atau KUR kecil yang menyediakan pinjaman lebih besar dengan persyaratan agunan. Alih-alih mendorong UMKM naik kelas, KUR dengan skema ini menstimulasi UMKM untuk tetap di zona nyaman.

Upaya Minimalisasi Risiko

Apabila tujuan pemerintah adalah meningkatkan distribusi KUR di sektor produksi, maka yang perlu dilakukan adalah identifikasi masalah yang berpotensi menghambat penyerapan di sektor produksi. Saat ini, pemerintah beranggapan bahwa distribusi KUR di sektor produksi terhambat karena adanya batasan frekuensi pinjaman dan sistem bunga berjenjang. Penambahan 1% suku bunga pada setiap pinjaman berulang berpotensi menurunkan keinginan untuk meminjam. Padahal, penyerapan KUR yang lambat di sektor produksi dapat juga disebabkan karena plafon pinjaman KUR saat ini masih belum mampu mengakomodir kebutuhan UMKM di sektor produksi. 

Sebagai contoh, sektor manufaktur yang mulai menerapkan otomatisasi membutuhkan jumlah pinjaman yang besar untuk pengadaan mesin dan alat lainnya. Skema KUR Super Mikro dengan nilai pinjaman maksimal Rp10 juta dan KUR Mikro dengan nilai pinjaman Rp10 juta hingga Rp100 juta rupiah belum cukup untuk membiayai aktivitas manufaktur ini. Skema KUR Kecil mungkin akan lebih tepat, namun sulit dijangkau karena ada persyaratan agunan tambahan. Oleh karena itu, faktor yang akan menghambat bukan frekuensi pinjaman yang dibatasi, melainkan sulitnya akses ke KUR Kecil karena adanya persyaratan agunan. 

Oleh karena itu, langkah yang lebih tepat adalah memastikan UMKM di sektor manufaktur mendapatkan akses ke KUR Kecil, namun dengan alternatif di luar agunan. Penggunaan Skema innovative credit scoring (ICS) dalam menentukan kelayakan kredit UMKM dapat menjadi salah satu solusinya. ICS menggunakan data pribadi nontradisional untuk memperkirakan kelayakan kredit calon peminjam. Artinya, UMKM yang tidak memiliki agunan tambahan pun dapat memiliki akses terhadap KUR kecil selama skor ICSnya layak. 

Selain itu, bagi UMKM di sektor produksi yang baru memulai usahanya secara tradisional, penyaluran KUR bisa jadi  terhambat bukan karena suku bunga berjenjang tapi karena kurangnya pemahaman tentang KUR dan agunannya. Pada skema KUR Super Mikro contohnya, data yang dihimpun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan realisasi KUR Super Mikro per November 2025 hanya 29,1%. Suku bunga tidak mungkin menjadi penyebabnya karena yang ditawarkan sudah cukup rendah yaitu 3%. 

Bisa jadi kurangnya sosialisasi dan literasi keuangan pengusaha UMKM yang masih rendah menjadi salah satu penyebab realisasi KUR super mikro masih rendah. Masih banyak yang mengira bahwa pinjaman KUR di bawah Rp100 juta membutuhkan agunan sebagai jaminan. Dengan demikian, untuk meningkatkan penyerapan KUR di sektor produksi, khususnya bagi mereka yang baru memulai usaha, alternatif yang dapat dilakukan adalah meningkatkan sosialisasi dan literasi kepada para UMKM.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Koes Afifah Qurratuaini Putri
Research and Policy Associate Center for Indonesian Policy Studies

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.