Jokowi Larang Para Menteri Persoalkan Perpres, Siapa yang Dimaksud?

Arief Kamaludin|KATADATA
Sidang Kabinet KATADATA|Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
3/11/2015, 12.24 WIB

KATADATA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menteri atau pejabat setingkat menteri dan para pejabat pemerintahan untuk tidak membuat polemik terhadap berbagai keputusan pemerintah. Terutama yang terkait dengan sejumlah Peraturan Presiden (Perpres) yang telah dikeluarkan oleh Jokowi.

“Beliau (Presiden Jokowi) menegaskan semua yang telah diputuskan oleh Presiden tidak boleh dipolemikkan,“ kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung seusai sidang kabinet paripurna di kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin sore (2/11), seperti dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet.

Menurut Pramono, semua menteri dan pejabat setingkat menteri telah diberikan kebebasan mengungkapkan pendapatnya, bahkan berbeda pandangan dan pendapat, sebelum presiden membuat sebuah keputusan. Keputusan itu bisa berupa Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Presiden (Keppres) dan sebagainya. Setelah menjadi keputusan presiden, maka para pembantu presiden baik itu menteri, pejabat setingkat menteri hingga bawahan menteri harus menjalankan semua keputusan tersebut.

“Perbedaan itu diberi ruang, tapi begitu sudah menjadi keputusan Perpres, Inpres, Kepres, maka semuanya diminta untuk menindaklanjutinya,” ujar Pramono.

Jadi, Presiden Jokowi menegaskan kepada para menterinya agar tidak lagi mempolemikkan keputusan itu atau menggunakan para bawahan maupun elemen-elemen politik untuk mempersoalkan lagi keputusan presiden tersebut. Penegasan ini disampaikan kepada para menteri karena polemik antarmenteri maupun pejabat setingkat menteri terhadap aturan yang telah dikeluarkan presiden tidak baik bagi kehidupan demokrasi. “Sehingga, Presiden memberikan penegasan tersebut,” tandas Pramono.

Namun, politisi Partai PDI Perjuangan ini tidak menyebutkan keputusan presiden yang telah dipolemikkan oleh para menteri dan bawahannya. Berdasarkan catatan Katadata, salah satu peraturan presiden teranyar adalah Perpres Nomor 107 Tahun 2015. Perpres yang diteken 6 Oktober 2015 ini tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Selain memberikan penugasan kepada PT Wijaya Karya Tbk untuk memimpin konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menangani megaproyek Rp 77 triliun bekerjasama dengan investor Cina, Presiden Jokowi menugaskan kepada sekitar 13 menteri, pejabat negara dan kepala daerah untuk membantu pembangunan kereta cepat tersebut.

(Baca: Perpres Kereta Cepat Terbit, Ada Tiga Opsi Sumber Pendanaan Non-APBN)

Semula, rencana pembangunan jaringan kereta cepat Jakarta-Bandung itu sempat menjadi polemik berkepanjangan dari sisi nilai strategisnya dan skema kerjasamanya. Jepang dan Cina berebut menggarap megaproyek tersebut. Akhirnya, pemerintah memilih kereta cepat Cina karena tidak menggunakan skema jaminan pemerintah alias business to business dengan BUMN. Keputusan itu diperkuat oleh Perpres Nomor 107 Tahun 2015.

Kereta Cepat (Arief Kamaludin|KATADATA)

Staf Ahli Kementerian BUMN Sahala Lumban Gaol menyatakan, pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan dimulai 9 November mendatang. Peluncuran megaproyek itu bertempat di wilayah Walini, Jawa Barat, yang juga akan menjadi salah satu stasiun pemberhentian kereta cepat tersebut. "Launching dan groundbreaking di kebun teh (Walini) semua," katanya seusai penandatanganan pendirian perusahaan patungan kereta cepat Jakarta-Bandung, 16 Oktober lalu.

(Baca: Awal November, Kereta Cepat Cina Pertama di Luar Negeri Dibangun di Walini)

Namun, hingga kini, proses persiapan pembangunan proyek itu masih jalan di tempat. Suradi, Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya Tbk, mengatakan pihaknya masih menunggu izin trayek dari Kementerian Perhubungan. Apabila izin trayek diterbitkan melebihi tanggal 15 November, maka peluncuran proyek tersebut akan ikut tertunda. "Kami masih menunggu izin trase-nya dulu keluar dari Kemenhub, baru bisa dilakukan (peluncuran proyek)," katanya kepada Katadata, Jumat pekan lalu (30/10).

Tapi, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengajukan beberapa syarat jika proyek kereta cepat itu dapat dinyatakan layak. Antara lain, penggunaan stasiun tidak boleh lebih dari empat stasiun. Dengan begitu, kereta tersebut dapat menempuh kecepatan‎ di atas 200 kilometer per jam. Padahal, pemerintah sempat memunculkan rencana menggunakan 6-8 stasiun untuk membangun ekonomi di wilayah-wilayah yang dilalui kereta cepat itu. "Pokoknya maksimal empat (stasiun), ini mau bikin kereta cepat atau mau bikin properti," kata Jonan, seperti dikutip dari situs liputan6.com, 16 Oktober lalu.

Ignatius Jonan KATADATA|Arief Kamaludin

Padahal, dalam Pasal 9 ayat 2 Perpres tersebut itu dicantumkan lima tugas Menteri Perhubungan. Yaitu: menetapkan konsorsium BUMN atau perusahaan patungan untuk menggarap proyek kereta cepat itu, menetapkan jalur Jakarta-Walini-Bandung dan meneken perjanjian penyelenggaraan prasarana kereta cepat. Selain itu, memberikan perizinan usaha, pembangunan, dan operasi penyelenggara proyek itu dan pengawasan serta pembinaan terhadap teknis pembangunannya.

Sementara itu, polemik keputusan di antara para menteri juga kerap terjadi. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah mempersoalkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Beleid itu juga mencakup ketentuan impor sejumlah produk perikanan. Ia menilai ketentuan yang mengizinkan impor komoditas ikan, seperti ikan tuna dan cakalang itu, akan merugikan nelayan kecil. "Ukuran kekurangan (ikan di dalam negeri) dimana? Tidak boleh dong seperti itu (impor)," katanya seperti dikutip dari situs Suara Pembaruan, 30 Oktober lalu.

(Baca: Menteri Sudirman Sudahi Pembahasan Kontrak Freeport)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli juga sering bersilang pandangan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Kasus terbaru adalah kabar perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang baru akan berakhir tahun 2021 mendatang. Rizal mengkritik rencana Kementerian ESDM mengubah peraturan perpanjangan kontrak pertambangan. Dengan cadangan tambang yang tersisa sekitar 30-40 tahun lagi, seharusnya Kementerian ESDM tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan untuk memperpanjang kontrak Freeport. Apalagi dalam 5-10 tahun ke depan, banyak kontrak karya pertambangan yang akan habis masa kontraknya.

"Saya betul-betul kecewa mental pejabat seperti itu. Karena lobi berbagai kepentingan, dia mendorong supaya dipercepat negosiasi kontrak Freeport dan lain-lain," katanya, 7 Oktober lalu.

(Baca: Sudirman Said: Tidak Ada Surat Perpanjangan Kontrak Freeport)

Namun, Sudirman membantah isu bahwa pemerintah telah sepakat memperpanjang kontrak Freeport. Yang benar adalah, pemerintah mengirimkan surat kepada manajemen Freeport McMoran, yang isinya komitmen untuk menjamin investasi jangka panjang perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu di Indonesia. "Para pihak yang tidak paham harap menghentikan spekulasi tentang perpanjangan kontrak, karena itu sama sekali tidak benar," katanya.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution, Yura Syahrul