Sabtu, 16 November 2019
Terpisah 10.430 km dari Urumqi, sebuah kabar meletup di New York. Pagi itu, surat kabar ternama the New York Times memuat berita panas tentang bocoran 400 lembar dokumen internal pemerintah Tiongkok.
Dituliskan bahwa Presiden Tiongkok Xi Jinping telah mengeluarkan instruksi untuk melawan aksi terorisme dan separatisme tanpa belas kasihan. Dokumen ini juga mengungkap soal adanya kamp tahanan massal bagi kaum Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang.
Lebih dari 1 juta orang diberitakan telah dikirim ke kamp tersebut untuk diindoktrinasi. Menurut laporan itu, aksi brutal ini pertama kali diperintahkan Xi Jinping setelah berkunjung ke Xinjiang pada 2014—beberapa pekan setelah kelompok militan Uighur melakukan aksi teror di stasiun kereta, dengan menikam dan menewaskan 31 orang.
"Kita harus sekeras mereka, dan sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan,” ujar Xi.
Kabar ini langsung menyebar cepat. Berbagai media massa dunia sontak memberitakannya. Di layar penumpang pesawat Cathay Pacific yang membawa saya dan rombongan ketika kembali bertolak ke Hong Kong dan Jakarta pun memuat berita ini.
Tak hanya itu, sebuah organisasi wartawan investigasi dunia, International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ), ikut mewartakannya. Dalam laporan khusus bertajuk “China Cables” (24/11) dituliskan tentang panduan operasi rahasia untuk kamp pengasingan di Xinjiang.
Kamp ini digambarkan menyerupai penjara, tempat di mana para tahanan diinterogasi dan diindoktrinasi. Disebutkan pula bahwa pengumpulan data terhadap para tahanan massal ini dilakukan melalui teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Di akhir Januari lalu, sebuah laporan khusus Al-Jazeera dalam program 101 East mengungkap tentang keraguan akurasi data AI tersebut. Temuan itu didapatkannya dari pengakuan sejumlah eks tahanan yang kini bermukim di Turki.
Abduweli Ayup salah satunya. Ia mempertanyakan penahanannya selama 15 bulan. Ia juga mengaku telah dianiaya dan diperkosa selama di tahanan. “Pertama-tama mereka meminta saya membuka pakaian....Mereka menempatkan saya di penjara bersama pengguna obat-obatan dan pembunuh, dan mereka memukuli saya,” ujarnya.
Ia tak habis pikir dituduh sebagai teroris. Padahal, menurut pengakuannya, dia hanyalah seorang akademisi dan penulis. Adik perempuannya yang seorang guru geografi pun ikut ditahan hingga kini.
Testimoni lain datang dari seorang perempuan berkebangsaan Kazakhstan. Dia tiba-tiba ditangkap karena dikira warga Tiongkok Uighur. Dia baru kembali menghirup udara bebas setelah 15 bulan mendekam di tahanan, dan kini hidup di Turki—negeri yang mendapat dana bantuan dari Tiongkok $28 miliar per tahun—bersama eks tahanan lainnya.
Kian derasnya pemberitaan soal kamp ini, membuat para legislator di Negeri Abang Sam ikut meradang. Hanya selang sepekan setelah laporan ICIJ dirilis, sebuah Undang-Undang bernama Uighur Act 2019 ditetapkan DPR AS.
Mereka meminta Pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi kepada para pejabat Tiongkok yang bertanggungjawab atas kamp tahanan dan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Aksi ini sontak memicu kian panasnya perang dagang AS-Tiongkok.
Pemerintah Tiongkok dalam berbagai kesempatan membantah tudingan ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, dalam konferensi pers pada 18 November lalu menegaskan bahwa yang dilakukan di Xinjiang bukanlah terkait soal etnis, agama atau HAM. “Melainkan tentang perang melawan kekerasan, terorisme, dan separatisme.”
Sejak 1990 hingga 2016, ribuan aksi kekerasan dan terorisme telah terjadi di Xinjiang. Karena itu, yang dilakukan pemerintah Tiongkok merupakan upaya deradikalisasi melalui pendidikan vokasi dan pelatihan kerja. Bukan kamp tahanan seperti dituduhkan.
“The New York Times tuli dan buta atas semua fakta ini,” kata Shuang sengit.
(Baca: Catatan dari Xinjiang (2): Era Kejayaan Ekonomi Asia)