Berlarut-larutnya Ketidakpastian Nasib Smelter Freeport

123RF.com/miraclemoments
Ilustrasi. Proyek smelter Freeport.
Penulis: Sorta Tobing
6/5/2021, 19.39 WIB
  • Pembangunan smelter tembaga di Weda Bay, Maluku Utara, masih belum ada titik terang.  
  • Kendala utama kerja sama tersebut adalah permintaan Tsingshan untuk mendapatkan diskon 5% pada konsentrat tembaga Freeport.
  • Kementerian ESDM memastikan rencana memabngun smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur masih tetap berjalan. 

Belum ada titik terang  pembangunan pabrik peleburan atau smelter tembaga PT Freeport Indonesia. Kesepakatan dengan Tsingshan Steel asal Tiongkok untuk membangunnya di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku Utara, tak kunjung terwujud.

Padahal, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sudah kadung optimistis keduanya akan mencapai kesepakatan. “Mudah-mudahan minggu depan akan tanda tangan pembangunan smelter-nya,” katanya pada 24 Maret 2021. 

Bulan telah berganti dan belum ada progres signifikan dari rencana tersebut. Diskusi kedua belah pihak masih berlangsung. “Belum diputuskan, masih dibicarakan,” kata juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama pada Selasa lalu. 

Juru bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi pun mengatakan hal serupa. Proses diskusi itu juga melibatkan induk Freeport, yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) alias MIND ID. 

Namun, ia enggan menjelaskan perkembangan proyek tersebut. “Coba klarifikasi ke Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM),” ucapnya.

Databoks di bawah menujukkan realisasi pembanguan smelter pada 2012 sampai 2020. 

Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin tak merespon pertanyaan dari Katadata. Namun, sebelumnya ia mengatakan proyek tersebut batal. "Tidak jadi. Smelter di Halmahera tidak lebih baik dari rencana di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE)," ujarnya.

Opsi membangun smelter di Halmahera muncul pada akhir tahun lalu. Sebelumnya, Freeport akan membangunnya di JIIPE Gresik.

Realisasi pembangunan smelter di Jawa Timur baru mencapai 10%. Sedangkan target penyelesaiannya adalah lima tahun setelah kesepakatan divestasi ditandatangani pada 2018. Apabila Freeport tak menyelesaikannya, maka izin usaha pertambahan khususnya (IUPK) akan dicabut. 

Jalan Panjang Divestasi Freeport (Katadata)

Kerja Sama Freeport dan Tsingshan Batal?

Dua opsi lokasi yang muncul membuat nasib smelter semakin tidak pasti. Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan pembangunan smelter di Gresik akan tertunda dengan berlarutnya keputusan kerja sama Freeport dengan Tsingshan. 

Apalagi, pembangunan pabrik pemurnian Freeport selama ini selalu menemui kendala. "Kenapa kok terjadi hambatan kalau memang niat kerja sama? Apakah ada hambatan karena ada kepentingan pemerintah Amerika Serikat," ujar Budi.

Sebelum divestasi, saham Freeport memang dikuasai oleh perusahaan asal AS, Freeport McMoran. Pemerintah lalu memiliki mayoritas sahamnya pada 2018, melalui MIND ID.  

Asia Times pada 3 Mei lalu menulis, kerja sama Freeport dan Tsingshan telah batal. Kedua pihak gagal mencapai kesepakatan hingga batas waktu 31 Maret lalu. 

Kendala utama kerja sama tersebut adalah permintaan Tsingshan untuk diskon 5% pada konsentrat tembaga dari tembaga Grasberg di Mimika, Papua. Freeport menolak mentah-mentah permintaan itu. Pemerintah dikabarkan setuju dengan posisi Freeport. 

Pada laporan pendapatan Freeport pada 22 April 2021, perusahaan hanya menyebut tentang “smelter baru alternatif”, tanpa menyebut Tsingshan. Diskusi soal komersial proyek gagal dan Freeport sedang melanjutkan proyek greenfield di Gresik. 

Proyek smelter tembaga menjadi strategis karena komoditas ini sedang tumbuh pesat sejalan dengan perkembangan mobil listrik. Goldman Sachs memperkirakan harganya akan melonjak US$ 15 ribu per ton pada 2025, dibandingkan US$ 10 ribu pada saat ini. 

Harga komoditas tembaga itu mencetak rekor tertinggi US$ 10.147,5 per ton di London Metal Exchange pada 14 Februari lalu. 

Freeport Indonesia (Arief Kamaludin | Katadata)

Beda Pendapat Antar-Kementerian Soal Smelter Freeport

Deputi Investasi & Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto pada Februari lalu menyebut, Freeport hanya mengeluarkan biaya 7,5% apabila sepakat membangunnya di Maluku Utara. Sisa dana ditanggung oleh Tsingshan.

Dengan kondisi itu, Freeport tidak lagi dapat mengeluh tentang pembangunan smelter tembaga yang tidak ekonomis. Dalih ini kerap perusahaan pakai sehingga pembangunan pabrik pengolahan di Gresik menjadi minim progres.

Biaya pembangunan smelter di Maluku Utara adalah US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25 triliun. Sedangkan, pabrik pengolahan di Jawa Timur memerlukan dana US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun.

Namun, keinginan Kemenko Marves tampaknya tak sejalan dengan Kementerian Bidang Perekonomian. Di bulan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut investasi di JIIPE Gresik dapat mencapai US$ 16,9 miliar dengan serapan tenaga kerja hampir 200 ribu orang. 

Kawasan ekonomi khusus (KEK) itu akan mengembangkan bisnis industri metal, elektronik, kimia, energi, dan logistik. Hasil produksinya akan memberikan kontribusi ekspor US$ 10,1 miliar per tahun ketika produk industri metal dan kimia beroperasi penuh. Salah satu proyek yang akan mendorong ekspor tersebut adalah smelter tembaga.

Kementerian ESDM tampaknya sepakat dengan Kemenko Perekonomian. Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Sugeng Mujiyanto beberapa waktu lalu mengatakan pihaknya memastikan pembangunan smelter masih tetap sesuai rencana awal. "Sejauh ini ke JIIPE, masih komunikasi," katanya.

Di Gresik sebenarnya sudah ada PT Smelting yang melakukan proses pengolahan dan permunian tembaga. Pemegang saham pabrik yang berdiri sejak 1996 ini adalah 60,5% Mitsubishi Materials, 25% Freeport indonesia, 9,5% Mitsubishi Coorporation RtM, dan 5% JX Nippon Mining & Metals. 

Tahun lalu, Smelting berencana melakukan peningkatan kapasitas produksinya dari 1 juta menjadi 1,3 juta dry metrik ton per tahun. Di pabrik tersebut, Freeport memurnikan 40% produksi tembaganya yang berasal dari tambang Grasberg.

Executive Vice President and Chief Financial Officer Freeport McMoran Kathleen Quirk menghitung biaya membangun smelter sangat besar ketimbang perluasan pabrik yang sudah ada. Untuk pabrik baru investasinya mencapai US$ 3 miliar. “Untuk perluasan smelter sekitar US$ 250 juta,” ucapnya ketika itu. 

Namun, pembangunan smelter baru merupakan komitmen Freeport usai pemerintah memberikan IUPK di 2018. Hal ini pun sesuai dengan amanat Undang-Undang Minerba. Perusahaan tambang wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Jadi, Freeport tampaknya tidak dapat berbalik arah dari rencana tersebut. 

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mendesak pemerintah segera menentukan lokasi smelter tembaga Freeport. Kondisi sekarang telah membuat semakin molornya penyelesaian pabrik pemurnia ntersebut.

Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli mengatakan hal tersebut akan membuka celah ekspor konsentrat. "Karena tidak tertampung di dalam negeri," ujar dia kemarin. 

Kementerian ESDM telah memberikan relaksasi berupa rekomendasi ekspor mineral logam pada tahun ini. Freeport membayar bea ekspor sebesar 5% dari nilai konsentrat, berkurang dari 7,5% pada 2015, karena sudah mulai membangun smelter.

Semua pihak yang terlibat, menurut Rizal, perlu duduk bersama untuk berdiskusi dan mencari solusi. Pemerintah dapat memberikan kemudahan berinvestasi agar pengerjaannya berjalan cepat, khususnya soal perizinan.

Reporter: Verda Nano Setiawan