Ketika Bank-bank Diterjang Lonjakan Kredit Bermasalah

Arief Kamaludin|KATADATA
28/9/2016, 11.57 WIB

Sekadar informasi, BI mencatat, pertumbuhan kredit per akhir Juli lalu sebesar 7,7 persen atau lebih rendah dari bulan sebelumnya yang masih bisa tumbuh 8,9 persen. Padahal, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini ditargetkan 11-12 persen, itupun sudah lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 14 persen.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Eri Unanto menyatakan, bank masih wait and see dalam menyalurkan kredit. Sebab, masih melihat kondisi sektor riil dan perekonomian secara keseluruhan. Ia pun membenarkan pertumbuhan kredit bisa menekan rasio NPL, tapi bank tetap harus selektif. “Jangan asal melempar kredit, nanti baru sebentar macet,” kata dia.

Di sisi lain, berdasarkan data statistik perbankan nasional per Juli 2016, lonjakan rasio NPL di antaranya terjadi pada kredit sektor pertambangan dan penggalian. Peningkatannya dari 3,82 persen pada Juli 2015 menjadi 6,76 persen pada Juli 2016.

NPL kredit untuk sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi juga menanjak dari 3,56 persen menjadi 5,77 persen. Selain itu, NPL kredit untuk industri pengolahan naik dari 2,5 persen menjadi 3,9 persen. 

David berpendapat, rasio NPL perbankan secara industri tidak terlalu buruk, namun juga tidak terlalu baik. “Masih manageable,” kata dia.

Meski begitu, kenaikan rasio NPL tetap harus diwaspadai, terutama oleh OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Apalagi, jika ada bank yang mengarah ke kebangkrutan. Bank yang menyimpan NPL kelewat tinggi dan merugi, harus menambah modal agar kembali kuat. “Tapi pasti sudah dipantau OJK dan LPS,” kata dia.

Eri juga menyatakan, berlanjutnya kenaikan rasio NPL perlu diwaspadai. Beban NPL yang cukup besar berasal dari kredit mikro, kecil dan menengah (MKM). “Supaya terkendali, otomatis harus memberi insentif yang bisa mendorong kredit menengah produktif untuk tumbuh,” katanya.

(Baca juga: BI Pangkas Target Pertumbuhan Kredit 2017 Menjadi 11 Persen)



Dewan Komisioner OJK Bidang Perbankan Nelson Tampubolon meramal, NPL perbankan segera menurun. Sebab, pertumbuhan kredit berpeluang meningkat setelah Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan, BI 7-Days Repo menjadi 5 persen pada 22 September lalu. “Biaya kredit akan lebih rendah,” katanya, Jumat pekan lalu (23/9). Perkiraannya, kebijakan ini mampu memacu kredit tumbuh ke kisaran 12-14 persen.

Namun, David menaksir, penyaluran kredit tahun ini cuma tumbuh satu digit alias di bawah 10 persen. Perbaikan kemungkinan baru terjadi tahun depan. “Double digit tahun depan, tapi masih sekitar 10 persenan,” ujar David. Perbaikan itu bertumpu pada implementasi paket-paket kebijakan ekonomi serta belanja pemerintah, terutama setelah masuknya penerimaan dari program pengampunan pajak (tax amnesty).

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono menilai, dalam kondisi saat ini, tidak banyak yang bisa dilakukan perbankan untuk menekan NPL. Opsinya adalah menunggu perbaikan ekonomi untuk menggairahkan kembali sektor riil. “Tidak ada pilihan, kesehatan otomatis terganggu,” kata dia. 

Menurutnya, baik nasabah maupun bank sedang sama-sama menahan diri. Di satu sisi permintaan kredit lemah, dan di sisi lain bank ekstra hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Indikatornya, fasilitas kredit yang belum ditarik nasabah (undisbursed loan) yang mencapai Rp 1.245 triliun per Juli 2016 atau naik 4,27 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Halaman: