Banjir, longsor, dan kekeringan yang berulang di berbagai wilayah Sumatra menunjukkan bahwa krisis iklim tidak lagi dapat dipahami semata sebagai persoalan lingkungan. Ia telah menjelma menjadi risiko ekonomi struktural yang memukul produktivitas pertanian, mengganggu rantai pasok, dan menambah beban fiskal pemerintah. Kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lahan, dan hilangnya tutupan vegetasi membuat desa—yang selama ini menjadi basis produksi pangan dan komoditas—berada pada posisi paling rentan.
Dalam konteks ini, pertanyaan kunci bukan lagi apakah desa perlu dilindungi dari dampak iklim, melainkan bagaimana desa dapat menjadi bagian dari solusi ekonomi hijau. Salah satu pendekatan yang semakin relevan adalah agroforestri kopi–bambu, yang mengaitkan pengelolaan alam, pasar karbon, koperasi desa, dan inovasi ekonomi dalam satu kerangka investasi.
Alam sebagai Portofolio Aset Desa
Agroforestri kopi–bambu mendorong perubahan cara pandang terhadap desa: dari sekadar ruang produksi menjadi pemilik portofolio aset berbasis alam. Lahan desa diperlakukan layaknya portofolio investasi yang memiliki kombinasi aset dengan karakter risiko dan imbal hasil yang signifikan. Kopi berfungsi sebagai income-generating asset yang menghasilkan arus kas rutin bagi rumah tangga petani. Bambu berperan sebagai biological asset jangka menengah–panjang yang memperkuat struktur tanah, menjaga tata air, dan meningkatkan ketahanan lanskap. Karbon hadir sebagai intangible asset yang bernilai ketika lanskap dikelola secara konsisten dan berkelanjutan.
Pendekatan portofolio ini memungkinkan desa melakukan diversifikasi pendapatan sekaligus proteksi risiko. Fluktuasi harga kopi tidak lagi menjadi ancaman tunggal karena ditopang oleh nilai bambu dan karbon. Ekonomi desa tidak hanya bergantung pada panen, tetapi juga pada kualitas pengelolaan alamnya.
Pasar Karbon sebagai Insentif Pengelolaan Alam
Pasar karbon memainkan peran penting dalam mengubah logika ekonomi desa. Pada dasarnya, pasar karbon adalah mekanisme penetapan harga atas kualitas pengelolaan alam. Lanskap yang mampu menyerap dan menyimpan karbon diberi nilai ekonomi, sementara praktik yang merusak justru kehilangan nilai tersebut.
Dalam sistem agroforestri kopi–bambu, karbon tidak dihasilkan melalui proyek yang sifatnya abstrak, melainkan sesuatu yang konkrit dan terukur melalui praktik sehari-hari: tutupan vegetasi berlapis, minim erosi, dan biomassa yang terus tumbuh. Dengan potensi serapan karbon yang signifikan, karbon menyediakan pendapatan tambahan yang relatif stabil dan berfungsi sebagai penyangga ketika pendapatan kopi tertekan oleh fluktuasi harga atau cuaca ekstrem. Dengan demikian, pasar karbon mengubah pengelolaan alam dari kewajiban konservasi menjadi aktivitas ekonomi yang rasional secara finansial.
Koperasi Merah Putih sebagai Titik Sentral Ekosistem
Namun aset dan pasar tidak akan terhubung tanpa institusi yang mampu mengorkestrasi keduanya. Di sinilah Koperasi Merah Putih memainkan peran strategis sebagai titik sentral ekosistem ekonomi hijau pedesaan.
Koperasi tidak sekadar menjadi badan usaha, tetapi pengelola aset kolektif desa dan platform yang menghubungkan berbagai aktor. Petani desa berperan sebagai pengelola lanskap dan produsen utama kopi serta bambu. Pemerintah desa memberikan legitimasi, tata kelola, dan integrasi dengan perencanaan pembangunan. Universitas berfungsi sebagai pusat riset terapan dan penghasil sumber daya manusia. Perusahaan besar dan BUMN hadir sebagai pembeli karbon dan mitra ESG. Lembaga keuangan hijau menopang pembiayaan dan skema blended finance. Seluruh interaksi ini diorkestrasi oleh koperasi sebagai core asset manager. Dengan peran tersebut, koperasi menurunkan fragmentasi usaha, memperkuat posisi tawar desa, dan memastikan bahwa nilai ekonomi, sosial, dan ekologis dapat dikelola secara kolektif.
Sarjana ke Pedesaan: Manajer Ekosistem Desa
Transformasi koperasi menjadi pengelola aset dan ekosistem membutuhkan kapasitas manajerial yang memadai. Di sinilah program Sarjana ke Pedesaan menemukan relevansi strategisnya. Sarjana—khususnya dari bidang ekonomi, bisnis, teknik, rancangan produk, pertanian, kehutanan, dan lingkungan—dapat dipersiapkan sebagai manajer koperasi dan pengelola ekosistem desa. Peran mereka bukan sekadar pendamping teknis, melainkan pengelola portofolio: menyusun perencanaan usaha, mengelola arus kas, menjaga nilai aset alam, serta menjembatani desa dengan universitas, perusahaan, dan mitra keuangan.
Didukung universitas sebagai pusat pengetahuan dan riset terapan, sarjana desa menjadi penghubung antara praktik lokal dan standar profesional yang dibutuhkan pasar karbon dan pelaporan ESG. Jika koperasi adalah mesin ekonomi desa dan alam adalah asetnya, maka sarjana desa adalah operator profesionalnya.
Startup Pedesaan sebagai Akselerator Inovasi
Di sekitar koperasi, akan terbuka ruang bagi startup pedesaan untuk tumbuh sebagai akselerator nilai tambah. Startup ini tidak berdiri sendiri, melainkan tertanam dalam ekosistem koperasi. Bidang inovasinya beragam: agritech untuk pemantauan kebun dan produktivitas, layanan karbon dan ESG, pengolahan dan pengemasan buah kopi, logistik pascapanen, produk-produk kreatif berbasis bambu, hingga pembiayaan digital. Dengan koperasi sebagai anchor institution, startup desa memiliki pasar internal yang jelas, data nyata, dan dampak langsung. Bagi sarjana desa, startup menjadi wahana kewirausahaan berbasis dampak. Dengan demikian, desa tidak hanya menjadi lokasi produksi, tetapi juga ruang inovasi ekonomi hijau.
Model Ekosistem Ekonomi Hijau Pedesaan
Jika dirangkum, agroforestri kopi–bambu membentuk model ekosistem ekonomi hijau pedesaan yang utuh. Alam desa (kopi, bambu, lanskap) menjadi aset dasar. Koperasi Merah Putih bertindak sebagai pusat pengelolaan. Sarjana desa dan universitas menyediakan kapasitas manajerial dan pengetahuan. Startup menjadi akselerator inovasi. Perusahaan dan lembaga keuangan menyediakan pasar dan pembiayaan.
Model ini penting karena menggeser desa dari posisi pasif menjadi node aktif dalam ekonomi hijau nasional. Desa tidak lagi hanya menerima dampak krisis iklim, tetapi juga menghasilkan solusi ekonomi yang terukur dan layak investasi.
Penutup
Model agroforestri kopi–bambu menunjukkan bahwa pengelolaan alam, kelembagaan desa, pengembangan SDM, dan inovasi dapat disatukan dalam satu ekosistem ekonomi hijau. Dengan koperasi sebagai pusat, sarjana sebagai manajer, startup sebagai akselerator, dan pasar karbon sebagai insentif, desa bertransformasi dari objek pembangunan menjadi pelaku ekonomi hijau yang kredibel. Di tengah meningkatnya risiko iklim, pendekatan ini menawarkan arah baru: desa sebagai pusat pengelolaan alam bernilai investasi, bukan sekadar wilayah terdampak bencana. Model ini juga dapat dikembangkan dengan kombinasi tumpangsari lainnya seperti tanaman coklat, teh dan lainnya. Tentu ini merupakan usulan yang perlu adanya kajian yang lebih dalam agar dapat disusun naskah akademik yang lebih komprehensif dan diharapkan dapat menjadi bagian dari kebijakan nasional terkait penanganan bencana hidrologis.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.