Prospek Tinggi Harga CPO dan Dampaknya ke Minyak Goreng

123rf.com/asnida marwani
Ilustrasi lahan kelapa sawit, CPO
31/1/2022, 20.08 WIB
  • Harga crude palm oil (CPO) global terus meroket sepanjang tahun hingga menyentuh level tertinggi di Rp 21.340 per kilogram pada Oktober 2021 di pasar spot Medan.
  • Gapki menyebut nilai ekspor CPO Indonesia melonjak signifikan dari US$ 22,9 miliar di 2020 menjadi US$ 35 miliar di 2021, meskipun pasokan ekspor cenderung stabil. 
  • Harga CPO diprediksi tetap tinggi di 2021 yang akan berdampak besar terhadap harga minyak goreng di pasar domestik.

Nurul Huda (51) tergopoh-gopoh mendatangi salah satu ritel modern di Kota Depok pada Minggu (30/1). Ia mendengar kabar toko ritel itu menjual minyak goreng dengan harga Rp 28.000 per dua liter. Namun, harapannya pupus. Tidak ada satupun kemasan minyak goreng tersisa. 

Kepada Nurul Huda, kasir swalayan bercerita pihaknya menyuplai 1.000 kemasan minyak goreng ukuran dua liter. Hanya dalam hitungan jam, pasokan itu langsung habis terjual. Padahal, pihak swalayan sudah membatasi setiap orang hanya orang hanya boleh membeli satu kemasan saja. 

“Terpaksa akhirnya beli di warung dengan harga Rp 22.000 per liter,” keluhnya.

Kondisi semacam itu juga terjadi di banyak swalayan di berbagai daerah. Stok minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter seperti yang dijanjikan pemerintah justru kian langka. Satu-satunya pilihan adalah membeli di warung kelontong dengan harga selangit. 

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengakui pasokan minyak goreng saat ini jauh dari kata aman. Aprindo yang menaungi lebih dari 47.000 toko ritel itu membutuhkan sekitar 20 juta liter minyak goreng setiap bulannya. Pada hari-hari besar keagamaan, angka ini melonjak hingga 25 juta liter.

“Sementara pasokan yang kami dapatkan saat ini cuma 1 juta liter saja,” ujarnya saat dihubungi Katadata, Senin (31/1).

Roy menuturkan Aprindo yang terdiri dari 600 anggota sejatinya sanggup menyerap berapapun pasokan minyak goreng. Namun, kondisi saat ini justru tidak ada stok yang tersedia. Kelangkaan minyak goreng menurutnya, juga dipicu oleh panic buying para konsumen. 

minyak (Katadata/Maesaroh)
 

Kisruh soal pasokan dan harga minyak goreng ini membuat DPR turun tangan. Hari ini, Senin (31/1), Komisi VI DPR memanggil Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi. Di hadapan anggota legislatif, Lutfi menjelaskan kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh meroketnya harga crude palm oil (CPO). Hingga Januari 2022, harga rata-rata CPO global sudah mencapai Rp 13.244 per kilogram. 

“Harga itu lebih tinggi 77% dibandingkan dengan harga pada Januari 2021,” ujarnya. 

Guna mengatasi hal tersebut, Lutfi mengatakan pihaknya telah mengeluarkan seperangkat regulasi melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Ini misalnya Permendag nomor 1/2022 untuk mendistribusikan minyak goreng melalui skema pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kemudian ada Permendag nomor 3/2022 tentang penetapan minyak goreng satu harga sebesar Rp 14.000 per liter. Minyak goreng satu harga inilah yang sempat beredar di pasaran tetapi saat ini mulai sukar ditemukan.

Pada 26 Januari 2022, Mendag kembali menerbitkan beleid untuk mengatur penetapan harga eceran tertinggi (HET). Minyak goreng curah dipatok Rp 11.500, sedangkan minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000. Lewat kebijakan ini, aturan soal minyak goreng satu harga pun dihapus. 

“Aturan ini mulai berlaku pada 1 Februari 2022,” 

Lutfi menambahkan untuk memastikan pasokan CPO untuk kebutuhan lokal, Mendag menetapkan kewajiban kepada produsen untuk mengalokasikan 20% volume ekspor untuk. Kebijakan ini serupa dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara yang juga ditetapkan sebesar 20%. Pemerintah juga akan mematok harga CPO domestik sebesar Rp 9.300 per kilogram dan Rp 10.300 untuk olein.

“Kebutuhan minyak goreng di tahun 2022 mencapai 5,7 juta kiloliter,” kata Mendag Lutfi. 

Menanggapi komitmen pemerintah soal stok minyak goreng, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) justru pesimistis. Wakil Ketua Umum APPSI Ngadiran mengatakan belum ada kejelasan soal jaminan stok minyak goreng dengan HET yang sudah ditetapkan pemerintah. 

“Kalau barangnya [minyak goreng HET] ada itu ada di mana? Gimana dapatnya,” kata Ngadiran saat dihubungi Katadata, Senin (31/1).

Ngadiran mengatakan saat ini pedagang di pasar tradisional masih menjual minyak goreng dengan sekitar Rp 22 ribu per liter karena masih menunggu stok yang dijanjikan pemerintah. “Ada yang bilang pedagang diminta meretur minyak goreng ke agen agar bisa dapat yang lebih murah. Tapi agen kan belum tentu mau,” ujarnya.

Ngadiran memperkirakan kebutuhan minyak goreng untuk pasar tradisional mencapai sekitar 3,7 juta liter per hari. Ini dengan asumsi kasar terdapat 16.235 pasar di Indonesia dengan rata-rata 20 pedagang di setiap pasar. Jika rata-rata satu pedagang biasa menjual 100 liter minyak goreng per hari, maka kebutuhan minyak goreng di pasar tradisional bisa tembus 100 juta liter setiap bulannya. 

“Sementara pasokan saat ini tinggal sisa-sisa saja,” kata Ngadiran. 

minyak goreng (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.)
 

 

Harga CPO Akan Tetap Tinggi

Kenaikan harga CPO yang menjadi biang kerok kisruh soal pasokan dan harga minyak goreng diperkirakan masih akan berlanjut. Tren kenaikan harga CPO ini dimulai sejak akhir tahun 2019. Minyak sawit spot Medan sempat menyentuh level sekitar Rp 5.720 di pertengahan Juli 2019, sebelum akhirnya terus meroket. Pada 7 Januari 2020, CPO spot Medan sudah mencapai Rp 11.600 lantas kemudian anjlok ke level Rp 6.000-an pada Mei 2020. 

Sejak Mei 2020 itulah harga CPO berulang kali menyentuh level tertingginya. Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kemendag, harga minyak sawit di pasar spot Medan ditutup di level Rp 20.051,52 per kilogram pada perdagangan 31 Desember 2021. Harga tersebut naik 38,97% dibanding posisi akhir 2020 yang berada di Rp 14.428,23 per kg.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut produksi CPO pada 2021 mencapai 46,89 juta ton atau lebih rendah 0,31% dibandingkan dengan capaian di 2020 sebanyak 47 juta ton. Adapun angka ekspor CPO dan turunannya mencapai 34,2 juta ton di 2021. Angka ini cuma naik tipis dari realisasi ekspor 2020 yang mencapai 34 juta ton.

Kendati tidak banyak perubahan dari sisi angka ekspor, nilainya justru membengkak. Gapki memperkirakan ekspor CPO mencapai US$ 35 miliar atau naik 52% dari nilai di 2020 sebesar US$ 22,9 miliar. 

“Kenaikan nilai ekspor yang tinggi didukung oleh harga rata-rata 2021 yang mencapai US$ 1.194 per ton atau 67% lebih tinggi dibanding harga rata-rata 2020 sebesar US$ 715,” tulis Gapki dalam keterangan resmi, Minggu (30/1).

Wakil Ketua Gapki Togar Sitanggang memperkirakan harga CPO akan tetap tinggi sepanjang 2022. Ia memprediksi harga CPO dunia bisa di atas US$ 1.000 per ton, meskipun tetap ada potensi penurunan dibandingkan dengan harga di 2021.

Foto Industri Kelapa Sawit di Riau (Arief Kamaludin|Katadata)
 

“Jika harga tinggi maka produk turunannya juga bisa tinggi. Emak-emak harus siap-siap harga minyak goreng tinggi,” ujar Togar dalam diskusi daring akhir Desember silam.

Sementara itu, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengatakan aturan kewajiban pasar domestik (DMO) dan kewajiban harga domestik (DPO) hanya bisa berjalan dengan subsidi. GIMNI mengusulkan BPDPKS mensubsidi 75% dari selisih antara harga pasar CPO dengan kewajiban harga domestik (DPO) Rp 9.300 per kg. 

"Konsep Permendag Nomor 5 Tahun 2022 seharusnya ada peran BPDPKS. Jangan dibiarkan kena ke petani. Yang pendapatannya berkurang itu seharusnya hanya industri CPO karena mereka juga menikmati harga tinggi," ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga kepada Katadata.co.id, Senin (31/1). 

Reporter: Andi M. Arief