Catatan dari Xinjiang (3): Di antara Turisme dan Terorisme

Katadata/Metta Dharmasaputra
Suasana di Xinjiang Islamic Institute, Xinjiang, Tiongkok.
Editor: Redaksi
11/12/2019, 09.39 WIB

Adegan brutal itu bikin mual. Tanpa belas kasihan, seorang teroris menggorok leher korbannya tanpa ampun. Darah muncrat seketika. Ada pula seorang lelaki tiba-tiba dihantam martil batok kepalanya di tengah keramaian pasar. Pria nahas itu langsung roboh. Pengunjung pameran menjerit melihat rekaman video itu.

Adegan demi adegan sadistis itu dipertontonkan tanpa sensor di Xinjiang International Convention and Exhibition Center di Urumqi, ketika kami mengunjunginya pada Sabtu, 16 November siang. Secara kronologis dipamerkan pula foto-foto aksi radikalisme dan terorisme yang berlangsung sejak awal 1990-an.

Berbagai senjata yang digunakan para teroris juga dipajang. Mulai dari senjata tajam, senjata api, bahan peledak, racun, hingga aksi menabrakkan mobil ke kerumunan. Menurut pemandu pameran, sejak 1992 hingga akhir 2015, tercatat setidaknya ada 41 kali aksi teror dan kekerasan yang merenggut banyak nyawa.

Pameran senjata yang digunakan dalam aksi terorisme di Xinjiang. (Katadata/Metta Dharmasaputra)



Wakil Gubernur Xinjiang Arken Tuniyazi mengatakan, terorisme memang menjadi salah satu persoalan terberat di provinsi terbesar di Tiongkok ini, selain kemiskinan. Letak wilayahnya di ujung barat yang berbatasan dengan delapan negara—khususnya Asia Tengah—dan terdiri dari multi etnis, menjadikan ancaman terorisme dan isu separatisme terus menguntitnya.

Untuk mengatasi persoalan itu, Tuniyazi menjelaskan, yang dilakukan pemerintah Cina adalah menggelar program deradikalisasi dan memerangi terorisme di satu sisi, serta memberikan pelatihan kerja dan pendidikan vokasi di sisi lain untuk memerangi kemiskinan.

Murid-murid TK di Xinjiang (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Bukan kamp tahanan “cuci otak” seperti ramai diberitakan, kata Tuniyazi. “Media barat membuat berita palsu bahwa di Xinjiang masjid dan etnis minoritas telah dihancurkan,” ujarnya. “Ini tidak masuk akal.”

Semua hal ini, menurut pengakuannya, telah dijelaskannya di forum PBB tahun lalu, ketika dirinya diundang ke Jenewa, Swiss. Sekitar seribu pengamat, jurnalis, dan lainnya juga sudah diundang untuk bertandang ke Xinjiang dalam kurun dua tahun terakhir.

“Di Tiongkok ada pepatah, hanya pemilik kakilah yang tahu sepatu yang sesuai dengan ukurannya.” Maksudnya, kata Tuniyazi menyindir, hanya orang Tiongkoklah yang tahu persis apakah kehidupannya bahagia atau tidak. Bukan yang di luar sana.

Saya dan rombongan memang tak berkesempatan mengunjungi tempat-tempat yang dituduhkan sebagai kamp tahanan itu. Namun, kami sempat berkunjung ke Xinju Community di jalan Hongmiaozi, distrik Saybagh, Xinjiang.

Di sini ditampung ratusan kepala keluarga miskin yang berasal dari berbagai etnis minoritas di Kota Urumqi. Anak-anak mereka belajar, menari, dan menyanyi. Sementara itu, para orang tua dibekali keterampilan dan kemudian berusaha dengan membuat berbagai aneka roti dan kue, serta merangkai bunga.

Toko roti dan kue di Xinjiang (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Berkat berbagai upaya itu, Tuniyazi memaparkan, keamanan di Xinjiang berhasil dijaga. Selama hampir tiga tahun terakhir tidak ada lagi aksi terorisme. Dampaknya, sektor pariwisata berkembang pesat.

Salah satu pusat wisata yang ramai dikunjungi adalah Xinjiang International Grand Bazaar. Di sini aneka rupa makanan dan pernak-pernik produk khas masyarakat Xinjiang yang multi-etnis diperjualbelikan.

Adapun jumlah wisatawan yang datang terus membanjir. Dari yang semula kenaikannya hanya 20 persen pada 2016, melesat menjadi 62 persen per Oktober 2019. “Sudah 200 juta wisatawan yang berkunjung di tahun ini,” kata Tuniyazi.

Dibanding kawasan lainnya di Cina, Xinjiang memang merupakan wilayah dengan pertumbuhan pariwisata tercepat. Ditargetkan wisatawan yang datang ke daerah ini bisa mencapai 300 juta orang.

Dengan kemajuan ini, Produk Domestik Bruto Xinjiang pun hingga kuartal ketiga tahun ini tumbuh 6,1% mencapai 900 miliar yuan (sekitar Rp 1.800 triliun). Penghasilan penduduk kota naik 6,5%, bahkan penduduk desa kenaikannya mencapai 9,8%.

Halaman: