Riuh Skenario New Normal Ekonomi Indonesia Saat Pandemi Belum Reda

rf123
Ilustrasi new normal. Pemerintah berencana memulai new normal ekonomi pada 1 Juni 2020.
28/5/2020, 10.40 WIB

Protokol pencegahan penularan corona di tempat kerja sektor jasa dan perdagangan diterbitkan Kemenkes melalui Surat Edaran Menteri Nomor HK.02.01/Menkes/335/2020. Isinya yakni, pengelola wajib membersihkan dan mendisinfeksi secara berkala area kerja dan area publik setiap empat jam sekali, menyediakan fasilitas cuci tangan, melakukan pengecekan suhu badan pekerja sebelum beraktivitas, mewajibkan pekerja menggunakan masker, dan memasang media informasi untuk mengingatkan pekerja, pelaku usaha, dan pelanggan agar mengikuti pembatasan jarak fisik minimal satu meter.

Shinta menekankan yang terpenting dari setiap fase adalah evaluasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah derah. Keduanya mesti sinkron dan tak boleh berbeda data. Sebab jika berbeda berisiko menciptakan ketimpangan kebijakan yang semakin merugikan dunia usaha, khususnya terkait arus pasok.

Meskipun begitu, Shinta mendukung pemerintah membuka kembali perekonomian pada 1 Juni. Karena semakin lama ekonomi ditutup, krisis akan semakin dalam. Jalan terbaik adalah berdamai dengan keadaan sambil tetap memperhatikan secara serius protokol kesehatan.

“Yang pasti peningkatan ekonomi akan lebih besar daripada waktu PSBB, tapi tidak akan kembali langsung seperti pra-pandemi,” kata Shinta. “Untuk pulih kembali mungkin kuartal IV,” imbuhnya. 

(Baca: Bisnis Makanan dan Pakaian Babak Belur Jelang Lebaran)

PENEMPELAN POSTER ATURAN NEW NORMAL RITEL (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.)

Membandingkan dengan Fase Pemulihan Singapura

Negara Asia Tenggara yang juga akan memulihkan ekonomi pada Juni adalah Singapura. Pada 19 Mei Menteri Pembangunan Nasional Singapura Lawrence Wong menyatakan terdapat tiga fase pemulihan yang dipersiapkan. Pertama memberi izin operasi untuk bidang manufaktur, produksi, dan jasa yang tak banyak memerlukan interaksi publik pada 2 Juni.

Dalam fase ini, pemerintah Singapura mengestimasikan sepertiga dari total jumlah pekerja dapat kembali bekerja. Sementara sisanya tetap bekerja dari rumah atau work from home. “Kami harus melakukan ini dengan hati-hati dan terkalibrasi,” kata Lawrence melansir Bloomberg.

Fase kedua membuka restoran, outlet ritel, dan gimnasium. Fase ini diperkirakan berlangsung selama berbulan-bulan tergantung dengan hasil evaluasi pemerintah tehadap penyebaran virus corona dan kesiapan masyarakat menjalani normal baru.

Terakhir, adalah mengizinkan pertemuan, kegiatan sosial, dan bisnis lain dalam skala terbatas. Bioskop, bar, dan klub malam akan diizinkan. Fase ini akan berlangsung sampai vaksin virus corona ditemukan. Pemerintah Singapura pun meminta masyarakatnya untuk menaati protokol covid-19 selama seluruh fase tersebut dipersiapkan.

Berdasarkan seluruh fase tersebut, terlihat pemerintah Singapura tetap mempertimbangkan faktor penyebaran corona sebagai tolok ukur untuk memulai setiap tahapan. Pertimbangan manfaat ekonomi juga sangat terlihat dari sektor usaha yang dibuka di awal. Karena, seluruhnya adalah yang selama ini menjadi penopang utama PDB mereka.

Data Singapore Economic Development Board pada 2019 menyatakan kontribusi manufaktur terhadap PDB sebesar 22% dengan pertumbuhan paling tinggi di manufaktur biomedis, yakni 21,9%. Disusul pertumbuhan di teknik presisi sebesar 4% dan teknik transportasi sebesar 3%. Pertumbuhan manufaktur Singapura selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

(Baca: Bayang-Bayang Resesi di Asia Tenggara dan Ekonomi Indonesia Tumbuh 0%)

Sementara sektor jasa paling berkontribusi terhadap PDB Singapura, yakni 70,6%. Sektor ini juga menyerap tenaga kerja terbanyak, yakni 75,66% dari total tenaga kerja terserap. Sehingga, bisa dikatakan membukanya di awal berpeluang mendorong kembali perekonomian negara ini yang Maret lalu sempat diprediksi Development Bank of Singapore pertumbuhannya akan -0,5%.

Prediksi tersebut lebih buruk dari realisasi pertumbuhan ekonomi saat krisi finansial global 2009 yang masih di angka 0,1%. Dalam catatan DBS, Singapura tiga kali mengalami pertumbuhan ekonomi negatif: saat jatuhnya saham perusahaan-perusahaan teknologi pada 2001 (-1,1%), krisis finansial 1999 (-2,2%), dan resesi sektor manufaktur pada 1985 (-0,6%).

Hal ini serupa dengan kajian new normal Kemenko Perekonomian. Sektor industri yang akan dibuka awal, menurut data BPS pada 2019, berkontribus 19,82% terhadap PDB Indonesia atau paling besar. Sementara jasa berkontribusi terbesar kedua, yakni 12,49%.

Halaman selanjutnya: Belum Saatnya Indonesia Memasuki New Normal

Belum Saatnya Indonesia Memasuki New Normal

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira menyatakan sepakat dengan Sandiaga Uno bahwa UMKM shopping bisa dibuka terlebih dulu pada Juni nanti. Sebab UMKM akan lebih cepat menyerap tenaga kerja yang berimplikasi kepada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan catatan pemerintah harus memberi subsidi kesehatan kepada pelaku UMKM.  

Karena, menurut Bhima, UMKM akan sangat rentan menghadapi pandemi tanpa subsidi kesehatan. Pelakunya yang saat ini masih dalam kondisi terpukul akan mengeluarkan dana ekstra untuk memenuhi fasilitas kesehatan sesuai protokol Covid-19 dan itu memberatkan. Sementara jika tak disediakan pekerja dan konsumennya rentan terkena virus corona.

“Kalau mal yang lebih dulu dibuka tidak akan meningkatkan konsumsi. Masyarakat menengah atas masih akan takut pergi ke mal. Sementara masyarakat menangah bawah ke mal untuk rekreasi saja,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (27/5).

Setelah itu membuka sektor pertanian yang berkontribusi 10,88 % terhadap PDB dan termasuk kebutuhan dasar penting di tengah pandemi. Mengingat saat ini salah satu masalah serius adalah kelangkaan pangan, seperti gula yang menyebabkan harganya melambung tinggi di pasar.

(Baca: Konsumsi Masyarakat Lockdown, Ekonomi RI Langsung Jatuh)

Akan tetapi, Bhima lebih menilai pemerintah masih terlalu prematur melonggarkan PSBB dan memulai new normal. Pasalnya tren kasus positif corona masih terus menanjak. Karena, yang semetinya menjadi indikator utama pelonggaran adalah data kasus corona. “Negara-negara yang mulai melonggarkan pembatasan indikatornya jelas, jumlah kasus positif dan kematiannya menurun tajam,” kata Bhima.

Data Kemenkes per 27 Mei menyatakan total kasus sebanyak 23.851 orang dari 195.518 spesimen (714 per 1 juta populasi). Meningkat dari sehari sebelumnya sebanyak 23.165 orang atau bertambah 686 kasus baru. Pertambahan kasus harian dalam seminggu ke belakang pun selalu di atas 400 orang.

Berdasarkan analisis Endcoronavirus.org, kurva kasus Covid-19 di Indonesia berwarna merah atau masih masuk kategori butuh tindakan khusus untuk melandaikannya. Tak seperti Korea Selatan dan Vietnam yang kurvanya berwarna hijau atau telah dinyatakan mampu melandaikan penyebaran virus corona.

Menurut data John Hopkins University and Medicine, jumlah pertambahan kasus baru harian di Korea Selatan selama seminggu ke belakang tak pernah lebih dari 40 orang. Jauh dari jumlah kasus baru pada Februari-Maret yang mencapai lebih dari 100 orang per hari. Kini total kasus di negeri gingseng sebanyak 11.265 orang.

Sementara Vietnam dalam seminggu ke belakang hanya mencatat pertambahan 3 kasus. Total kasusnya kini hanya sebanyak 327 kasus sejak 2 kasus awal tercatat pada 23 Januari lalu. Negeri ini pun tak mencatat satu pun kasus kematian akibat Covid-19.

Bhima menyatakan, risiko depresi ganda atau double depression bisa terjadi jika pemerintah tetap memaksakan memulai new normal sebelum kasus pandemi melandai. Sebab risiko gelombang kedua dengan dampak lebih besar sangat mungkin terjadi.

Kurva pemulihan yang terwujud akan berbentuk “W”. Pemulihan yang diharapkan terjadi pada 2021 dengan pertumbuhan ekonomi 8,2 % seperti diproyeksikan IMF bisa gagal terjadi. Sebaliknya, pemulihan baru bisa terjadi pada 2022. “Skenario terburuknya pertumbuhan ekonomi -0,4 sampai -2 %. Walaupun rebound tidak akan kembali seperti sebelum pandemi,” kata dia.

Analisis Bhima selaras dengan perusahaan konsultan McKinsey & Company. Dalam artikel berjudul How to Restart National Economies During the Coronavirus Crisis dikatakan, kurva pemulihan ekonomi sangat bergantung kepada tingkat keberhasilan negara menekan penyebaran pandemi.

Semakin ketat negara menekan penyebaran pandemi, salah duanya dengan karantina wilayah dan peningkatan jumlah tes, semakin baik pula kurva pemulihan yang tercapai. Skenario terbaik adalah kurva “V” atau pemulihan ekonomi lebih tinggi dari sebelum pandemi.

Namun, pencegahan yang parsial atau dilonggarkan sebelum pandemi bisa ditekan sepenuhnya akan menciptakan pemulihan lebih lama dengan tingkat tak bisa mencapai seperti semula, meskipun tetap pulih. Skenario paling buruk adalah tak ada kebijakan pencegahan penyebaran virus yang efektif akan membuat ekonomi tak pernah pulih.

Studi bertajuk Pandemics Depress the Economy, Public Health Interventions Do Not: Evidence from the 1918 Flu yang dilakukan asisten profesor Massachusetts Institute of Technology Emil Verner bersama dua ekonom bank sentral Amerika Serikat (AS), Sergio Correira dan Stephen Luck membuktikan intervensi kesehatan lebih berdampak pada pemulihan ekonomi saat pandemi flu Spanyol ketimbang pelonggaran kegiatan ekonomi.

(Baca: Prediksi Pemulihan Ekonomi Pasca-Corona, dari Kurva V sampai Logo Nike)

Kota-kota di AS yang 10 hari lebih dulu melakukan intervensi kesehatan selama flu Spanyol ketimbang lainnya menunjukkan pertumbuhan sektor manufaktur lebih kurang 5 % setelah pandemi berlalu pada 1923. Sementara yang 50 hari lebih lama melonggarkan intervensi kesehatannya sektor manufakturnya tumbuh 6,5 % setelah pandemi.

“Kami tak temukan bukti bahwa kota yang bertindak agresif di sektor kesehatan publik kesulitan memulihkan perekonomiannya. Semakin agresif semakin cepat pulih. Ini meragukan gagasan trade-off antara mengatasi ekonomi di satu sisi dan mengatasi pandemi di sisi lain. Karena pandemi itu sendiri sangat merusak ekonomi,” tulis penelitian itu. 

Halaman: