Iklan TV Tak Lagi Mampu Mendongkrak Suara Parpol di Pemilu

Ventsislav Bratovanov/123rf
Besarnya belanja iklan di televisi tidak menjamin parpol lolos ke Senayan.
Penulis: Safrezi Fitra
25/4/2019, 15.44 WIB

Televisi (TV) masih dianggap sebagai media yang berpengaruh dalam membentuk opini publik. Tidak mengherankan jika banyak iklan politik yang berseliweran di TV selama masa kampanye. Namun, Partai Politik (Parpol) yang jor-joran beriklan di TV, ternyata belum bisa mendongkrak elektabilitasnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Berdasarkan data hasil survei Sigi Kaca Pariwara, ada tiga partai yang memasang iklan di televisi hingga di atas seribu kali tayangan. Ketiganya adalah Partai Perindo, PSI, dan Hanura. PSI menjadi partai yang iklannya paling banyak tayang di TV, mencapai 1.220 spot iklan. Perindo menyusul dengan 1.220 spot iklan dan Hanura 1.053 spot iklan.

Meski penayangan lebih sedikit dari PSI, biaya iklan yang dikeluarkan Perindo tercatat paling tinggi, yakni Rp 82,7 miliar. Sedangkan PSI hanya Rp 42,8 miliar dan Hanura Rp 40,2 miliar. Sebagai partai baru, Perindo dan PSI memang perlu mengeluarkan dana besar untuk kampanye, termasuk iklan di TV, agar bisa dikenal masyarakat lebih luas.

(Lihat Databoks: PSI Teratas Kampanye di TV, Gerindra Terhemat)

Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan ada peningkatan elektabilitas PSI sejak beriklan di televisi. Sebelum masa kampanye media masa, elektabilitas PSI hanya berada di angka 0,3 persen. Kemudian naik menjadi 1,3 persen setelah penayangan iklan di televisi.

Direktur Eksekutif Indikator Indonesia Burhanuddin Muhtadi menduga elektabilitas PSI terkerek iklan televisi yang kerap menjadi bahan perbincangan warganet di media sosial. Dalam sejumlah iklannya, Ketua Umum PSI Grace Natalie sering mengucapkan kata "udah? udah?" di akhir pernyataannya.

"Mungkin berkat iklan 'udah, udah' itu. Baru kali ini kami menemukan elektabilitas PSI di atas 1 persen," ujarnya di Jakarta, Rabu (3/4).

Namun, kenyataan berkata lain. Hasil perhitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei menunjukkan ketiga parpol yang mengeluarkan belanja iklan TV terbesar malah terancam gagal masuk parlemen. Perolehan suara PSI hanya PSI hanya 2,1 persen, Perindo 2,8 persen, dan Hanura 1,7 persen. Angka ini masih di bawah ambang batas syarat partai politik bisa duduk di DPR yang mencapai 4 persen.

Berbanding terbalik dengan Gerindra yang tercatat paling hemat membelanjakan iklannya di televisi selama masa kampanye, tapi berhasil mendulang suara besar dalam Pemilu. Menurut data Sigi Kaca Pariwara, Gerindra hanya membelanjakan Rp 77 miliar untuk iklan TV dengan total 200 tayangan. Namun, hasil quick count menunjukkan perolehan suara partai Prabowo Subianto mencapai 12,7%. Gerindra berada di posisi kedua setelah PDIP. 

Belanja Iklan Tidak Berbanding Lurus dengan Elektabilitas Parpol

Analis Politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan besaran belanja iklan televisi oleh partai politik tidak selalu berkolerasi dengan perolehan suara mereka dalam pemilu. "Pada sedikitnya tiga pemilu terakhir, kami mendapati fenomena yang agak berlainan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (25/4).

Dia menjelaskan fenomena yang terjadi pada 2004, Partai Demokrat, Golkar dan Gerindra termasuk pengiklan terbesar di televisi. Ketiganya juga memperoleh dukungan suara yang signifikan saat pemilu di tahun tersebut. Namun, fenomena yang berbeda terjadi pada dua pemilu berikutnya.

Pada 2014, belanja besar iklan televisi oleh Partai Hanura, Partai Demokrat, dan PAN tidak sebanding dengan perolehan suara mereka dalam Pemilu. Sedangkan pada Pemilu 2019, gelontoran belanja iklan PSI, Perindo, dan Hanura, justru tidak mampu meloloskan mereka ke Senayan.

(Baca: TV Masih Mendominasi, tapi Iklan Online Tumbuh Lebih Cepat)

Menurutnya, efektivitas iklan parpol setidaknya dipengaruhi beberapa hal. Pertama, pengenalan publik terhadap Parpol. Partai-partai baru memiliki beban lebih berat untuk dikenal dibandingkan partai-partai mapan.

Kedua, kesesuaian isu. Semakin dekat isu yang diangkat dengan preferensi pemilih, semakin besar peluang partai untuk mendapatkan dukungan suara. Ketiga, konten iklan yang kreatif. Ini terkait kemampuan untuk mengemas pesan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan target audiens.

Di sisi lain, terdapat fenomena cukup khusus pada Pemilu 2019. Maraknya politik kebencian berbasis identitas menjadi insentif murah bagi sebagian partai dibandingkan promosi lewat iklan televisi. Pemilu serentak juga berpengaruh, karena memberi fokus lebih besar pada Pilpres dibandingkan Pileg. Makanya, terlihat sumber daya parpol lebih banyak dikerahkan untuk Pilpres ketimbang Pileg.

Arif menilai efek ekor jas atau pengaruh figur politik tidak terlalu dominan dalam Pemilu kali ini. PDIP dan Gerindra memang mendapat efek elektoral lebih baik, tetapi tidak terdapat lonjakan luar biasa pada perolehan suara mereka. Distribusi suara untuk partai-partai yang berpeluang lolos ke Senayan juga tidak mengalami perubahan mencolok dibandingkan lima tahun sebelumnya, kecuali suara Hanura yang banyak tergerus.

(Baca: LIPI Sebut Pemilu 2019 Jadi 'Kuburan Massal' Partai Politik)

Pemilih-pemilih loyal memberi warna lebih kuat pada relatif bertahannya konfigurasi kepartaian di parlemen. Namun, bukan berarti tidak terdapat dinamika perubahan dalam konstelasi politik menyangkut isu-isu penting serta dalam relasi antara DPR dan pemerintah.

Iklan di Media Sosial Punya Pengaruh Besar

Di luar faktor-faktor yang disebutkan Arif, mungkin juga pengaruh iklan di media televisi untuk mengkampanyekan partai politik sudah mulai luntur. Apalagi dengan pesatnya penggunaan internet dan media sosial.

Hasil survei Charta Politika menunjukkan informasi di media sosial cukup berpengaruh dalam menarik masa pemilih. Dari survei itu, 81,3 persen responden menyatakan informasi di media sosial mempengaruhi pilihan mereka. Hanya 13,6 persen yang bilang tidak berpengaruh dan 5 persen menjawab tidak tahu.

(Baca: Hasil Survei: Media Sosial Mempengaruhi Pilihan saat Pemilu)

Charta Politika melakukan survei tersebut pada periode 19-25 Maret 2019 dengan metode wawancara tatap muka terhadap 2 ribu responden. Sampel dipilih secara acak di beberapa kelurahan yang tersebar seluruh Indonesia. Sedangkan tingkat kesalahan atau margin of error survei ini mencapai 2,19 persen.

Direktur Riset Charta Politika, Muslimin, mengatakan tren penggunaan media sosial semakin dalam dibandingkan Pemilu 2014. Dia pun mengingatkan partai dan tokoh politik tidak bisa lagi mengabaikan kekuatan media sosial. "Karena media sosial jadi medium masyarakat untuk mengakses informasi," ujarnya di Jakarta, Kamis (4/4).

Dari data hasil survei tersebut, metode iklan bergambar menjadi salah satu yang efektif dirasakan masyarakat. Mayoritas responden mengatakan iklan dengan gambar logo parpol, calon presiden dan wakil presiden, tokoh partai dan artis, cukup efektif menjadi pertimbangan publik dalam pemilih.

(Baca: Sambut Pemilu 2019, Facebook Luncurkan Fitur Info Kandidat Dewan)

Terkait kemenangan PDIP, Gerindra, dan Golkar, kemungkinan hubungannya dengan pemilihan iklan di spanduk dan baliho. Hasil survei Charta Politika menyebutkan sebagian besar responden menyatakan sering melihat baliho dan spanduk PDIP. Gerindra dan Golkar berada di urutan kedua dan ketiga.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution