Belitan Masalah di Implementasi Program Biodiesel 20%

123rf.com/Artit Fongfung
Penulis: Safrezi Fitra
28/9/2018, 16.13 WIB

Ketiga, proses administrasi di Direktorat Bea dan Cukai, antrian sandar kapal, dan bongkar muat kapal, yang memerlukan waktu lama. Keempat, durasi perjalanan yang sulit diprediksi. Kelima, sarana dan fasilitas terminal BBM yang sulit terjangkau.  

Masalah-masalah ini sebenarnya sudah pernah diungkapkankan sebelumnya oleh produsen minyak nabati. Makanya, Ketua Bidang Pemasaran dan Promosi Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Togar Sitanggang menyatakan pengiriman bukanlah masalah besar. “Saya sudah bilang dari awal, bulan pertama tidak akan tercapai karena permasalahan logistik. Volume 940 ribu KL pasti tidak akan penuh, kecuali ada permintaan baru di akhir tahun,” ujarnya.

Menurutnya, tidak mungkin produsen bisa langsung memasok FAME dalam satu waktu. Mereka baru menerima order pemesanan dari badan usaha penyalur BBM yang sudah berkontrak, mulai 1 September. Tidak mungkin order tersebut langsung dikirim dan diterima oleh penyalur. Butuh waktu pengiriman, paling tidak 14 hari. Itu pun belum memperhitungkan kendala pengiriman, seperti ketersediaan kapal dan cuaca yang tidak mendukung.

Di sisi lain, PT Pertamina yang ditugas menjalankan kebijakan B20 mulai mengeluh. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini merasa ada biaya lain yang yang harus mereka keluarkan dan tidak ditanggung oleh produsen FAME dan Badan pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS). Salah satu yang dikeluhkan adalah biaya distribusi.

Sebelum perluasan Program B20 diluncurkan, masalah distribusi ini sudah pernah dibahas bersama pemerintah. Awalnya, produsen harus mendistribusikan FAME ke 112 terminal BBM milik Pertamina di seluruh Indonesia. Namun, cara ini dinilai tidak efisien dan menyulitkan, sehingga masih ada 52 terminal yang belum bisa menerima pasokan.

Akhirnya pemerintah memutuskan produsen FAME hanya akan memasok minyak nabatinya ke 13 depot utama Pertamina. Kemudian Pertamina yang akan mendistribusikan minyak nabati tersebut ke semua terminal BBM-nya. Namun, dalam pelaksanaan dalam hampir satu bulan ini, Pertamina malah merasa keberatan. (Baca juga: Pertamina Minta Insentif Penerapan B20)

Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastuktur Pertamina Gandhi Sriwidodo mengatakan perusahaannya harus menjangkau seluruh terminal BBM dengan kebijakan itu. Sehingga memerlukan ongkos angkut yang besar.  "Kami akan usulkan pada BPDPKS, kalau kami mau optimalkan perluasan B20. Tentu saja ini kan harus dipikiran bagaimana FAME ini bisa sampai atau ter-deliver ke terminal BBM Pertamina," kata Gandhi di Jakarta, Rabu (26/9).

Selain menanggung transportasi, Pertamina juga membutuhkan biaya untuk pemeliharaan TBBM dan biaya pencampuran Solar dengan minyak sawit. Apalagi, minyak sawit yang mengikat air. Sehingga biaya pemeliharaannya tinggi dan memiliki risiko tinggi ketika pencampuran. Pertamina juga akan mengusulkan kepada pemerintah agar menyatukan harga acuan solar subsidi dan nonsubsidi. Ini akan memudahkan dalam proses administrasi dan operasional.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan B20, salah satunya sebagai upaya menyelamatkan nilai tukar rupiah yang anjlok dalam beberapa bulan terakhir. Kebijakan dinilai mampu menekan impor migas yang tinggi, akibat penggunaan bahan bakar minyak, khususnya solar.

(Baca : Kebijakan B20 Tak Mulus, Pemerintah Hitung Ulang Penghematan Devisa)

Apabila berjalan mulus, kebijakan B20 sepanjang September hingga Desember tahun ini diproyeksikan dapat menyerap 2,86 juta KL FAME yang bisa menggantikan impor solar. Dangan volume penyerapan tersebut, nilai penghematan devisanya diperkirakan bisa mencapai US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 22,3 triliun. Untuk tahun depan, perkiraannya dapat menyerap 6,24 KL FAME yang bisa menghemat devisa US$ 3,34 miliar atau Rp 48,7 triliun.

Halaman:
Reporter: Michael Reily, Anggita Rezki Amelia