Kembalinya Sri Mulyani dan Konsolidasi Politik Jokowi

Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo ditemani Wakil Presiden Jusuf Kalla megumumkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan pada resuffle kabinet jilid II di Istana Merdeka, Jakarta, 27 Juli 2016
Penulis:
Editor: Yura Syahrul
28/7/2016, 20.35 WIB

SEKITAR seribu tamu berdiri memberikan standing ovation begitu Sri Mulyani Indrawati mengakhiri pidatonya. Gemuruh tepuk tangan semenit lamanya memenuhi ballroom Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada Selasa malam itu, 18 Mei 2010.

“Jangan pernah putus asa mencintai Republik,” ucap Sri dalam pidato perpisahannya menjelang keberangkatannya ke Washington D.C. setelah didera badai kasus Bank Century.

Di awal acara, Rocky Gerung dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi pun dalam pidatonya menegaskan sebuah harapan kepada Sri. “Ini bukan forum perpisahan, dan bukan untuk melepas SMI. Tapi untuk memastikan ia kembali.”

Harapan itu rupanya baru terwujud pada Rabu, 27 Juli lalu, setelah enam tahun berselang. Kali ini dengan wajah ceria, Sri menghampiri podium di pelataran belakang Istana Merdeka, Jakarta, ketika Presiden Joko Widodo menyebut namanya sebagai Menteri Keuangan yang baru dalam perombakan kabinet jilid dua.

Sri kembali ke Indonesia dan meninggalkan jabatannya yang pernah dipegangnya selama enam tahun di Bank Dunia sebagai Managing Director dan Chief Operating Officer. Ia didapuk menggantikan juniornya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Bambang Brodjonegoro, dan berduet dengan seniornya di kampus yang sama, yaitu Menko Perekonomian Darmin Nasution.

Sri menjadi “bintang” reshuffle kali ini. Respons positif langsung tercermin pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dan penguatan mata uang rupiah. Pergantian posisi di pos strategis kabinet ini diharapkan dapat kian memacu laju ekonomi nasional yang masih lamban.

Sebanyak 12 paket ekonomi memang telah digulirkan oleh Darmin, begitu ia dipercaya menakhodai tim ekonomi. Namun, upaya ini belum sepenuhnya berhasil. Darmin juga dipandang perlu memiliki sekondan yang cakap untuk membantunya mengelola keuangan negara.

Apalagi, pemerintah kini dihadapkan pada ancaman melebarnya defisit anggaran. Target perolehan amnesti pajak sebesar Rp 165 triliun dinilai banyak kalangan kelewat tinggi. Menurut taksiran sejumlah ekonom, perolehannya maksimal hanya akan berkisar setengahnya.

Di tengah situasi sulit ini, duet Darmin-Sri dinilai memberi harapan baru. Apalagi, kedua ekonom kawakan ini sudah lama bekerja sama. Bedanya, dulu Sri selaku Menteri Keuangan menjadi atasan Darmin yang saat itu menjabat Dirjen Pajak—meski di FE-UI Darmin jauh lebih senior dari Sri.

Keduanya saat itu bahu-membahu mereformasi Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak. Sejumlah kasus pajak besar pun dibongkar. Termasuk kasus pajak Asian Agri Group dan Bakrie Group, yang ditengarai merugikan negara triliunan rupiah.

Tiga Titik Konsolidasi  

Hal lain yang bisa menjadi alasan munculnya optimisme pasar, yaitu masuknya Sri ke kabinet sebagai rangkaian penanda kian solidnya kekuatan politik Jokowi.

Bukti konsolidasi politik ini dimulai ketika pertengahan Mei lalu, Ketua Umum baru Golkar, Setya Novanto, menyatakan dukungan Partai Beringin kepada pemerintahan Jokowi—bahkan untuk mendukungnya pada Pemilu Presiden 2019.

Modal politik ini tentu penting bagi Jokowi, mengingat saat ia naik ke tampuk kekuasaan pada September 2014, suara partai-partai politik pendukung pemerintah (PDI-P, Nasdem, Hanura, PKB) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat di DPR hanya 37 persen.

Sementara, partai oposisi dalam Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PKS, PAN, PPP) menguasai mayoritas suara 52 persen. Sisanya,11 persen dikuasai oleh Partai Demokrat yang memilih netral. Kondisi mulai berbalik ketika PAN membelot pada Oktober 2015, yang membuat suara KIH bertambah menjadi 46 persen, sedangkan KMP tinggal 43 persen.

Suara kubu KMP kian kempis, ketika PPP dan Golkar akhirnya juga berbalik arah, yang membuat suara KIH di Senayan menjadi 386 suara (69 persen). Adapun KMP tinggal tersisa Gerindra dan PKS dengan 113 suara (20 persen). Sedangkan Partai Demokrat tetap berposisi netral, dengan 61 kursi (11 persen).

Dengan modal politik yang kian kokoh ini, pada pertengahan Juni lalu atau hanya berselang sebulan setelah meraih dukungan Golkar, Presiden Jokowi langsung membuat kejutan. Ia memilih Komisaris Jenderal Tito Karnavian untuk menjadi Kepala Kepolisian RI, menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang memasuki masa pensiun.

Pengangkatan Tito juga mengagetkan, lantaran perwira Polisi yang dikenal cerdas dan berprestasi ini, melompati senior empat angkatan yang sebelumnya telah masuk bursa calon Kapolri. Selain Wakapolri Budi Gunawan (angkatan 1983), ada pula Kepala Badan Narkotika Nasional Budi Waseso (angkatan 1984), dan Irwasum Dwi Priyatno (angkatan 1982).Langkah ini mengejutkan, mengingat sebelumnya ia mendapat desakan hebat dari PDI-P dan sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri—juga para politisi lain—untuk memilih Wakapolri Budi Gunawan sebagai orang nomor satu di korps baju coklat ini.

Tak berhenti sampai di situ, Jokowi juga merestui usulan Tito untuk mengangkat Komjen Suhardi Alius sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Padahal, Suhardi yang juga dikenal sebagai perwira cemerlang, sempat “masuk kotak”, ketika terjadi perseteruan di tubuh Polri di masa-masa awal pemerintahan Jokowi.

Boleh dibilang, pengangkatan kedua perwira tinggi polisi ini berjalan mulus, tanpa hambatan berarti dari para politisi. Keberhasilan ini pun menjadi penanda kedua keberhasilan konsolidasi politik Jokowi. Pujian pun banyak mengalir.

Kebijakannya ini bahkan dipandang sebagai langkah “cerdas” untuk mengamankan loyalitas korps Kepolisian kepada Presiden dalam jangka waktu cukup panjang. Mengingat, Tito tak dikejar masa pensiun dan bukan sosok “titipan” dari siapa pun.

Pinangan Lama buat Sri

Kini, lagi-lagi hanya berselang sebulan, kejutan kembali dibuat Jokowi. Pengangkatan sejumlah wakil partai dalam kabinet—termasuk Jenderal Wiranto sebagai Menko Politik, Hukum, dan Keamanan yang banyak menuai kritik—memang sudah diduga sebelumnya. Tapi, soal masuknya Sri ke kabinet di luar dugaan.

Spekulasi baru muncul ketika Sri datang ke Jakarta dan berbicara di sebuah forum di Universitas Indonesia, hanya sehari sebelum kabinet baru diumumkan. Di forum itu, Sri sempat memuji dua kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi. Pertama, percepatan pembangunan infrastruktur. Kedua, 12 paket kebijakan untuk mengatasi hambatan perdagangan dan investasi.

(Baca: Sri Mulyani Memuji Dua Kebijakan Pemerintahan Jokowi)

Jika ditilik ke belakang, sesungguhnya “pinangan” Jokowi ke Sri memang sudah disiratkannya sejak lama. Bahkan sejak pemilihan calon Wakil Presiden dan pembentukan kabinet baru pada Oktober 2014, Sri sudah masuk radar.

Untuk Wakil Presiden, pilihan akhirnya jatuh ke tangan Jusuf Kalla. Sedangkan untuk kabinet, rencananya Sri diplot menduduki kursi Menko Perekonomian. Saat itu, sejumlah sumber menceritakan bahwa Sri sudah sempat beberapa kali bertemu dengan Jokowi.

“Restu” pun sudah dikantongi dari Megawati, yang sempat melakukan pertemuan dengan Sri hampir tiga jam lamanya. Persoalannya kemudian, ia meminta adanya dukungan politik yang riil agar kerjanya kelak bisa berjalan efektif.

Syarat ini diajukannya lantaran ia “kapok” direcoki para politisi dalam kasus Bank Century, yang membuatnya terpental dari kabinet. Dukungan politik setengah hati dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah membuat dirinya dan Wapres Boediono menjadi bulan-bulanan para politisi Senayan.

Syarat ini yang kabarnya berat dipenuhi oleh Jokowi, dan tidak ada sinyal tegas dari PDI-P. Jokowi pun kabarnya tidak secara langsung meminta Sri masuk kabinet, meski kode sudah dibunyikan oleh Deputi Ketua Tim Transisi Jokowi-JK Eko Sanjoyo saat itu. “Kalau Ibu Sri,  leadership-nya bagus,” ujar Eko, yang kini baru diangkat menjadi Menteri Desa.

Sri lantas menolak secara halus tawaran Presiden Jokowi. Menurut salah seorang sumber, alasan Sri saat itu, ia masih harus menyelesaikan masa kontrak kerjanya di Bank Dunia.

(Baca: Jokowi Pertimbangkan Duet Sri Mulyani-Chatib Basri)

Nama Sri lantas kembali digadang-gadang bakal masuk kabinet, ketika berhembus kencang isu bakal adanya perombakan kabinet jilid I pada Juli 2015. Saat itu, Sri dan Rizal Ramli termasuk calon yang dipertimbangkan untuk masuk tim ekonomi. Selain untuk pos Menko Perekonomian, Sri juga diplot memegang jabatan Menteri Keuangan.

Menurut ekonom UGM Tony Prasetyantono, peluang Sri masuk kabinet saat itu cukup besar. “Saat saya sebut SMI (Sri Mulyani Indrawati), Presiden hanya tersenyum. Tapi saya berani simpulkan, Presiden memang menginginkan SMI,” kata Tony mengisahkan pertemuan sejumlah ekonom dengan Presiden di Istana Negara pada 29 Juni 2015.

Jika Sri saat itu jadi menduduki posisi Menteri Keuangan, maka Bambang Brodjonegoro akan bergeser ke Bappenas. Kenyataannya, Sri lagi-lagi batal masuk skuad tim ekonomi kabinet. Posisi Menko Perekonomian kemudian dijabat Darmin Nasution, dan Rizal Ramli kebagian jatah Menko Kemaritiman.

(Baca: Sri Mulyani Menkeu, Bambang Brodjo ke Bappenas)

Dengan dua kali pembatalan itu, siapa sangka Sri bakal bersedia masuk kabinet dalam perombakan kali ini. Tapi, jalan cerita rupanya sudah berubah. Golkar yang dulu di baris terdepan berupaya mendongkel Sri Mulyani dalam kasus Century, kini gegap-gempita mendukung pemerintahan Jokowi.

Realita baru itu yang tentunya juga dilihat Sri, hingga akhirnya menerima pinangan ketiga Jokowi. Ia tak perlu lagi khawatir dan bisa bekerja dengan tenang, sepanjang didukung penuh oleh Presiden Jokowi yang kini sudah mengantongi  hampir 70 persen suara di DPR.

Melihat realita itu, apa yang dilontarkan Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani enam tahun lalu, bahwa ”Ini bagian dari kemenangan Golkar,” saat menanggapi pengunduran diri Sri, menjadi terasa usang.

Reshuffle dan masuknya Sri Mulyani menjadi penanda ketiga keberhasilan konsolidasi politik Jokowi.