Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 membuat PT Vale Indonesia Tbk mengubah pola kerjanya. Sebagian besar karyawannya, termasuk mereka yang berada di lokasi penambangan nikel di Sulawesi diminta bekerja dari rumah. “Ada beberapa ribu karyawan dan kontraktor yang bekerja dari rumah, termasuk mereka yang berisiko tinggi karena penyakit bawaan,” kata Chief Executive Officer PT Vale Indonesia Tbk. Febriany Eddy.

Sistem bekerja dari rumah itu dilanjutkan meski tekanan pandemi berkurang setelah dua tahun. Kantor Vale di Jakarta pun lengang karena para pekerjanya hanya datang dalam kondisi tertentu. Meski demikian, bisnis dan operasional Vale selama pandemi tidak banyak terganggu. “Bahkan tahun lalu produksinya sedikit di atas target,” ujar Febriany.

Naiknya harga nikel dunia ikut mendorong pendapatan Vale bertambah. Pada kuartal I 2022, Vale membukukan laba bersih sebesar US$ 67,6 juta. Jumlah laba ini meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 33,7 juta.

Ekspansi bisnis Vale berlanjut dengan membangun fasilitas peleburan dan pemurnian nikel (smelter) baru di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Sejak April lalu Vale berkolaborasi dengan perusahaan tambang asal Cina, Zhejiang Huayou Cobalt Company, mengembangkan smelter yang sanggup mengolah hingga 120 ribu ton nikel per tahun itu. “Target konstruksi selesai dalam tiga tahun,” kata Febriany dalam wawancara dengan Katadata pada Selasa (7/6).

Ditemui di sela-sela agenda rapat dengan mitra kerja di kantornya pada Selasa (7/6) lalu, Febriany memaparkan kondisi dan perubahan yang terjadi di perusahaannya selama pandemi, rencana penurunan emisi karbon, dan pembangunan lingkungan berkelanjutan di area sekitar pertambangan nikel Vale.

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak dua tahun lalu mengubah pola kerja industri, termasuk di sektor pertambangan. Bagaimana Vale Indonesia beradaptasi dengan kondisi ini?

Salah satu nilai terpenting bagi perusahaan adalah lives matter most, keselamatan karyawan adalah prioritas. Kami punya crisis management team yang langsung diaktifkan begitu ada krisis. Tetap saja tidak ada yang bisa memprediksi pandemi ini. Meski demikian, dengan budaya disiplin yang ada, kami mampu beradaptasi lebih baik.

Hal pertama yang dilakukan adalah memilah siapa yang perlu bekerja di lapangan dan di rumah. Mengurangi jumlah karyawan yang masuk bekerja berarti bisa mengurangi risiko penularan jika ada virus. Kedua, kami langsung mengaktifkan work from home. Cukup banyak, ada beberapa ribu karyawan dan kontraktor yang bekerja dari rumah.

Bagi karyawan dan kontraktor yang punya risiko tinggi karena penyakit bawaan, mereka harus stay di rumah. Dari sisi pendapatan, tetap kami jaga sehingga mereka bisa tetap hidup sehingga tidak ada gangguan sosial nantinya.

Ada kolaborasi dengan pihak lain?

Pandemi ini krisis yang berbeda. Perusahaan, masyarakat, dan pemerintah harus bekerja sama. Tim kami bekerja erat dengan satuan tugas Covid-19 pemerintah. Vale meningkatkan fasilitas rumah sakit kami, menambah ruang-ruang isolasi, hingga mendatangkan rapid test kit yang didonasikan ke masyarakat. Kami juga berkolaborasi dengan pemerintah supaya vaksinasi berjalan lancar dan baik.

Syukur alhamdulillah selama dua tahun ini bisnis dan operasional kami tidak banyak terganggu. Lumayan lancar. Ini memang tantangan tapi juga kesempatan bagi kami untuk melihat lebih jauh lagi bagaimana kami berbenah diri.

Tekanan pandemi mulai longgar belakangan ini. Apakah sistem kerja Vale kembali normal?

Hal-hal baik yang muncul selama pandemi kami adopsi hingga sekarang. Misalnya, bekerja dari rumah yang memberikan fleksibilitas kepada karyawan kami, terutama kaum perempuan dan para ibu. Di kantor di Jakarta sudah tidak 100 persen harus masuk kantor. Tentu tetap ada yang perlu masuk kantor untuk koordinasi jika diperlukan saja. Mau bekerja offline atau online, komunikasi harus terus berjalan.

Produksi Vale tahun lalu sedikit di atas target dan sekarang harga nikel sedang naik. Bagaimana untuk mengoptimalisasi produksi?

Kami menentukan target produksi itu tidak tergantung pada harga nikel. Ketika harga nikel naik, produksi di-maximize, kalau harganya rendah, produksi diturunkan. Tidak seperti itu. Kami melihatnya dari aspek maintenance peralatan. Ketika dia harus shut down, ya berarti harus di-shut down. Ini demi keselamatan.

Menentukan target itu dari shut down schedule, termasuk main planning sehingga tercapai target produksi. Jadi tidak terpengaruh dengan harga. Tentu ketika harga bagus, kalau bisa lebih optimasi lagi produksinya akan lebih baik.

Kami juga ada program debottlenecking di rangkaian produksi yang melibatkan banyak sekali alat dengan kapasitas masing-masing. Kami kaji mana saja dari rangkaian peralatan yang perlu diperbaiki atau di-upgrade. Dengan perubahan kecil, bukan massive upgrade, bisa meningkatkan produksi. Ini berjalan dengan baik dengan displin keseharian untuk menopang rencana jangka panjang.

Pada April lalu Vale bersepakat dengan Zhejiang Huayou untuk membuat smelter baru di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Bagaimana perkembangannya?

Di Indonesia, bijih nikel disebut laterit yang terdiri dari dua kelompok, yaitu saprolit dan limonit. Saprolit ini yang high grade. Diprosesnya dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), juga dipakai pabrik kami di Soroako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kebanyakan pabrik di Indonesia menggunakan RKEF untuk mengolah saprolit.

Pabrik kami di Pomalaa nanti menggunakan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL). Berbeda dengan RKEF yang high energy intensive, teknologi HPAL ini menggunakan proses kimia sehingga bisa memproses bijih nikel berkadar rendah. Nanti optimalisasi sumber daya nikel bisa lebih bagus, karena nikel low grade yang selama ini terbuang bisa dipakai.

Kapan smelter baru ini beroperasi?

Saat ini proses konstruksi awal sudah dimulai. Pelabuhan sudah jadi dan jalan sedang dirapikan. Beberapa negosiasi untuk akses jalan, termasuk pembelian lahan, sedang berlangsung. Tujuan kami bermitra dengan Hoayou ini supaya cepat konstruksinya. Target konstruksi bisa selesai dalam tiga tahun.

Berbeda dengan plan terdahulu di Pomalaa, untuk teknologi smelter Hoayou dari nikel low grade itu pun masih bisa turun lagi. Jadi di kelas laterit, yang lebih rendah lagi, bisa diproses. Sehingga lebih banyak optimalisasi penggunaan sumber daya nikel yang bisa dicapai.

Karena itu, kami bersepakat bahwa target produksi bisa naik tiga kali lipat. Kalau dulu 40 ribu ton, nanti bisa mencapai 120 ribu ton.

Tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi smelter?

Hoayou sepakat dengan prinsip keberlanjutan yang selama ini diterapkan Vale di fasilitas di Soroako. Itu akan dibawa ke Pomalaa juga. Kalau bisa lebih baik lagi. Mereka bersedia untuk tidak menggunakan batu bara. Untuk sumber energi, saat ini dikaji beberapa opsi. Yang jelas, kami ingin rendah emisi karbon.

Ada keperluan dunia menghadapi isu climate change dan harus menurunkan karbon. Makanya penambangan dan pemrosesan nikel juga harus rendah karbon.

Opsi pertama sumber energi yang saat ini sedang dilihat adalah bekerja sama dengan PLN. Tapi kami minta khusus suplai grid dari PLN datang dari energi terbarukan atau setidaknya rendah karbon. Saya pikir PLN terbuka, sudah ada diskusi dan MoU yang ditandatangani. Opsi kedua adalah menggunakan gas alam atau liquefied natural gas (LNG).

Tentu ada studi-studi sumber energi lain seperti tenaga surya. Tapi ini bisa untuk alat tambahan atau pendukung, bukan untuk pabriknya sediri. Karena untuk pabrik itu butuh stabilitas, tidak boleh terganggu suplai listriknya. Tapi kami tetap mempelajari terus karena kami ini ingin mencapai net zero emmision pada 2050.

Berapa investasi untuk proyek smelter di Pomalaa ini?

Masih tahap finalisasi. Tapi untuk 120 ribu ton, biayanya akan di atas US$ 3 miliar. Ini memang besar sekali. Saat ini kami bermitra dengan Hoayou. Tapi terbuka juga dengan mitra lain. Yang penting prinsip keberlanjutan tetap dijaga siapa pun partnernya.

Terkait sumber energi, Vale sudah mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) selama lima dekade terakhir. Seperti apa bauran energi yang dipakai Vale hingga saat ini?

Saat ini kami mengoperasikan tiga PLTA dengan total kapasitas 365 megawatt. Itu besar sekali, namun hanya mencerminkan sekitar 30 persen dari total energi yang kami butuhkan. Sisanya kami menggunakan minyak dan batu bara, sebagian besar ada di tanur reduksi dan pengering.

Di COP26 (Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia) pada tahun lalu, kami mencanangkan secara publik komitmen menurunkan sepertiga emisi karbon pada 2030 dan mencapai net zero pada 2050. Untuk mencapainya, kami berkomitmen ini harus lewat penurunan emisi secara absolut, tidak lewat carbon offset.

Proyek kami selanjutnya adalah mengkonversi ke LNG. Ini memang tetap bahan bakar fosil, tetapi karbonnya jauh lebih rendah dari minyak dan batu bara. Ini tahap awal. Investasinya cukup besar dan akan meningkatkan biaya juga. Namun kami merasa pada akhirnya ini penting untuk menjaga planet ini. Jadi selama masih menguntungkan, akan kami lakukan karena keseimbangan dengan alam itu penting.

Pertambangan juga menghasilkan limbah. Vale mengucurkan sekitar US$ 3 juta untuk membangun fasilitas pengolahan limbah enam tahun lalu. Bagaimana perkembangannya?

Tantangan terbesar dari penambangan bijih laterit adalah pengelolaan air limpasan tambang. Saat ini, kami mengolah air limpasan tambang melalui kolam-kolam pengendapan alias sediment pond. Teknologi yang dikembangkan sejak 2016 ini unik. Kami bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan riset selama dua tahun. Ini adalah teknologi yang dipakai untuk mengolah air minum dan kami bawa ke manajemen air limpasan tambang. Setahu saya, teknologi ini satu-satunya yang dipakai di pertambangan di Indonesia.

Teknologi ini memungkinkan pengolahan air limpasan tambang dengan volume besar dan efektivitas tinggi namun menggunakan lahan yang lebih kecil. Jadi secara prinsip keberlanjutan, ini lebih baik. Dengan keberhasilan teknologi pengolahan ini, tentu di tambang-tambang berikutnya akan kami adopsi lagi teknologi yang sama.

Wilayah tambang kami sangat dekat dengan Danau Matano. Jadi kami harus menjaga betul kualitas air di sana. Apalagi Danau Matano ini sangat unik dan spesial. Ada spesies endemik yang hanya hidup di danau ini. Jadi biodiversity-nya harus dijaga. Alhamdulillah sudah lebih dari 50 tahun kami di sana dan bisa menjaga kualitas air danau Matano.

Danau Matano (indonesia.go.id)

 

Bagaimana perkembangan kondisi lingkungan di sekitar tambang Vale?

Pengelolaan air limpasan tambang memang harus hati-hati. Sekarang di Soroako ada lebih dari 100 titik compliance point untuk memastikan air yang dirilis ke badan air benar-benar memenuhi baku mutu. Kalau bisa lebih baik lagi.

Kami juga memiliki fasilitas pembibitan tanaman. Luasnya 2,5 haktare, bisa memproduksi sekitar 700 ribu bibit. Ini kami pakai untuk menanami area reklamasi di dalam dan di luar konsesi tambang. Komitmen kami menanam 10 ribu hektare di luar konsesi tambang, ini sudah jalan dan bisa dituntaskan nanti. Total sudah 3,7 juta pohon yang ditanam. Spesies endemik lokal seperti eboni itu sudah ada 24 ribu pohon yang ditanam.

Konsep pembangunan berkelanjutannya dari hulu ke hilir?

Konsep misi Vale, sejak saya bergabung belasan tahun lalu tidak berubah, yaitu mentransformasi sumber daya alam menjadi kemakmuran bersama dan pembangunan berkelanjutan. Kinerjanya diukur dari tiga hal, yaitu people, planet, dan profit. Konsep pembangunan berkelanjutan itu dari ketika kita mengukur kinerja. Ada tiga hal: People, Planet, dan Profit.

Vale sudah lama melakukannya dengan melihat sisi people, dari karyawan dan komunitas. Keselamatan adalah yang terpenting. Kami ada 9.000 pekerja, enam tahun berturut-turut ini tidak ada kejadian fatality atau cacat seumur hidup. Itu komitmen luar biasa dari seluruh karyawan Vale untuk menjaganya. Bagi kami, tidak ada yang bisa dibanggakan kalau itu lewat pengorbanan nyawa manusia.

Kami juga mencanangkan program keberagaman dan inklusi. Tambang dipandang sebagai industri maskulin. Bahkan saya akui partisipasi pekerja perempuan di Vale masih rendah sekali. Kami menargetkan jumlahnya harus dua kali lipat pada 2030. Imakanya saya ingin menyampaikan untuk talenta perempuan Indonesia jangan ragu bergabung dengan industri pertambangan.

Tahun ini juga kami memulai program untuk para pekerja difabel. Sedang difokuskan pada infrastruktur dan policy sehingga nanti bisa dilaksanakan dengan baik. Kami juga mengutamakan pembangunan berkelanjutan di level desa, bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat. Kalau ini tidak ada, maka tidak akan ada pembangunan berkelanjutan.

Seperti apa komposisi pekerja Vale?

Kami fokus pada talenta lokal. Sebanyak 99,7 persen pekerja Vale adalah orang Indonesia, dengan 88,7 persen di antaranya warga Kabupaten Luwu Timur. Tiga dari empat anggota direksi Vale juga orang Indonesia. Tahun ini rencananya ada suksesi sehingga seluruhnya bisa dijalankan talenta Indonesia.

Kontrak karya Vale akan berakhir pada 2025. Beberapa waktu lalu ada pembahasan soal perpanjangan kontrak karya Vale di Komisi VII DPR. Bagaimana tanggapan Anda?

Kami diundang untuk rapat dengar pendapat dan memaparkan kinerja dan target Vale. Kami sudah sampaikan, intinya kinerja kami dilihat dari 3P tadi, People, Planet dan Profit. Saya sampaikan juga prinsip keberlanjutan itu mendarah daging di Vale.

Tentu ada reaksi dan pertanyaan. Tapi bagi kami, semua masukan konstruktif akan kami follow-up. Kami juga terbuka bagi siapa pun yang ingin datang melihat apa sih praktik keberlanjutan Vale di Soroako, silakan datang.

Konteks kontrak karya, waktu itu banyak karyawan dan komunitas menanyakannya. Saya sampaikan fokus saja pada pekerjaan, lakukan yang menjadi tanggung jawab kita dengan baik. Saya yakin betul kalau kita melakuan pekerjaan dan memenuhi kewajiban dengan baik, kita pasti didukung. Itu harapan saya, dan saya juga percaya bahwa pemerintah pasti mendukung kalau kami melakukan segala sesuatu dengan baik.