Pemerintah telah menunda penerapan larangan ekspor tembaga ke Juni 2024 dari Juni 2023. Namun, larangan ekspor untuk bijih bauksit tetap berlaku sesuai jadwal, yaitu Juni 2023.
Keputusan penundaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) Pasal 170A, produsen dapat menjual bahan mentah seperti bauksit dan tembaga dalam jumlah tertentu selambat-lambatnya hingga tiga tahun sejak peraturan tersebut berlaku. Ini berarti ekspor seharusnya berhenti pada Juni 2023.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) Arifin Tasrif mengatakan, penundaan larangan ekspor tembaga berkaitan dengan keterlambatan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter). Lembaganya tengah mempersiapkan peraturan menteri untuk memfasilitasi ekspor tanpa harus merevisi UU Minerba.
“Kami melihat jika larangan ekspor ini berlaku Juni 2023, maka PT Freeport Indonesia (akan) terdampak. Sementara (itu) Freeport (dikuasai sahamnya oleh) Indonesia dengan porsi 51%,” kata Arifin di Jakarta Pusat pada 28 April 2023.
Kemajuan pengembangan fasilitas pemurnian Freeport atau PTFI di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, misalnya, baru mencapai 54,5% hingga Januari 2023. Fasilitas senilai Rp 42 triliun ini rencananya akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun.
Menurut Direktur Utama PTFI Tony Wenas, fasilitas pemurnian yang berlokasi di kawasan industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) itu diharapkan mulai beroperasi pada Mei 2024. Target operasi tersebut terlambat kira-kira lima bulan dari yang seharusnya.
Namun, keterlambatan juga terjadi dalam pengembangan fasilitas pemurnian bijih bauksit. Dari delapan fasilitas yang diharapkan masuk pada 2023, kemajuan pengembangan semua fasilitasnya masih kurang dari 60% hingga awal 2023.