Perbankan semakin tertekan oleh pembengkakan kredit bermasalah. Bahkan, enam bank beraset terbesar mencatatkan rasio kredit bermasalah di atas rata-rata industri. Penyebabnya adalah rendahnya penyaluran kredit dan kondisi beberapa sektor usaha yang masih lesu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) gross bank umum per akhir Juli lalu sudah mencapai 3,18 persen. Rasio ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 3,05 persen. Kenaikan rasio NPL ini menimpa hampir seluruh bank, termasuk bank-bank besar.
Mengacu kepada laporan keuangan perbankan pada semester I-2016, sebanyak enam bank dari 10 bank umum beraset terbesar, mencatatkan kenaikan rasio NPL. Sedangkan empat bank yang mengalami penurunan NPL gross.
Mereka adalah Bank Tabungan Negara (BTN) dari 4,7 persen pada Juni 2015 menjadi 3,41 persen pada Juni 2016, Bank CIMB Niaga dari 4,38 persen menjadi 3,97 persen, dan Bank Negara Indonesia (BNI) dari 2,98 persen menjadi 2,95 persen. Sedangkan rasio NPL Bank Rakyat Indonesia (BRI) turun dari 2,33 persen menjadi 2,31 persen.
Yang menarik, rasio NPL enam bank beraset terbesar sudah melampaui rata-rata rasio NPL industri. Mereka adalah Bank Permata dengan rasio NPL gross 4,6 persen per Juni 2016, Bank CIMB Niaga sebesar 3,97 persen, dan Bank Maybank Indonesia 3,85 persen. Selain itu, Bank Mandiri sebesar 3,74 persen, BTN sebesar 3,41 persen, dan Bank Danamon 3,3 persen.
(Baca juga: Penyaluran Kredit Melambat, Kredit Bermasalah Menanjak)
Rasio NPL gross beberapa bank beraset menengah dan kecil juga terpantau tinggi. Bahkan, rasio NPL gross Bank of India Indonesia pada Juni lalu sudah mencapai 26,24 persen.
Yang patut juga disorot adalah rasio NPL Bank Pundi Indonesia sebesar 5,04 persen dan rasio kecukupan modal (CAR) cuma 11,29 persen. Rasio ini sudah mendekati batas CAR minimal 8 persen yang ditentukan oleh regulator. Jadi, selain persoalan kredit bermasalah, Bank Pundi juga terancam kekurangan modal.
Padahal, bank-bank sudah berupaya mengendalikan dan menekan kredit bermasalah dengan menambah cadangan kerugian pemenuhan nilai (CKPN). Hingga Juli lalu, total CKPN kredit mencapai Rp 134,226 triliun atau melonjak 31,40 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menyatakan, peningkatan rasio NPL secara umum karena melambatnya penyaluran kredit. Jadi, bukan akibat bertambahnya kredit bermasalah. Sebab, NPL menghitung porsi total kredit macet terhadap total penyaluran kredit bank.
Artinya, dalam kondisi penyaluran kredit melambat saat ini, rasio NPL akan otomatis terkerek naik. “Jadi meski kredit macet tidak naik, NPL naik,” kata David kepada Katadata, Senin (26/9).
Sekadar informasi, BI mencatat, pertumbuhan kredit per akhir Juli lalu sebesar 7,7 persen atau lebih rendah dari bulan sebelumnya yang masih bisa tumbuh 8,9 persen. Padahal, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini ditargetkan 11-12 persen, itupun sudah lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 14 persen.
Direktur Eksekutif Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Eri Unanto menyatakan, bank masih wait and see dalam menyalurkan kredit. Sebab, masih melihat kondisi sektor riil dan perekonomian secara keseluruhan. Ia pun membenarkan pertumbuhan kredit bisa menekan rasio NPL, tapi bank tetap harus selektif. “Jangan asal melempar kredit, nanti baru sebentar macet,” kata dia.
Di sisi lain, berdasarkan data statistik perbankan nasional per Juli 2016, lonjakan rasio NPL di antaranya terjadi pada kredit sektor pertambangan dan penggalian. Peningkatannya dari 3,82 persen pada Juli 2015 menjadi 6,76 persen pada Juli 2016.
NPL kredit untuk sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi juga menanjak dari 3,56 persen menjadi 5,77 persen. Selain itu, NPL kredit untuk industri pengolahan naik dari 2,5 persen menjadi 3,9 persen.
David berpendapat, rasio NPL perbankan secara industri tidak terlalu buruk, namun juga tidak terlalu baik. “Masih manageable,” kata dia.
Meski begitu, kenaikan rasio NPL tetap harus diwaspadai, terutama oleh OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Apalagi, jika ada bank yang mengarah ke kebangkrutan. Bank yang menyimpan NPL kelewat tinggi dan merugi, harus menambah modal agar kembali kuat. “Tapi pasti sudah dipantau OJK dan LPS,” kata dia.
Eri juga menyatakan, berlanjutnya kenaikan rasio NPL perlu diwaspadai. Beban NPL yang cukup besar berasal dari kredit mikro, kecil dan menengah (MKM). “Supaya terkendali, otomatis harus memberi insentif yang bisa mendorong kredit menengah produktif untuk tumbuh,” katanya.
(Baca juga: BI Pangkas Target Pertumbuhan Kredit 2017 Menjadi 11 Persen)
Dewan Komisioner OJK Bidang Perbankan Nelson Tampubolon meramal, NPL perbankan segera menurun. Sebab, pertumbuhan kredit berpeluang meningkat setelah Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan, BI 7-Days Repo menjadi 5 persen pada 22 September lalu. “Biaya kredit akan lebih rendah,” katanya, Jumat pekan lalu (23/9). Perkiraannya, kebijakan ini mampu memacu kredit tumbuh ke kisaran 12-14 persen.
Namun, David menaksir, penyaluran kredit tahun ini cuma tumbuh satu digit alias di bawah 10 persen. Perbaikan kemungkinan baru terjadi tahun depan. “Double digit tahun depan, tapi masih sekitar 10 persenan,” ujar David. Perbaikan itu bertumpu pada implementasi paket-paket kebijakan ekonomi serta belanja pemerintah, terutama setelah masuknya penerimaan dari program pengampunan pajak (tax amnesty).
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono menilai, dalam kondisi saat ini, tidak banyak yang bisa dilakukan perbankan untuk menekan NPL. Opsinya adalah menunggu perbaikan ekonomi untuk menggairahkan kembali sektor riil. “Tidak ada pilihan, kesehatan otomatis terganggu,” kata dia.
Menurutnya, baik nasabah maupun bank sedang sama-sama menahan diri. Di satu sisi permintaan kredit lemah, dan di sisi lain bank ekstra hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Indikatornya, fasilitas kredit yang belum ditarik nasabah (undisbursed loan) yang mencapai Rp 1.245 triliun per Juli 2016 atau naik 4,27 persen dibanding periode sama tahun lalu.