Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara Asean pada 2022. Perang Rusia-Ukraina telah menambah tekanan terhadap perekonomian global.
Apalagi kondisi perekonomian masih melemah akibat pandemi Covid-19, pengetatan moneter Amerika Serikat, serta kemunculan kembali Covid-19 di Tiongkok.
Invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina telah menimbulkan gejolak harga pangan dan energi. Apalagi terbit sanksi terhadap Rusia yang mengakibatkan terganggunya pasokan komoditas, serta meningkatkan tekanan keuangan.
“Tepat pada saat perekonomian di Asia Timur dan Pasifik mulai pulih dari kejutan yang disebabkan oleh pandemi, perang di Ukraina menjadi beban bagi momentum pertumbuhan,” ujar Manuela V. Ferro, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, seperti dikutip dari laman Bank Dunia.
Kendati ada pemangkasan proyeksi ekonomi, Bank Dunia menilai ekonomi Indonesia masih lebih tangguh dibandingkan negara-negara Asean lain dalam menghadapi dampak perang Rusia-Ukraina. Hal ini dibuktikan dari pemangkasan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih lebih baik dari Malaysia, Vietnam, atau Thailand.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas dari 5,2% pada Oktober 2021 menjadi 5,1% pada April 2022. Jika mengacu ke skenario pertumbuhan terburuk diperkirakan sebesar 4,6%.
Malaysia mengalami pemangkasan sebesar 0,3% dari 5,8% menjadi 5,5%. Sementara pemangkasan pertumbuhan ekonomi Thailand sebesar 0,7% dari 3,6% menjadi 2,9%.
Bank Dunia melihat gejolak baru yang diciptakan perang di Ukraina mengganggu pasokan komoditas, meningkatkan tekanan keuangan, dan menghambat pertumbuhan global.
"Namun, negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia dan Malaysia, dapat meredam kenaikan harga internasional dengan lebih mudah daripada negara-negara pengimpor komoditas, seperti Fiji dan Thailand," kata Bank Dunia dalam laporannya.
Bagi Indonesia, perang Rusia-Ukraina justru menimbulkan efek “durian runtuh” pada penerimaan negara. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara per Februari 2022 naik 37,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 302,4 triliun. Kenaikan ini ditopang oleh melambungnya harga komoditas akibat efek dari perang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menjelaskan, penerimaan pajak naik 36,5% menjadi Rp 199,4 triliun, kepabeanan dan cukai meroket hingga 59,3% menjadi Rp 56,7 triliun, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meningkat 22,5% menjadi Rp 46,2 triliun.
"Kinerja penerimaan negara menggambarkan pemulihan ekonomi yang menggeliat cukup kuat di seluruh sektor. Lonjakan harga komoditas juga memberikan kontribusi besar pada kenaikan pendapatan negara," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi Maret.
Melesatnya penerimaan negara juga memberikan dampak positif pada kinerja APBN secara keseluruhan yang mencetak surplus hingga Rp 28,9 triliun. Jumlah ini jauh lebih baik dari Februari 2021 yang mengalami defisit sebesar Rp 63,3 triliun.