Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Meroket 7%, Seberapa Kuat Pemulihannya?

Leo Lintang/123rf
Ilustrasi. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 melesat 7,07% secara tahunan.
Penulis: Agustiyanti
6/8/2021, 20.55 WIB
  • Pertumbuhan ekonomi kuartal II melesat 7,07% yoy sehingga Indonesia berhasil keluar dari resesi
  • Ekonomi paruh kedua tahun ini berpotensi melambat akibat penerapan PPKM level 4.
  • Pemerintah memproyeksi ekonomi tumbuh 5,7% pada kuartal III jika kasus Covid-19 terkendali.

Kabar baik datang dari laporan produk domestik bruto yang dirilis Badan Pusat Statistik kemarin (5/8). Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 melesat 7,07% year on year, tertinggi sejak akhir 2004 dan berhasil membawa Indonesia keluar dari resesi ekonomi. Namun, apakah ekonomi benar-benar pulih?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua menunjukkan strategi pemerintah dan arah pemulihan ekonomi yang sudah benar. Tren pemulihan ekonomi terjadi sejak kuartal ketiga tahun lalu meski kontraksi ekonomi masih berlanjut hingga kuartal I 2021. 

“Selain efek ekonomi yang negatif 5,3% pada tahun lalu, ada faktor-faktor lain yang menunjang arah pemulihan dan kuatnya ekonomi pada kuartal II," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Jumat (6/8).

Ia menyebut, momentum Lebaran dan Ramadhan pada April dan Mei menjadi salah satu faktor pendukung ekonomi kuartal kedua. Pemerintah juga mengucurkan beragam bantuan sosial dan membayarkan THR dan gaji ke-13 kepada PNS. 

Konsumsi rumah tangga yang terkontraksi sejak kuartal kedua tahun lalu pun berhasil tumbuh mencapai 5,36% yoy pada kuartal kedua tahun ini. Kondisi ini juga mendorong kinerja inventasi lebih baik yakni tumbuh 7,54%. Kedua komponen ini menyumbang 85% produk domestik bruto pada April-Juni. 

 

 

Selain itu, menurut Sri Mulyani, ada andil perbaikan ekonomi global yang mendorong kinerja ekspor dan impor. Ekonomi negara-nagara mitra dagang Indonesia pulih pada kuartal kedua. Tiongkok tumbuh 7,9%, Amerika Serikat 12,2%, Singapura 14,3%, Korea Selatan tumbuh 5,9%. Alhasil, komponen ekspor dan impor dalam PDB berhasil tumbuh masing-masing 31,78% dan 31,22%. 

BPS juga mencatat komponen pengeluaran pembentuk PDB lainnya, yakni konsumsi pemerintah dan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani melayani Masyarakat (LNPRT) juga tumbuh masing-masing  8,06% dan 4,12%. 

Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferansı pers kemarin (5/8) menjelaskan, kinerja ekonomi kuartal II 2020 yang negatif 5,32% memberikan andil besar terhadap melesatnya pertumbuhan ekonomi April-Juni 2021. Hal serupa terjadi di banyak negara, salah satunya Singapura yang tumbuh 14,3% setelah terkontraksi 13,2% pada kuartal II tahun lalu.

“Karena ekonomi turun dalam pada kuartal kedua tahun lalu, maka pada kuartal kedua tahun ini pertumbuhannya cukup tinggi,” ujar Margo dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi, Kamis (5/8).

Namun, menurut dia, ekonomi kuartal II  sebenarnya belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Hal ini terindikasi dari masih rendahnya pertumbuhan ekonomi secara kuartalan yang  tumbuh 3,31%. Angka  ini berada di bawah rata-rata pertumbuhan kuartal II dalam lima tahun terakhir yang selalu berada di atas 4%.

Ekonom Chatib Basri pada Maret lalu mengingatkan, agar berhati-hati dalam membaca data pertumbuhan ekonomi kuartal II yang kemungkinan melesat karena terkontraksi dalam tahun lalu. Menurut Chatib, lebih baik melihat angka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tahun.

Mantan Menteri Keuangan era SBY ini juga mengingatkan  jika ekonomi tumbuh 5% secara tahunan pada 2021, maka pertumbuhannya hanya mencapai 3% dibandingkan sebelum pandemi. "Ini karena dasarnya tahun lalu minus 2%. Harus dilihat secara seimbang," katanya.

Chatib menilai, ekonomi Indonesia tidak akan dapat beroperasi 100% selama pandemi masih berlangsung. Jika dalam lima tahun terakhir perekonomian Indonesia tumbuh 5%, maka ekonomi hanya mampu tumbuh maksimal 4% selama pandemi. Proyeksi ini dengan asumsi perekonomian hanya dapat berjalan 80%.

Pemulihan Ekonomi Tertahan PPKM

Pemerintah semula memperkirakan ekonomi pada tahun ini dapat tumbuh 5%. Namun, lonjakan kasus Covid-19 dan penerapan PPKM darurat yang berlanjut menjadi PPKM level 4 membuat Sri Mulyani memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 3,7% hingga 4,5%. 

IMF dalam laporan terbarunya akhir bulan lalu bahkan memperkirakan ekonomi Indonesia  bersama India menjadi yang paling menderita di antara negara G20 pada tahun ini akibat lonjakan kasus Covid-19.  "Negara tertinggal dalam vaksinasi seperti India dan Indonesia, akan paling menderita di antara ekonomi G20." tulis dalam laporan IMF bertajuk World Economic Outlook edisi Juli 2021 yang dikutip Rabu, (28/7).

Menurut IMF, tingkat vaksinasi negara-negara ekonomi berkembang, termasuk Indonesia dan India baru mencapai 10%. Angka ini jauh dibandingkan negara ekonomi maju  yang mencapai 40% maupun global sebesar 12%. 

Kantor Ekonomi Bank Mandiri melihat, tren pemulihan ekonomi berkaitan erat dengan tingkat mobilitas masyarakat. Pembatasan aktivitas masyarakat pada kuartal II tahun lalu menyebabkan kontraksi PDB yang cukup besar. PDB kemudian dapat berangsur-angsur pulih setelah pelonggaran pembatasan . 

Namun, lonjakan kasus Covid-19 membuat pemerintah terpaksa memberlakukan kembali pembatasan aktivitas masyarakat. “Hal ini tentu berisiko akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi kuartal III 2021,” demikian tertulis dalam riset Kantor Ekonomi Bank Mandiri.

Kantor Ekonomi Bank Mandiri pun merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 dari semula 4,43% menjadi 3,69%. Meskipun demikian, menurut riset tersebut, masih terdapat beberapa faktor positif yang mampu mendorong perekonomian Indonesia. Beberapa di antaranya, yakni proses vaksinasi yang semakin cepat, pemulihan ekonomi global yang lebih cepat, dan tingkat inflasi  rendah yang mampu menjaga daya beli masyarakat.

Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual memproyeksikan ekonomi Indonesia akan mengarah ke level 3% yoy pada kuartal III 2021, lebih rendah daripada perkiraan semula yang mencapai sekitar 4%. David menilai, konsumsi masih akan tumbuh baik di kuartal III tahun ini meskipun tidak sekencang di kuartal sebelumnya. 

Namun, ia menekankan, penurunan aktivitas belanja masyarakat selama PPKM tidak akan sebesar pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret hingga April tahun lalu. “Kelihatannya terpengaruh oleh perubahan perilaku. Masyarakat sudah terbiasa berbelanja online,” ujar David.

Selain konsumsi, David menilai ekspor masih bisa diandalkan terutama karena kenaikan harga komoditas dan membaiknya perekonomian global.  Menurut David, kenaikan harga komoditas tidak hanya akan meningkatkan ekspor tetapi juga menambah daya beli masyarakat, terutama di wilayah-wilayah yang menggantungkan perekonomiannya pada komoditas.

“Berbeda dengan tahun lalu, ekspor dan harga komoditas turun,” katanya.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan menerapkan langkah antisipasif untuk menahan perlambatan ekonomi yang berpotensi terjadi pada dua kuartal mendatang. Langkah yang diambil dan sudah dilakukan, meliputi peningkatan anggaran untuk klaster kesehatan, perlindungan sosial, dan bantuan usaha dalam program PEN.

Bendahara negara juga mengatakan kebutuhan anggaran untuk memperkuat  prorgam tersebut dilakukan melalui realokasi dan refocusing anggaran. "Kami melakukan refocusing empat kali anggaran dan mengalokasikannya untuk anggaran paling prioritas yaitu kesehatan, perlindungan sosial dan bantuan usaha. Kami meminta kementerian dan lembaga (K/L) untuk menahan belanja yang memang tidak prioritas." ujarnya. 

Langkah-langkah tersebut diharapkan akan mendorong berlanjutnya tren pemulihan ekonomi pada kuartal II. Sri Mulyani memperkirakan ekonomi pada kuartal III masih berpotensi tumbuh 4% hingga 5,7%, sedangkan kuartal IV berpotensi tumbuh 4,6% hingga 5,9%. Namun, proyeksi tersebut bergantung pada penanganan pandemi.