Meski juga membahas ekonomi umat, menurut Direktur Eksekutif Narasi Institute Rama Pratama, yang ikut mempopulerkan konsep Ma'rufnomics, dari beberapa penjelasan sang kyai sendiri, konsepsinya bukanlah ekonomi syariah milik umat Islam semata. Tetapi, ekonomi umat yang diwacanakan Ma'rufnomics merujuk pada gagasan ekonomi yang berbasiskan nilai universal.

Sebab itu, umat yang dimaksud adalah seluruh umat beragama yang saling berinteraksi dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika ekonomi umat dikembangkan dalam koridor umat Islam, tidak berarti mengesampingkan umat lainnya. Mengembangkan ekonomi umat berarti memberdayakan semuanya, menitikberatkan pada pemerataan, keadilan sosial, dan kepedulian guna memperkecil ketimpangan ekonomi saat ini.

(Baca: Figur Ulama Dalam Pusaran Laga Jokowi vs Prabowo Jilid II)

 
Jokowi maruf (ANTARAFOTO | Yulius Satria)
 

Dukungan Rama -mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)- terhadap wacana Ma'rufnomics jelas menarik perhatian. Namun, Juru Bicara TKN Arya Sinulingga mengungkapkan, Rama hanya mendukung pemikiran ekonomi Ma'ruf secara pribadi. "Tidak ada hubungan dengan PKS," katanya.

Adapun Narasi Institute sendiri merupakan lembaga think tank kebijakan publik yang diisi oleh anak-anak muda dari berbagai latar belakang politik dan disiplin ilmu.

Menurut pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio, konsep Ma'rufnomics ini belum tentu manjur mengerek elektabilitas Guru Besar Hukum Ekonomi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang tersebut. Ia malah menilai, konsepsi ini membuktikan tim sukses kesulitan mengemas branding politik Ma'ruf karena alasannya terpilihnya sebagai cawapres bukanlah untuk menopang elektabilitas.

Menurutnya, Ma'ruf dipilih lebih karena alasan untuk meminimalisir serangan politik identitas yang sering diarahkan ke pemerintah. Isu-isu seperti kebangkitan komunisme, pembubaran ormas Islam, serta persekusi ulama dan pendakwah justru kerap mewarnai tema hubungan pemerintah dengan kelompok Islam selama beberapa tahun terakhir.

(Baca: Tawaran Stabilitas Politik dan Ekonomi dari Jokowi vs Prabowo)

Sebagai ulama senior dan petinggi dari organisasi Islam terbesar di Indonesia yang dihormati banyak kalangan, termasuk kelompok oposisi, Ma'ruf memang punya kapasitas yang kuat sebagai penjaga stabilitas. Sebab, salah satu titik lemah Jokowi yaitu relasinya yang kurang akrab dengan kelompok Islam.

Karena itu, Hendri menilai, narasi ekonomi keumatan kurang tepat untuk disematkan ke Ma'ruf sebagai pendorong elektabilitas. Sebagai ulama-cendekiawan, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut lebih baik mulai menjalankan peran sebagai ulama grass root atau ulama pendakwah masyarakat luas, seperti Ustad Abdul Somad yang sempat direkomendasikan Ijtima Ulama sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Dengan rajin berdakwah ke masyarakat luas yang menjadi pemilih, Ma'ruf dinilai memiliki kesempatan yang besar untuk mengerek popularitas dan elektabilitas. Jika dakwahnya dikemas dengan baik, bukan tak mungkin pula, mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut juga mampu menjangkau kaum pemilih milenial, seperti Somad yang dakwahnya mampu menjangkau anak muda. "Menjangkau milenial itu tak tergantung usia, tapi penyampaian konten," katanya.

(Baca: Virus 2019 Ganti Presiden yang Membuat Pemerintah Demam)

Halaman: