Sulit Mengulang Surplus Jumbo Neraca Perdagangan karena Cina

123RF.com/Cheangchai Noojuntuk
Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor pada sepanjang tahun lalu mencapai US$ 231,54 miliar, naik 41,8% dibandingkan 2020 sebesar US$ 163,1 miliar dan melampaui rekor pada 2011 sebesar US$ 203,6 miliar.
Penulis: Agustiyanti
19/1/2022, 12.24 WIB
  • Surplus neraca perdagangan pada 2021 menembus US$ 35 miliar seiring ekspor yang mencetak rekor tertinggi. 
  • Kinerja ekspor mulai menurun, sedangkan impor meningkat pada Desember 2021.
  • Perlambatan ekonomi Cina dan pemulihan ekonomi domestik akan membuat surplus neraca perdagangan menyusut pada tahun ini.

    Indonesia mendapat 'durian runtuh' di tengah pandemi Covid-19 yang hingga kini belum menemui ujungnya. Booming harga komoditas akibat krisis energi mendorong kinerja ekspor mampu mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada tahun lalu. 

Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor sepanjang 2021 mencapai US$ 231,54 miliar, naik 41,8% dibandingkan 2020 sebesar US$ 163,1 miliar. Capaian ini juga melampaui rekor pada 2011 sebesar US$ 203,6 miliar. 

Kinerja impor juga cukup menggembirakan, naik 38,59% dari US$ 141,57 miliar pada 2020 menjadi US$ 196,2 miliar pada 2021. Surplus neraca perdagangan pun berhasil mencatatkan rekor tertinggi dalam 15 tahun terakhir mencapai US$ 35 miliar. 

Sebelum pandemi, kinerja ekspor sudah tertekan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Ekspor pada 2019 pun turun dari US$ 180 miliar pada 2018 menjadi US$ 167,53 miliar. Indonesia pun mengalami defisit perdagangan besar pada 2018 dan 2018 mencapai lebih dari US$ 12 miliar. 

Kinerja ekspor pun kian terpukul pada awal pandemi merebak. Namun demikian, kondisi Ini hanya berlangsung sementara.

Pada semester kedua 2020, kinerja ekspor justru berbalik. Ini terjadi seiring pemulihan ekonomi Cina yang dimulai pada kuartal kedua 2020 saat dunia justru berjibaku menghadapi puncak kasus gelombang pertama. Pemulihan ekonomi Cina mendorong kenaikan harga komoditas. 

Harga komoditas semakin tinggi seiring pemulihan ekonomi di lebih banyak negara dan mulai terjadinya krisis energi.  Harga batu bara dunia meroket 85,63% sepanjang tahun lalu dan ditutup di US$ 151,7 per ton. Harga komoditas andalan Indonesia ini bahkan sempat berada di atas US$ 200/ton sebelum melandai memasuki akhir tahun.

Lonjakan harga juga terjadi pada kenaikan harga komoditas lainnya. Harga timah melesat 92%, nikel 24%, CPO 38,97%, dan minyak mentah 53,54%. 

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, rekor surplus neraca perdagangan Indonesia yang mencapai US$ 35 miliar terutama didorong oleh kinerja perdagangan dengan Cina. Nilai perdagangan kedua negara pada tahun lalu mencapai US$ 110 miliar. 

“Meskipun masih terjadi defisit US$ 2,45 miliar dolar AS, defisit tersebut merupakan yang terendah sejak ditandatanganinya ASEAN-China Free Trade Agreement pada 2007,” ujar Lutfi pada Selasa (18/1) dikutip dari Antara. 

Defisit perdagangan antara Indonesia dengan Cina turun dibandingkan tahun 2020 yang mencapai US$ 7,8 miliar. Ini melanjutkan tren penurunan sejak 2019 yang bahkan mencatatkan defisit mencapai US$ 16,9 miliar. 

BPS mencatat, ekspor nonmigas terutama disumbang oleh komoditas bahan bakar mineral dengan kontribusi mencapai 14,98% atau US$ 32,84 miliar, serta lemak dan minyak hewan nabati mencapai 14,97% atau US$ 32,82 miliar. Kedua jenis barang ini paling banyak diekspor ke Cina. 

Selain itu, Cina juga banyak mengimpor besi dan baja dari Indonesia. Ekspor komoditas ini ke Cina naik 69,83% menjadi US$ 10,07 miliar. 

Setelah Cina, Indonesia mencatatkan perdagangan terbesar kedua dengan Amerika Serikat sebesar US$ 37,07 miliar.  Meski nilainya tak sampai sepertiga perdagangan Indonesia dengan Cina, Indonesia berhasil mencatatkan surplus dari AS mencapai US$ 14,52 miliar. Adapun ekspor ke AS pada tahun lalu mencapai US$ 25,77, sedangkan impor dari AS mencapai US$ 11,25 miliar dolar AS.

Efek Besar Perlambatan Cina

Berkah surplus besar neraca perdagangan tahun lalu tampaknya sulit terulang pada tahun ini. Ekonomi Cina yang menjadi tumpuan ekspor Indonesia menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang signifikan. 

Mengutip CNBC, ekonomi Cina berhasil tumbuh 8,1% sepanjang 2021, tetapi bergerak melambat menuju akhir tahun. Produk domestik bruto (PDB) Cina pada kuartal keempat tahun lalu hanya tumbuh 4% dibandingkan periode yang sama 2020. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,9%year on year dan kuartal II 2020 yang tumbuh 7,9% yoy. 

Kinerja manufaktur Cina masih mencatatkan pertumbuhan, sementara konsumsi rumah tangga mulai melambat seiring kebijakan lockdown di beberapa kota untuk mencegah penularan Covid-19. Pemerintah Cina masih berupaya mengejar nol kasus Covid-19, berbeda dengan banyak negara yang sudah mulai berdamai dengan Covid-19 sehingga menerapkan kebijakan pembatasan yang lebih longgar. 

Tak heran, kinerja ekspor mulai mengalami tren penurunan pada Desember. Penurunan ekspor terutama terjadi untuk tujuan Cina sebesar US$ 310,4 juta. Sebaliknya, impor pada bulan lalu justru mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah dan naik 10% dibandingkan bulan sebelumnya. 

 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, potensi perlambatan ekonomi Cina akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia tahun ini. IMF dan Bank Dunia sama-sama memproyeksikan bahwa ekonomi Cina cenderung melambat pada tahun ini sehingga berpotensi mempengaruhi volume permintaan komoditas ekspor Indonesia.

IMF memperkirakan ekonomi Cina hanya akan tumbuh 5,6% pada tahun ini. Bank Dunia bahkan lebih pesimistis lagi dan meramal ekonomi Cina hanya akan tumbuh 5,1%. 

"Perlambatan aktivitas ekonomi Tiongkok juga diperkirakan akan mempengaruhi tren harga komoditas global mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang memiliki korelasi tinggi terhadap harga komoditas global, seperti minyak mentah, CPO dan batu bara," ujar Josua kepada Katadata.co.id. 

Selain itu, menurut dia, komponen harga komoditas ekspor yang merupakan komponen lain selain volume ekspor, juga diperkirakan mengalami proses normalisasi seiring mulai normalnya rantai pasokan global. Rencana normalisasi kebijakan moneter AS tahun 2022 juga akan turut mempengaruhi harga komoditas global. Kenaikan suku bunga acuan AS yang berpotensi mendorong penguatan dolar AS yang memiliki hubungan terbalik dengan harga komoditas ekspor.

"Tantangan ekspor Indonesia akan datang dari perlambatan ekonomi Tiongkok, potensi penguatan dolar AS yang berimplikasi pada potensi penurunan harga komoditas global," ujar dia.

Oleh sebab itu, menurut Josua, pemerintah tetap perlu mendorong hilirisasi komoditas ekspor, yakni CPO dan batu bara sehingga kinerja ekspor tidak selalu bergantung pada kondisi global, terutama harga komoditas mentah di pasar internasional. Saat ini, Indonesia masih menjadi pengekspor komoditas mentah dengan nilai tambah yang tidak tinggi.

Kepala Ekonom BCA David Sumual juga memperkirakan kinerja ekspor pada tahun ini tak akan sebagus tahun lalu terutama karena perlambatan ekonomi Cina. Ia meramal ekspor tahun ini tak akan mencapai US$ 200 miliar. 

Sementara itu, menurut David, impor kemungkinan akan mulai meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi domestik. Meski demikian, ia masih optimistis neraca perdagangan pada tahun ini masih akan mencetak surplus meski tak sebesar tahun lalu. 

"Surplus neraca perdagangan mungkin mencapai sekitar US$ 20 miliar, sedangkan ekspor kemungkinan di bawah US$ 200 miliar," ujar David. 

Meski dukungan dari kinerja perdagangan internasional akan menurun pada tahun ini, David memperkirakan ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh di atas 5% pada tahun ini sesuai target pemerintah. Namun, ia memberikan catatan, proyeksi ini mungkin akan tercapai jika tidak ada kondisi khusus seperti lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta pada tahun lalu.

"Pertumbuhan ekonomi akan ditopang konsumsi rumah tangga. Investasi juga diharapkan mulai meningkat setelah hampir dua tahun bisa dikatakan puasa," kata David.