Mengurai Titik Kritis Kasus TPPO di Wilayah Perbatasan

123rf.com/ARTIT OUBKAEW
Ilustrasi tindak pidana perdagangan orang atau TPPO.
Penulis: Dini Pramita
1/6/2023, 08.00 WIB
  • Daerah perbatasan masih menjadi titik paling rawan TPPO dengan berbagai modus, termasuk modus online scams
  • Daerah perbatasan menjadi wilayah incaran penyalur perdagangan orang dengan iming-iming pekerjaan.
  • Memerlukan road map dan ketegasan, terutama regulasi yang mengatur perbatasan.

Pekan lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis temuan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Temuan di dua daerah itu memiliki banyak kesamaan, terutama ihwal kerawanan daerah perbatasan.

Komisioner Komnas HAM yang juga menjadi Ketua Tim Monitoring Efektivitas Pencegahan dan Penanganan TPPO Anis Hidayah kepada Katadata mengatakan perbatasan merupakan jalur yang paling rawan, khususnya perbatasan non-resmi.

"Yang tidak resmi tidak terkelola dan tidak terjaga. Inilah yang dimanfaatkan untuk merekrut, mengirim, memulangkan, mendaur-ulang secara ilegal," kata dia, Senin (29/5).

Sebelumnya, pada Jumat pekan lalu, Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina mengatakan lokasi perbatasan Indonesia-Malaysia rawan dijadikan jalur TPPO. Khususnya di sekitar Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Selain itu, jalur-jalur perbatasan lainnya di sekitar Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, juga rentan menjadi jalur TPPO. Daerah ini diduga memiliki beberapa jalur tikus yang mudah diakses untuk menyeberang ke Malaysia.

Apabila merunut pola migrasi pekerja asal NTT, menurut Anis, ada tiga provinsi yang menyediakan perbatasan 'favorit' para pelaku TPPO. Ketiga provinsi itu adalah Kepulauan Riau dengan perbatasan di Batam, Kalimantan Barat dengan daerah perbatasan di Entikong, dan Kalimantan Utara.

Anis mengatakan tiga provinsi itu menyediakan banyak jalur-jalur tikus di setiap titik perbatasan yang tak terjamah hukum. "Sudah jadi pengetahuan umum mengenai titik-titik yang dimanfaatkan pelaku TPPO untuk bergerak. Itu yang selama ini banyak dimanfaatkan para sindikat," kata dia.

Selain di tiga provinsi tersebut, Komnas HAM juga menemukan banyak celah dalam perbatasan laut di NTT yang kerap dimanfaatkan sebagai pintu pengiriman dan daur-ulang pekerja migran ilegal asal Indonesia. "Perbatasan ini tidak dijaga dengan baik, tidak terkelola dengan baik," kata dia. 

Pemulangan korban TPPO dari Filipina (ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.)

Tak Ada Regulasi dan Pengawasan

Anis menyebut tak ada satu pun regulasi, baik undang-undang maupun peraturan turunannya, yang mengatur mengenai perbatasan. "Dalam undang-undang terkait TPPO maupun perlindungan pekerja migran, tentang perbatasan tidak diatur, sehingga jadi celah sindikat mudah bergerak memanfaatkan perbatasan tidak resmi," kata dia.

Di jalur-jalur ini bisnis perdagangan orang kerap berlangsung blak-blakan. "Biasanya pergerakan dilakukan malam hari. Tetapi jangan salah, ada beberapa kasus yang pergerakannya terjadi di siang hari dan ini luput dari pengawasan," ucapnya.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menaruh perhatian yang sama pada daerah perbatasan terkait dengan TPPO. Pada 2022, IOM merilis laporan mengenai situasi TPPO di perbatasan Kalimantan.

Salah satu perbatasan favorit pelaku TPPO yang disebutkan dalam laporan itu adalah di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang menyediakan perbatasan darat dengan Kuching, Malaysia. Di daerah ini terdapat pos lintas batas negara (PLBN) resmi yang dikelola pemerintah pusat.

Pada 2015, pemerintah pusat mengambil alih operasional dan mendesain ulang fungsi PLBN di Entikong sehingga lebih cermat dalam mengatasi TPPO. Sebelum direvitalisasi pemerintah pusat, menurut laporan IOM, petugas penjaga perbatasan cenderung melihat perdagangan manusia hanya sebagai persoalan migrasi tidak teratur calon tenaga kerja migran ke Malaysia.

Kasus Perdagangan Orang di Kepri. (ANTARA FOTO/M N Kanwa/aww.)

Laporan itu menyebutkan pola perdagangan lintas batas di Sanggau antara lain eksploitasi pekerja di kebun-kebun Malaysia dengan jam kerja 14 hingga 18 jam sehari, ketidakpastian penempatan kerja, dan pemotongan upah secara ilegal yang menjadi salah satu modus untuk menjerat korban ke dalam skema ikatan utang.

Sedangkan faktor utama terjadinya perdagangan orang lintas batas adalah kondisi geografis yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Wilayah Entikong dan Sekayam di Distrik Sanggau secara langsung berbatasan dengan Negeri Jiran.

Meski ada PLBN, di sejumlah titik di Distrik Sanggau terdapat celah dengan ditemukannya sejumlah makelar untuk melewati perbatasan negara. Selain itu, kurangnya kesempatan kerja di Sanggau, membuat tawaran kerja dengan bermigrasi ke Serawak terlihat menggiurkan bagi masyarakat.

Selain rawan sebagai pintu keluar dan masuk bagi pelaku TPPO melancarkan aktivitas pidananya, Sanggau juga menjadi daerah rawan incaran penyalur. Masyarakat di sana kerap menjadi incaran tipu rayu para penyalur pelaku TPPO.

Profil serupa ditemukan IOM di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Posisi Sambas yang berbatasan langsung dengan Lundu (Malaysia) secara resmi dikelola oleh PLBN Aruk. Namun, di sekitar PLBN Aruk masih ditemukan beberapa jalur tikus yang menjadi pintu perbatasan ilegal rawan TPPO.

Pola dan kerentanan serupa diamati IOM di Kapuas Hulu hingga Nunukan, Kalimantan Timur.


Pidana Berbalut Kekerabatan

Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina mengatakan selain aspek geografi, aspek lainnya yang mendorong terjadinya kerentanan TPPO di perbatasan adalah hubungan kekerabatan masyarakat di daerah perbatasan kedua negara.

Kondisi itu diperburuk dengan minimnya sosialisasi dan informasi hingga ke tingkat desa terkait TPPO, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan di luar negeri di sektor non-formal.

Temuan IOM menunjukkan TPPO dalam konteks Indonesia hampir selalu berkaitan dengan tenaga kerja migran. Namun, kondisi itu tak dapat dilepaskan dari 'tradisi' yang dibangun turun-temurun.

Di Nusa Tenggara Timur, menurut temuan Komnas HAM, pola migrasi yang terjadi cenderung bersifat 'kultural' dengan pendekatan keluarga. "Sehingga memerlukan perlakuan sangat khusus dalam penanganannya," kata Anis.

Sementara itu, menurut laporan IOM, Sanggau dikenal sebagai titik keberangkatan bagi pekerja migran yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Maluku dan Nusa Tenggara Barat yang bekerja di Sarawak, Malaysia Timur.

Pola itu membuat masyarakat Sanggau pun ikut bermigrasi secara teratur ke Malaysia, bahkan memiliki ikatan ekonomi, budaya, dan darah yang tinggi dengan Malaysia. Persamaan etnis juga membuat masyarakat di Sanggau dan Sarawak, Malaysia, berbagi hubungan kekerabatan.

Pengungkapan kasus TPPO.  (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Di Sambas, praktik migrasi ke Malaysia dan Brunei Darussalam juga merupakan praktik yang kerap dilakukan masyarakat sejak lama. Beberapa jalur yang digunakan untuk bermigrasi adalah di sekitar Sajingan. Praktik itu membuat kerawanan TPPO meningkat.

Terlebih, Sambas dikenal sebagai sumber pekerja migran Indonesia. Pola pekerja migran di Sambas bahkan telah diperkenalkan turun-temurun oleh para orang tua ke anak-anaknya.

Adapun pola perdagangan di Sambas yang ditemukan IOM adalah mayoritas kasus TPPO diawali oleh perekrutan calon tenaga kerja yang dilakukan oleh agen atau perantara perorangan yang memiliki hubungan dengan calon korban.

Faktor kedekatan ini membuat korban tidak menyadari adanya eksploitasi. Kemudian, pola lainnya adalah para korban umumnya diiming-imingi akan dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga. Padahal tak ada agen resmi penyalur asisten rumah tangga di Sambas.

Penelitian ini sejalan dengan temuan Komnas HAM yang menyebutkan sebagian kasus TPPO di Kalimantan Barat diawali dengan adanya “kesepakatan” antara pelaku dan korban yang tidak disadari resikonya oleh korban. "Sehingga menyebabkan sulitnya penelusuran terhadap terduga sindikat TPPO dari hulu hingga hilir," ujar Putu Elviana.

Menggantang Asa pada Upaya dan Kesigapan Pemerintah

Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT ASEAN ke-42 yang diselenggarakan di Labuan Bajo pada awal Mei lalu membuahkan Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology. Deklarasi itu merupakan komitmen negara-negara Asia Tenggara dalam menangani kejahatan perdagangan manusia yang berasal dari penyalahgunaan teknologi.

Upaya yang akan ditingkatkan dari deklarasi itu mulai dari mekanisme kerja sama dan koordinasi penanganan TPPO, identifikasi kasus-kasus perdagangan manusia, hingga langkah-langkah penegakan hukum dan pencegahannya.

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan deklarasi itu akan menjadi rujukan dalam penanganan kasus TPPO di Asia Tenggara. Dalam pemberantasan TPPO, kata dia, perlu kerja sama yang erat antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan.

Terlebih, TPPO berkembang dengan modus online scams. "Ini sudah menjadi isu besar di kawasan dan korbannya beragam. Bahkan korbannya dari 11 negara," ujarnya. 

Untuk menerjemahkan deklarasi itu, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan perlu ada road map pengelolaan perbatasan Indonesia untuk mencegah TPPO. "Karena selama ini kinerja satgas TPPO hampir meluputkan fokus mengelola perbatasan sebagai pintu keluar masuk TPPO yang diselundupkan," kata dia.