Kapuas Hulu bersorak ketika Menteri Kehutanan, di panggung global Konferensi Iklim COP 30 di Belem, Brasil, mengumumkan komitmen pemerintah mengakui 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun ke depan. Ini momentum penting untuk kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat ini, yang punya sejarah panjang pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.
Kabupaten Kapuas Hulu memiliki karakteristik wilayah yang unik dan kompleks. Dengan luas total sekitar 3,13 juta hektare, sekitar 75,51% atau 2,367 juta hektare di antaranya berada di kawasan hutan yang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, termasuk Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum yang juga merupakan wilayah Ramsar. Luas kawasan hutan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 733/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat. Sisanya, sekitar 764 ribu hektare, berstatus Areal Penggunaan Lain (APL), menjadi ruang bagi permukiman, pertanian, perkebunan, serta aktivitas ekonomi masyarakat.
Namun, tidak semua wilayah pemukiman ada dalam APL. Banyak desa di Kapuas Hulu telah ada jauh sebelum penetapan batas kawasan hutan. Ketika KLHK melakukan pemetaan hutan, ratusan desa dimasukkan dalam kawasan hutan negara. Hal ini menciptakan keterbatasan ruang gerak pembangunan dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kondisi ini berdampak nyata pada akses masyarakat terhadap layanan dasar. Untuk membangun sekolah atau Puskesmas Pembantu (Pustu) di kawasan hutan, dulunya memerlukan izin dari pemerintah pusat. Akses darat ke desa-desa sebagian besar masih berupa jalan tanah, sulit dilalui terutama saat musim hujan. Beberapa desa hanya bisa dijangkau melalui sungai, yang membutuhkan biaya tinggi dan risiko keselamatan tinggi. Situasi ini menimbulkan tantangan besar bagi ibu hamil, pasien darurat, dan masyarakat yang membutuhkan transportasi ke pusat layanan.
Selain masalah akses dan legalitas, tekanan terhadap ekosistem tetap ada. Meskipun tutupan hutan masih luas, alih fungsi lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan pertanian skala kecil terus berlangsung. Hal ini mempengaruhi kualitas air, meningkatkan risiko banjir, dan kekeringan di hilir, mengingat Kapuas Hulu merupakan daerah hulu Sungai Kapuas yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang. Hutan juga menyediakan pangan, obat-obatan, bahan bangunan, dan sumber kehidupan bagi masyarakat lokal. Kehilangan hutan berarti kehilangan nilai ekologi, sosial, dan ekonomi yang besar, termasuk potensi ekowisata dan jasa lingkungan.
Menyadari risiko itu, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menerbitkan Perda Nomor 20 Tahun 2015 sebagai Kabupaten Konservasi. Sejak 2019, sebanyak 13 hutan adat telah diakui secara bertahap oleh KLHK, dimulai dari hutan adat Sungai Utik seluas 9.480 hektare. Pada Agustus 2025, pemerintah daerah juga mengeluarkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di tujuh desa, sebagai tahap pengusulan pengakuan hukum di tingkat pusat. Selain itu, terdapat 35 hutan desa dengan luas 247.641 hektare yang diakui Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Pengakuan ini memberi masyarakat legalitas untuk mengelola kawasan hutan yang sebelumnya dianggap perambah, sehingga mendorong terbentuknya kelompok pengelola hutan sebagai wadah ekonomi dan sosial. Masyarakat memperoleh posisi lebih kuat dalam bernegosiasi dengan pemerintah dan sektor swasta. Contohnya terlihat di Sungai Utik. Komunitas Dayak Iban yang mendiami wilayah tersebut berhasil menjaga hutan primer lebih dari 40 tahun tanpa deforestasi. Mereka menanam padi dan berkebun di luar hutan primer, sambil mengembangkan ekowisata berbasis budaya, termasuk trekking hutan, susur sungai, dan kerajinan lokal. Keberhasilan ini diakui secara internasional melalui Equator Prize 2019 dari UNDP, mengungguli ratusan nomine dari berbagai negara. Tetua Adat Sungai Utik, Bandi, mewakili komunitasnya menerima penghargaan tersebut di New York, Amerika Serikat.
Kapuas Hulu menggandeng 18 mitra pembangunan dari organisasi masyarakat dan sektor swasta untuk memperkuat ekonomi lokal melalui berbagai program sosial dan ekonomi yang konkret. Salah satu inisiatifnya adalah Hutan Desa Go Scholarship (HDGS) di Desa Bahenap, yang menyediakan beasiswa untuk jenjang SMA hingga perguruan tinggi. Program ini diperkirakan dapat melahirkan sekitar 65 lulusan sarjana dari desa tersebut.
Inisiatif lainnya mencakup pelatihan keterampilan, dukungan permodalan bagi usaha kecil, serta penguatan kelompok tani. Dampaknya mulai terlihat: angka stunting menurun, sementara pertumbuhan ekonomi daerah meningkat—dari 4,43 persen pada 2021 menjadi 4,75% pada 2025. Penurunan stunting tercatat sebesar 0,21% pada anak bawah dua tahun dan 1,57% pada anak balita.
Meski begitu, Kapuas Hulu masih menghadapi tantangan infrastruktur. Banyak desa di kawasan hutan belum memiliki akses jalan darat yang memadai, sehingga layanan kesehatan, pendidikan, dan pasar tetap sulit dijangkau. Selain itu, masih terdapat 38 desa (930.481 hektare) yang berada di kawasan taman nasional dan 139 desa (809.524 hektare) di kawasan hutan lindung. Kapuas Hulu turut mendorong pelepasan kawasan tersebut dan berkoordinasi dengan banyak pihak agar masyarakat dapat menikmati hak pengelolaan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu juga menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2025–2029, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menetapkan visi “Kapuas Hulu Semakin Hebat” sebagai komitmen jelas untuk pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat sekarang dan generasi yang akan datang. Visi ini menjadi dasar arah kebijakan pembangunan yang berupaya menyeimbangkan perlindungan ekosistem hutan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, terutama di wilayah pedesaan dan kawasan hutan.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebenarnya dapat berjalan seiring dengan pembangunan. Program pemberdayaan yang sudah berlangsung menunjukkan bahwa perpaduan antara penguatan hak, peningkatan kapasitas, dan dukungan ekonomi mampu menghadirkan manfaat ganda: menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga. Namun, keberlanjutan jangka panjang tetap membutuhkan investasi infrastruktur yang layak, akses layanan dasar yang lebih merata, penguatan kapasitas masyarakat, serta koordinasi yang konsisten antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan para mitra pembangunan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.