Yusuf Mansur mematok target ambisius ketika memperkenalkan Paytren Aset Manajemen (PAM) pada akhir 2017 silam. Ini adalah manajer investasi berbasis syariah pertama di Indonesia. Kala itu PAM meluncurkan dua produk reksa dana sekaligus;  PAM Syariah Likuid Dana Safa yang berbasis pasar uang dan PAM Syariah Saham Dana Falah.

Ketika Yusuf Mansur mulai memantapkan diri di bisnis manajer investasi (MI), reksa dana syariah masih dipandang sebelah mata. Total dana kelolaan reksa dana syariah di akhir 2017 cuma Rp 28,31 triliun, atau 6,19% dari total dana kelolaan reksa dana. Jumlah unitnya pun tidak banyak. Hanya 182 unit dari total 1.595 unit total reksa dana. 

Kendati demikian, Yusuf Mansur yang juga tenar sebagai pemuka agama ini tidak ragu menargetkan dana kelolaan jumbo. Kala itu, manajemen PAM berharap bisa mengelola hingga Rp 1 triliun di 2018. Rinciannya, sebanyak Rp 500 miliar berasal dari investor ritel sedangkan sisanya dari investor institusi.

Lima tahun kemudian, target ambisius ini tidak pernah benar-benar terealisasi. Sebaliknya, Yusuf justru merasakan sendiri bagaimana sulitnya menjadi manajer investasi. Kabar buruk terus menghantui Paytren Aset Manajemen. Pada Februari 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melikuidasi dua produk PAM sekaligus; RDS Daqu dan RDS Falah. Alasannya, kedua produk ini gagal memenuhi ambang batas dana kelolaan yang ditetapkan regulator. 

Ketentuan ini diatur dalam POJK nomor 23 tahun 2016 tentang Reksadana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Beleid itu menyebutkan jika dana kelolaan reksa dana kurang dari Rp 10 miliar dalam kurun waktu 120 hari, maka regulator berhak membubarkan reksa dana tersebut. 

Setelah dua produknya dilikuidasi, PAM kini hanya memiliki satu produk reksa dana Safa yang berbasis pasar uang. Namun, kondisinya pun memprihatinkan. Dana kelolaannya anjlok dari Rp 13 miliar pada Desember 2021 menjadi Rp 2,9 miliar pada Januari 2022. Bahkan di Februari 2022, total dana kelolaannya hanya Rp 1,6 miliar.

Yusuf Mansur yang menggenggam saham mayoritas di Paytren Aset Management sepertinya mulai menyerah di bisnis ini. Manajemen mengumumkan akan melego 100% saham pengendali ke pihak ketiga. 

Direktur Utama PAM Ayu Widuri mengatakan sudah ada calon pembeli yang berminat mengakuisisi keseluruhan saham di Paytren. Ia menargetkan proses akuisisi ini akan selesai pada semester I 2022. 

“Kami ingin mendapatkan partner strategis untuk pengembangan Paytren Aset Management,” kata Ayu kepada Katadata.

Yusuf Mansur saat meluncurkan fitur PayOr di Bursa Efek Indonesia, 5 Juni 2018. (Katadata/Desy Setyowati)
 

Tantangan Manajer Investasi Syariah

Menilik kembali perjalanan PAM selama lima tahun terakhir, target dana kelolaan Rp 1 triliun yang digemborkan Yusuf Mansur jauh panggang dari api. Kala itu, manajemen berencana mengintegrasikan para anggota kanal pembayaran digital Paytren (PT Veritra Sentosa Internasional) untuk berinvestasi di reksa dana.

Dirut PAM Ayu Widuri sempat mengatakan Paytren punya sekitar 1,7 juta anggota. “Kalau 500.000 di antaranya investasi Rp 1 juta di reksa dana, paling tidak target dana kelolaan Rp 500 miliar itu bisa tercapai,” katanya saat itu.

Faktanya, mendorong anggota Paytren untuk menjajal produk reksa dana terbukti bukan perkara mudah. Dana kelolaan perusahaan cuma bisa merangkak perlahan dari waktu ke waktu. Manajemen PAM bukan tanpa upaya untuk mengejar target dana kelolaan Rp 1 triliun. Pada Juni 2018, manajemen meluncurkan Paytren Online Reksadana (PayOR). 

Sistem ini diciptakan untuk memudahkan calon investor ritel membeli produk reksa dana perusahaan. Fitur ini menawarkan akses cepat untuk memproses data demi mendapatkan Single Investor Identification Number (SID) dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). 

Saat peluncuran PayOR, Komisaris PAM Yusuf Mansur menargetkan pertumbuhan dana Paytren Payment Gateway mencapai Rp 30 triliun dengan 10 juta anggota. “Kalau 10% di antaranya masuk ke reksa dana, tahun ini kita bisa dapat dana kelolaan Rp 3 triliun,” kata Yusuf Mansur. 

Fitur PayOR memang mengakselerasi minat investor ke produk PAM. Hanya dalam waktu satu tahun dana kelolaan perusahaan melonjak dari Rp 5 miliar pada Juli 2018 menjadi Rp 31,4 miliar pada Juli 2019. Namun, target triliunan PAM tidak pernah terealisasi. Mengutip data Bareksa, rekor dana kelolaan tertinggi yang pernah dikumpulkan Paytren terjadi pada Oktober 2019. Itupun hanya Rp 33,9 miliar. 

Setelah itu, dana kelolaan PAM terus merosot. Sampai puncaknya, Paytren harus merelakan dua produk reksa dana milikinya dilikuidasi OJK karena kekurangan peminat pada Februari 2020. Praktis sejak itu, Paytren cuma bisa mengandalkan satu produknya yakni RDS Safa yang berbasis pasar uang.

Ketika OJK melikuidasi dua produk Paytren, reksa dana syariah di indonesia sejatinya sedang dalam tren bagus. Total dana kelolaan mencapai Rp 53 triliun di akhir 2019, melonjak signifikan dari Rp 34 triliun di 2018. Tren positif ini terus berlanjut. Di penghujung 2020, total dana kelolaan reksa dana syariah sudah mencapai Rp 74 triliun. 

Lantas mengapa Paytren gagal memanfaatkan momentum kenaikan reksa dana syariah di Indonesia? Menurut Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana, secara natural Manajer Investasi (MI) syariah punya tantangan besar karena harus merilis produk yang spesifik. 

Fund manager di MI Syariah harus bisa meracik produk yang bagus dengan opsi investasi yang terbatas,” ujarnya ketika dihubungi Katadata.

Wawan mencontohkan untuk reksa dana pasar uang berbasis syariah harus menempatkan produknya di sukuk. Padahal, penerbitan sukuk di Indonesia masih sangat terbatas.  “Sukuk itu selalu jadi rebutan bank syariah, asuransi syariah, atau dana pensiun syariah,” katanya.

Wawan menilai reksa dana syariah berbasis saham sebenarnya lebih prospektif karena ada aneka jenis produk. Namun, ini pun masih terkendala faktor pertumbuhan. Menurutnya, pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih ditopang oleh industri keuangan. Padahal, tidak banyak keuangan syariah yang berkinerja moncer di bursa saham. 

Sementara itu, faktor reputasi juga menjadi pertimbangan para calon investor. Wawan menyebut gugatan yang diterima sejumlah pihak kepada Yusuf Mansur mau tidak mau ikut mempengaruhi persepsi publik. 

Sebagai gambaran, Yusuf Mansur menerima dua gugatan masing-masing pada Desember 2021 dan Januari 2022. Gugatan pertama dilayangkan di Pengadilan Negeri Tangerang terkait kasus investasi hotel dan apartemen dengan nilai gugatan Rp 785 juta. Adapun gugatan lain terkait dengan investasi batu bara dengan nilai Rp 97 triliun. 

Ketika dihubungi Katadata, Direktur Utama PAM Ayu Widuri berdalih pandemi yang membuat kinerja PAM mengecewakan. Menurutnya, pemasaran belum optimal karena terkendala pandemi Covid-19. “Selain itu ada kebutuhan likuiditas dari investor yang ada di reksa dana pasar uang syariah kita,” kata Ayu kepada Katadata. 

Sumber Katadata menyebut faktor utama yang mengganjal Yusuf Mansur di bisnis MI adalah kegagalan mengonversi member Paytren menjadi investor reksa dana. Jutaan anggota yang sedianya menjadi captive market produk PAM justru tidak banyak berkontribusi. 

Salah satu member Paytren yang dihubungi Katadata mengaku tidak ikut euforia reksa dana PAM karena sesederhana tidak punya minat. “Saya kurang tertarik saja dengan reksa dana,” katanya kepada Katadata.

Setelah lima tahun berkutat dengan bisnis manajer investasi, Yusuf Mansur akhirnya menyerah juga. Ia berencana melepas seluruh kepemilikan sahamnya kepada pihak ketiga. Menurut Wawan Hendrayana, penjualan 100% saham manajer investasi memang bukan perkara baru. Apalagi akhir tahun lalu OJK sudah melakukan moratorium penerbitan izin baru MI. Ia berpendapat akusisi akhirnya menjadi praktik yang lazim bagi pihak-pihak yang ingin terjun ke bisnis ini. 

“Kalau kita lihat perkembangan reksa dana di Indonesia, potensi bisnis MI memang masih sangat menarik,” kata Wawan.

Prospek Reksa Dana Syariah

Setelah satu dekade membukukan kinerja positif, reksa dana syariah akhirnya dihantam badai pada 2021. Salah satu investor kakap reksa dana syariah yakni Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menarik sebagian besar investasinya di instrumen ini. Sebelumnya, BPKH mengoleksi total hampir Rp 38 triliun di reksa dana syariah dengan perincian Rp 35 triliun di reksa dana terproteksi dan Rp 2,05 triliun di reksa dana pasar uang. 

Sejak pertengahan tahun lalu, BPKH menarik investasinya di reksa dana dan hanya menyisakan Rp 114 miliar di reksa dana pasar uang syariah. Alasan utama penarikan ini adalah kebebasan pajak yang dinikmati BPKH seiring dengan penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja. 

Pengecualian pajak BPKH tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 tahun 2021. Dalam beleid itu tertulis, pengecualian pajak BPKH dikenakan pada imbal hasil dari giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah serta surat berharga syariah yang diterbitkan Bank Indonesia.

Paytren (Ditjen Dukcapil)
 

Pengecualian juga diberikan untuk imbal hasil dari obligasi syariah atau sukuk dan surat berharga syariah yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia.

Keluarnya BPKH dari instrumen reksa dana syariah berpengaruh besar terhadap dana kelolaan. Sepanjang 2021, dana kelolaan di instrumen ini hanya Rp 44 triliun atau anjlok 41% dibandingkan dengan total di 2021 senilai Rp 77,8 triliun. 

Kendati demikian, Wawan Hendrayana menilai prospek reksa dana syariah masih akan bertumbuh seiring dengan perkembangan industri reksa dana secara keseluruhan. Salah satu faktor pendorongnya adalah keberadaan Agen Penjual Reksa Dana (APERD) online yang kian menjamur.

“Waktu saya terjun di bisnis ini pada 2005 investor reksa dana tidak sampai 100.000. Saat ini sudah hampir 8 juta,” katanya.

Reporter: Rezza Aji Pratama