Ibu Kota Jakarta nyaris mengalami pemadaman listrik awal Januari lalu. Penyebabnya, 17 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terancam berhenti beroperasi karena ttak dapat pasokan batu bara. Pangkal soalnya adalah kewajiban pemenuhan pasar domestik alias domestic market obligation atau DMO batu bara sebesar 25% yang tak dipatuhi semua perusahaan. Banyak perusahaan yang justru mengekspor batu bara ke luar negeri.
Data Kementerian ESDM menunjukkan hingga 1 Januari 2022, sebanyak 490 perusahaan belum memenuhi ketentuan DMO. Sebanyak 418 perusahaan bahkan belum pernah mengirimkan batu baranya ke PLN. Disparitas yang terlalu lebar antara harga jual ke PLN dengan harga di pasar internasional membuat perusahaan batu bara mengabaikan pasar domestik.
Pemerintah sempat melarang seluruh ekspor batu bara hingga akhir Januari lalu. Kebijakan tersebut menuai kontroversi, khususnya dari perusahaan batu bara dan para mitra konsumennya di luar negeri. Kedutaan Besar Jepang mengirim surat resmi memprotes kebijakan itu karena khawatir pembangkit listrik di negaranya terancam tidak bisa beroperasi menjelang musim dingin.
Kini, sejak 1 Februari lalu, pemerintah sudah mencabut larangan ekspor bagi perusahaan batu bara yang telah memenuhi kewajiban DMO. ? Bagaimana agar kondisi tersebut tidak terulang di masa mendatang? Apa saja kebijakan pemerintah ke depan? Berikut petikan wawancara Katadata dengan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin dalam acara khusus D-Insights pada pekan pertama Februari lalu.
Sejak Desember 2021 persoalan kisruh pasokan batu bara menjadi pembicaraan publik, bahkan Presiden Joko Widodo sampai memberikan pernyataan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara sebenarnya sudah ditetapkan sejak 2018. Tetapi memang masih ada banyak masalah dan pelanggaran yang terjadi. Harus kita akui level kita baru segitu. Ada tanda verboden tidak boleh masuk, kita melawan arus. Ada dibilang 25% kita kasih 10%. Itu masih praktik umum yang terjadi.
Nah, masalah kemarin itu memang muncul akibat disparitas harga yang sangat signifikan antara harga di dalam negeri dengan harga ekspor. Maka muncul godaan untuk menjual batu bara ke luar negeri.
Sebetulnya ini bukan masalah yang terlalu sulit untuk diselesaikan. Ilustrasinya ada pelanggaran lalu lintas, ya sudah kalau di lampu merah tidak boleh jalan, kita taruh polisi saja.
Masalahnya soal pasokan batu bara ini bukan cuma soal penegakkan hukum saja, tetapi juga dampak risikonya. Itu yang membuat masalah ini menjadi sangat serius. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyampaikan bahwa jika tidak ada pasokan batu bara, 17 PLTU berpotensi padam yang akan berimbas kepada 10 juta pelanggan.
Maka kami menerapkan manajemen darurat. Sebelumnya kita gunakan pendekatan persuasif dengan mengirim surat dan menggelar rapat, ternyata tidak efektif. Akhirnya negara harus menggunakan kekuasaannya untuk melindungi rakyat.
Seberapa kritis kondisi kisruh pasokan batu bara saat itu?
Pemerintah sudah menugaskan badan usaha untuk mengirimkan 5,1 juta ton batu bara kepada PLN, tetapi realisasinya cuma 35.000 ton. Ini kan artinya sebuah sikap yang tidak serius. Maka pemerintah memutuskan untuk menutup pintu ekspor. Tujuannya bukan semata-mata menghukum, tetapi juga menjaga hak rakyat atas batu bara ini agar terlindungi dari sikap-sikap serakah.
Artinya kalau harga batu bara di pasar internasional tidak terlalu tinggi, seharusnya tidak ada masalah dengan komitmen DMO?
Sebetulnya iya. Jadi sebetulnya saya tidak ingin membuat regulasi yang sudah mengikat, kita kaitkan dengan dinamika pasar yang dinamis. Regulasi sudah mewajibkan 25% produksi batu bara harus dijual ke dalam negeri. Tapi tidak bisa juga misalnya harga sedang tinggi lantas kita turunkan. Dengan begitu, ketidakpastian hukum itu menjadi masalah.
Tugas kami sebagai eksekutif mengeksekusi regulasi saja. Sekali lagi saya mengajak untuk menaati regulasi. Jangan tergoda dengan harga. Dalam bisnis kan biasa kadang harga bagus kadang tidak. Tapi sekali lagi ketika regulasi sudah menentukan maka kita patuh saja.
Selain soal harga batu bara di pasar internasional, bagaimana kondisi kontrak pembelian batu bara PLN dengan trader yang tidak dikenakan ketentuan DMO?
Memang salah satu yang kita identifikasi adalah banyaknya transaksi PLN dengan perusahaan perdagangan atau traders. Di dalam regulasi, memang traders ini tidak diikat dengan kewajiban DMO. Jadi bebas saja mereka. Bagi PLN, mungkin ada fleksibilitas kalau dengan traders itu. Biasalah pelaku bisnis juga ingin lebih mudah proses bisnisnya.
Namun sekali lagi ini membuktikan bahwa akibat dari fleksibilitas itu begini dampaknya. Memang konsekuensi dari sesuatu yang mengikat di depan, itu kalau kita mau berubah lebih sulit.
Nah kemudian sekarang sudah jelas, akhirnya PLN wajib langsung membeli batu bara dari perusahaan tambang dengan kontrak jangka panjang. Dalam rapat terakhir, PLN menyatakan untuk 2022 sudah berkontrak jangka panjang secara mencukupi.
Jadi memang ada masalah di mekanisme bisnis itu, di mana sebuah fleksibilitas itu tidak selalu produktif.
Pemerintah merilis kewajiban bagi PLN untuk melakukan kontrak dengan perusahaan pertambangan, apakah masih ada celah untuk traders?
Aturan itu sudah dibicarakan oleh para Menteri dan DPR. Mungkin perusahaan traders bisa mencari pola baru. Kontrak PLN harus dengan perusahaan tambang langsung, tetapi kalau perusahaan tambang itu mau memudahkan bisnisnya melalui traders silahkan saja. Tapi ikatan PLN itu dengan perusahaan tambang.
Apakah surat penugasan kepada pemegang IUP dan/atau PKP2B bisa dibuat permanen?
Kami ingin proses business to business mengalir saja tanpa banyak intervensi pemerintah. Kecuali kalau prosesnya tidak berjalan, silahkan dilaporkan dan kami siap intervensi.
Pemerintah akhirnya merevisi aturan DMO batu bara. Apa saja substansi revisi tersebut?
Salah satunya terkait kewajiban pemantauan yang sebelumnya dilakukan per tahun diubah jadi per bulan. Jadi sekarang produsen batu bara itu akan kita evaluasi setiap bulan berapa pemenuhan DMO-nya, baru kemudian kita keluarkan kebijakan boleh ekspor atau tidak. PLN sudah mengembangkan aplikasi yang tersambung dengan aplikasi di Ditjen Minerba sehingga bisa kita pantau terus menerus.
Terkait denda dan sanksi kita buat lebih seimbang. Denda yang dikenakan itu berupa selisih harga jual antara pasar domestik dengan internasional. Misalnya perusahaan menjual batu bara ke luar negeri dengan harga US$ 150 per ton, sedangkan kalau jual ke PLN US$ 70 per ton. Artinya ada selisih harga US$ 80 per ton. Nah, inilah nilai yang akan menjadi denda bagi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan DMO. Jadi ujung-ujungnya lebih baik jual ke dalam negeri.
Apakah penerapan evaluasi DMO secara bulanan menjadi langkah yang tepat?
Terkait DMO, ketika kita menerapkan kebijakan ini tentu pasar domestiknya harus ada. Misalnya untuk batu bara kalori tinggi kita tidak ada pasarnya di dalam negeri. Maka tidak dikenakan ketentuan DMO.
Ada juga wacana DMO tidak dikunci di 25% tetapi diatur setiap kuartal. Jadi PLN dan perusahaan-perusahaan yang memerlukan batubara untuk tahun selanjutnya sudah punya perencanaan. Ini untuk menghindari kelebihan kapasitas.
Jadi kira-kira sama seperti kalau lembaga pemerintahan mengajukan anggaran kepada Kemenkeu. Kami tahun ini butuh anggaran sekian triliun, maka dikasihnya segitu. Jangan sampai nanti kita mengalokasikan berlebihan pula.
Pemerintah akan membentuk Badan Layanan Umum Batu Bara (BLUBB), apakah ini langkah yang efektif?
Mengenai BLU batu bara, BLU-nya sendiri secara terminologi masih sementara. Tapi intinya kami mewacanakan ada entitas untuk mengelola aspek DMO batubara ini. Ada beberapa aspek positif dari lembaga ini. Pertama, tidak ada disrupsi di pasar batu bara, karena antara harga pasar internasional dan harga dalam negeri disamakan. Kemudian selisihnya itu dibayar oleh iuran yang ditarik dari para pengusaha.
Kedua, memang ada penerimaan royalti yang lebih tinggi. Royalti itu diambil dari persentase harga jual.
Selain itu, menurut ahli hukum, untuk membuat regulasi tentang penarikan iuran yang mengikat dari masyarakat, dasarnya harus undang-undang. Sementara setahu saya, saat ini UU yang menjadi dasar untuk menarik iuran dari badan-badan usaha itu belum ada.
Aspek lain yang perlu dipertimbangkan juga kalau PLN harus membayar di depan, apakah PLN siap untuk menyediakan anggaran sebesar itu? Kita tahu PLN membayarnya itu cukup lama. Misalnya untuk bayar US$ 50 per ton saja bisa sebulan dua bulan. Kalau dia disuruh bayar US$ 100-US$ 150, siapkah PLN?
Kemudian lembaga ini akan diaudit oleh lembaga auditor. Saya pribadi berpendapat ide tentang BLU untuk batubara ini bagus, kalau kita konsisten dan tidak banyak yang main-main juga. Tapi kalau misalnya dengan evaluasi bulanan itu sudah cukup efektif, buat saya itu obat yang cukup kok.
Pelaku usaha mengeluhkan larangan ekspor diterapkan mendadak ketika proses loading batu bara ke kapal sudah berlangsung, bagaimana menanggapi hal tersebut?
Memang kemarin ketika sudah ada pembelian-pembelian yang dibayar tetapi kita larang. Itu sekali lagi adalah upaya darurat. Karena di dalam negeri butuh, jadi ada upaya darurat untuk kepentingan nasional.
Terkait keterlambatan pengiriman ke luar negeri, kami sudah memberikan solusi. Kita tidak berlama-lama menahan kapal yang sudah memuat batu bara selama sudah membuat pernyataan komitmen ke depan. Kami juga sudah berkomunikasi dengan Kementerian Perhubungan untuk memberikan prioritas kepada kapal-kapal batu bara agar antrean tidak terlalu lama.
Keran ekspor batu bara sudah dibuka lagi mulai 1 Februari 2022 meskipun dengan syarat tertentu. Mengapa kebijakan itu diambil?
Pertama, prioritas kita memang yang sudah 100% DMO itu silahkan ekspor. Kedua, perusahaan yang belum 100% tetapi sudah membuat surat pernyataan juga diperbolehkan ekspor tapi kami kenakan dendanya. Kami berharap jangan sampai persoalan ini terbawa terus menerus. Jadi kami menghitung kewajiban di 2022 saja karena tahun 2021 kan sudah lewat. Istilahnya kita mulai dari nol-nol lagi.
Berapa banyak perusahaan yang belum DMO 100% tetapi sudah bersedia bayar denda?
Itu saya lupa datanya. Tapi kira-kira ada ratusan yang sudah buat pernyataan bahwa dia tidak bisa memenuhi aturan DMO tetapi akan patuh terhadap regulasi. Selain itu, ada juga 102 perusahaan yang belum memenuhi DMO dan belum menyampaikan surat pernyataan. Ini kita punya skenarionya juga. Hukuman maksimalnya akan kita cabut izinnya.
Pencabutan izin 102 perusahaan itu bagaimana mekanismenya? Apakah ada masa tenggangnya?
Terus terang saya belum kasih batasan waktu. Tapi nanti saya akan berdiskusi di internal kapan keputusan terhadap 102 perusahaan diambil. Kalau kira-kira jadi beban ya sudah kita selesaikan saja. Bayangan saya seminggu ini akan kita evaluasi, kalau tidak patuh juga untuk apa kita urus perusahaan nakal semacam itu.
Perusahaan pembangkit dan PLN mayoritas membutuhkan batu bara berkalori 4.200-4.600, sementara ada juga produsen yang memproduksi batu bara dengan kalori di atas 5.000 atau bahkan di bawah 4.000. Bagaimana perlakuannya?
Pengaturannya sudah ada, nanti akan dilihat kasus per kasus. Jadi akan kita atur mana yang terkena denda mana yang terkena dana kompensasi. Itu berdasarkan kesesuaian antara produk yang dibutuhkan di dalam negeri dengan produk yang tidak dibutuhkan.
Terkait DMO untuk industri semen dan pupuk masih ada pro kontra dari sisi pemasok batu bara, bagaimana kebijakannya?
Ini memang topik yang menarik. Kemarin sempat juga dibahas saat rapat dengar pendapat antara asosiasi industri semen dengan Komisi VIII DPR RI. Intinya jangan sampai industri semen kita mati karena kekurangan pasokan batu bara atau harganya terlalu mahal.
Kabarnya biaya produksi semen meningkat 35%-40% jika perusahaan membeli batu bara dengan harga pasar. Beberapa industri juga sudah mengurangi kapasitas produksinya sehingga membuat pasokan untuk pembangunan infrastruktur terancam.
Kebijakan DMO untuk industri semen itu kita terapkan mulai 1 November 2021-31 Maret 2022, baru setelah itu kita evaluasi. Semen dan pupuk ini dalam klasifikasi kebijakan nasional dianggap sebagai barang penting sehingga ada perlakuan khusus.
Perlu kita ingat juga bahwa kewajiban bagi industri semen dan industri pupuk ini tidak menambah volume DMO. Jadi ini termasuk dari DMO yang 25% itu. Harganya pun bahkan kita patok US$ 90 per ton, bukan US$ 70 per ton seperti pasokan untuk PLN.
Bulan lalu Kementerian ESDM menyatakan ada 697 perusahaan tambang yang belum menyerahkan RKAB 2022 dan diberikan tenggat hingga akhir Januari, bagaimana realisasinya?
Prinsipnya kita ingin sumber daya minerba ini dimanfaatkan sebesar-besarnya. Kalau dikasih izin tetapi tidak diusahakan lebih baik diberikan ke orang lain yang lebih serius. Mengenai RKAB, memang sejak tahun lalu sebenarnya RKAB ini dikelola langsung oleh Kementerian dan Pemerintah Pusat. Ada transisi yang sudah diselesaikan pada Desember 2020.
Beberapa perusahaan sudah selesai transisi itu, beberapa masih ada yang nyangkut. Kami berusaha menyelesaikan. Kalau memang mereka niatnya baik, mau kerja kita pasti bantu. Kalau niatnya hanya ingin dapat RKAB tapi tidak mengusahakan maka akan kita cabut saja.
Kita memang menyadari penerapan RKAB secara online ini belum semua siap. Kalau ada perusahaan yang mengalami kesulitan, kami bantu. Kecuali kalau memang sama sekali sudah tidak bisa tertolong ya sudah.
Ada rencana melarang ekspor mineral mentah, kapan akan dilakukan?
Sebenarnya kalau bahasa verbalnya Presiden itu harusnya sudah mulai. Tapi kemarin ada program pemulihan ekonomi nasional, jadi kita relaksasi. Tujuannya untuk menyelamatkan ekonomi. Sebenarnya ekspor mineral mentah itu terkait dengan pembangunan smelter, jadi secara umum perusahaan masih boleh mengekspor mineral mentah dengan syarat tertentu. Salah satunya harus sudah mencapai 90% dalam pembangunan smelter.
Presiden juga sudah menyebut soal pelarangan timah dan mineral lain. Itu sedang kami olah karena juga harus dipikirkan industri dalam negeri yang bisa menyerapnya. Jadi perlakuan setiap komoditas tidak sama.
Misalnya untuk timah, 90% produksi timah diekspor dalam bentuk ingot (batangan), sedangkan 10% sisanya diserap di pasar. Ketika ekspor ingot pun mau dilarang, siapa yang bisa menyerapnya di dalam negeri?
Dari berbagai komoditas itu, jenis apa yang mungkin akan dilarang ekspornya lebih dahulu?
Sekarang fokus kita yang berkaitan dengan pembangunan smelter seperti tembaga, biji besi, bauksit, dan lain-lain. Sekarang perusahaan-perusahaan yang sedang membangun smelter itu masih diizinkan melakukan ekspor jika capaian pembangunannya dalam periode evaluasi itu mencapai 90%. Kalau nanti smelter sudah jadi, maka mineral tadi akan diolah di dalam negeri.