Outlook 2023: Utak-Atik Anggaran Subsidi Kendaraan Listrik

123RF.com/Petovarga
Ilustrasi tiga mobil listrik sedang mengisi daya.
12/1/2023, 10.26 WIB

Kendaraan listrik kian dilirik masyarakat Indonesia di sepanjang tahun ini. Mulai dari penggunaan mobil listrik di Presidensi G20 di Bali, hingga peresmian sejumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Bali dan Jakarta. 

Berdasarkan data Indonesia Energy Transition Outlook yang diterbitkan IESR, adopsi kendaraan listrik memang meningkat di 2022. Motor listrik misalnya, naik lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit di tahun ini. Adapun adopsi mobil listrik meningkat hampir empat kali lipat dari 2.012 unit pada 2021 menjadi 7.679 unit pada 2022. 

Kendati demikian, angka ini masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Populasi motor listrik baru 0,2% dari total motor di Indonesia. Sementara mobil listrik baru mencapai 0,4%. Guna menggenjot penetrasi tersebut, pemerintah menempuh sejumlah cara. Mulai dari mendorong konversi konversi alias mengubah sistem mesin dari pembakaran internal alias ICE menjadi listrik. 

Salah satu upaya pemerintah adalah dengan menjanjikan subsidi pembelian kendaraan listrik. Jumlahnya pun bervariasi. Mulai dari Rp 80 juta untuk mobil listrik baterai, Rp 40 juta untuk mobil listrik hybrid, dan Rp 8 juta untuk motor listrik. Pemerintah juga merencanakan subsidi senilai Rp 5 juta untuk konversi motor BBM menjadi motor listrik.

Meski begitu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengaku pemerintah belum memastikan kapan subsidi tersebut diberikan. Pasalnya, subsidi ini masih bergantung persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi anggaran subsidi juga belum masuk dalam pembahasan APBN 2023.

“Barangkali awal atau minggu pertama pada Januari 2023, yang akan dikoordinir oleh menteri Perekonomian. Kemudian setelah pemerintah menyepakati satu formulasi, baru kita berbicara dengan DPR,” ujar Agus. 

PAMERAN KENDARAAN DENGAN ENERGI LISTRIK (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/hp.)

Tepat Sasarankah Insentif Kendaraan Listrik?

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan sebaiknya subsidi fokus pada kendaraan roda dua. Alasan utamanya adalah untuk mendukung target Kementerian ESDM mengadakan 13 juta motor listrik pada 2030.

“Jadi kalau dihitung-hitung per tahunnya hingga 2030, sebanyak 1,5 juta atau 20%-25% dari motor baru yang terjual di Indonesia haruslah berbasis listrik,” ujarnya pada Katadata. 

Survei IESR menemukan rata-rata biaya konversi motor listrik berada di rentang Rp 15 juta hingga Rp 23 juta. Sementara itu, keinginan untuk membayar alias willingness to pay masyarakat Indonesia berkisar di rentang Rp 5 juta hingga Rp 8 juta per unit.

Maka dengan gabungan insentif serta penurunan harga komponen motor listrik, harga konversi motor listrik ini bisa masuk ke dalam rentang tersebut. Salah satu pasar yang dinilai Fabby berpotensi besar terutama untuk motor berusia enam hingga tujuh tahun. Ia merinci jumlahnya ada lebih dari 60 juta unit.

Kedua, Fabby melihat perbedaan harga dari motor listrik dan motor konvensional itu sudah tidak terlalu jauh, hanya 20% hingga 30%. Insentif bisa mengurangi perbedaan harga tersebut lebih baik daripada perbedaan harga dengan mobil listrik. 

“Penjualan motor itu di kisaran 6 hingga 6,5 juta unit per tahun. Kalau dilihat rata-rata harga motor listrik itu di bawah 25 juta, jadi paling tidak bisa menyasar 70-80% konsumen yang menggunakan motor konvensional,” katanya. 

Di sisi lain, penggunaan motor pun lebih populer daripada mobil di Indonesia. Selain moda transportasi, Fabby menilai masyarakat kerap menggunakan motor bukan hanya sebagai sarana transportasi, tapi juga sebagai mata pencaharian melalui sektor logistik dan transportasi daring.

Meski begitu, ia berharap pemerintah bisa menetapkan standar untuk pemberian insentif motor listrik. Salah satu tolok ukur yang bisa digunakan adalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) unit motor listrik. Lebih tinggi angka TKDN sebuah unit, maka insentif yang diberikan akan lebih besar. Nilainya juga akan progresif seiring berjalannya waktu. 

“Kemudian ada standar spesifikasi buat penerima insentif. Seperti motor listrik minimum daya listrik 2kWh bisa digunakan untuk berkendara 60 km dalam satu kali pengecasan penuh. Ini sudah harus ditetapkan supaya enggak overpricing,” katanya. 

Sisi manufaktur pun tak lepas dari upaya transisi energi tersebut. Fabby menjelaskan pengembangan industri kendaraan listrik roda dua akan lebih mudah dibandingkan dengan kendaraan listrik roda empat. Pasalnya, komponen motor listrik hampir sama dengan motor konvensional, hanya berbeda di sisi baterai dan sistem kontrol.

“Pengembangan motor listrik lebih murah, lebih populer, dan teknologinya bisa diadaptasi serta dikembangkan. Jadi economic of scale-nya bisa lebih cepat dari industri mobil listrik,” jelasnya. 

Di sisi lain, pemberian insentif bagi mobil listrik belum dianggap perlu. Pasalnya, subsidi justru akan dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang jumlahnya sedikit di Indonesia. Fabby menjabarkan 80% penjualan mobil di Indonesia berada pada rentang harga Rp 500 juta. Sementara, rata-rata harga mobil listrik itu di rentang Rp 600 hingga Rp 800 juta. Bila diberi insentif Rp 80 juta, maka harganya masih di atas Rp 500 juta. 

“Ini enggak masuk tingkat daya beli masyarakat Indonesia. Artinya insentif enggak ada pengaruh dalam penetrasi pasar, pengurangan subsidi BBM, atau transisi energi,” ujarnya. 

Agar Subsidi Tak Bebani APBN

Sudut pandang berbeda diungkapkan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal alias KPBB. Ahmad Safrudin selaku Direktur Eksekutif KPBB berpendapat pemberian subsidi bisa membebani keuangan negara. Pemerintah disarankan memikirkan kebijakan fiskal serupa yang tidak membebani APBN.

Menurut Ahmad, pemerintah harus menetapkan standar emisi bagi kendaraan bermotor yang diproduksi dan dipasarkan di indonesia. Nantinya, standar itu menjadi dasar perhitungan insentif bagi kendaraan yang memenuhi standar yang ditetapkan. Sebaliknya, pemerintah juga bisa menerapkan disinsentif bagi kendaraan yang gagal memenuhi standar emisi dalam bentuk cukai karbon kendaraan bermotor. 

Insentif dapat menurunkan harga jual kendaraan yang memenuhi standar emisi atau di atas standar emisi. Dana emisi ini diambil dari cukai karbon kendaraan yang gagal memenuhi standar emisi, sehingga harga jualnya menjadi mahal dan tidak membebani APBN. 

“Skema ini diharapkan bisa meningkatkan daya saing dan penetrasi kendaraan listrik, atau men-trigger penetrasi kendaraan rendah karbon yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia,” kata Ahmad.

Ahmad mencontohkan harga mobil listrik baterai dengan harga pokok Rp 350 juta per unit bisa dijual dengan harga hingga Rp 715 juta.  Ini setelah menghitung PPh impor, PPN, PPnBM, bea balik nama, pajak kendaraan, dan keuntungan penjual atau pabrik. Ini bisa terjadi tanpa skema insentif atau disinsentif standar emisi.

Sama halnya dengan mobil listrik hybrid yang bengkak dari harga pokok Rp 320 juta menjadi Rp 654 juta dan mobil BBM yang bengkak dari Rp 242 juta menjadi Rp 593. Dari angka tersebut, mobil BBM masih lebih terjangkau dari mobil listrik.

Tapi dengan skema insentif dan disinsentif cukai karbon, KPBB menghitung harga mobil listrik baterai bisa turun menjadi Rp 585 juta, mobil listrik hybrid Rp 580 juta, dan mobil BBM lebih mahal di angka Rp 613 juta karena dikenai cukai karbon. 

Reporter: Amelia Yesidora