Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan didakwa merugikan negara US$113 juta dalam kasus pengadaan gas alam cair (LNG). Karen didakwa korupsi karena kebijakan bisnis yang dibuatnya dianggap menyebabkan kerugian negara. Karen tidak sendirian, sebelumnya dakwaan serupa juga pernah menimpa sejumlah mantan direksi BUMN.
Mantan Direktur Utama (Dirut) Pelindo RJ Lino, mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan, dan mantan Dirut PLN Nur Pamudji pernah mengalami dakwaan yang sama. Sedangkan kasus pengadaan LNG merupakan kali kedua Karen menghadapi dakwaan korupsi. Sebelumnya, dia dibebaskan dalam kasus investasi blok minyak di Australia.
Lantas apakah kerugian bisnis sama artinya sebagai pidana korupsi? Dalam korporasi, direksi dituntut untuk mampu mengambil keputusan secara cepat untuk merespons perubahan dunia bisnis. Pada batasan tertentu, direksi diberikan keleluasaan dan perlindungan hukum meski keputusannya menimbulkan kerugian.
Hal ini yang disebut prinsip Business Judgement Rule (BJR). “Dengan catatan keputusan tersebut diambil dengan mengedepankan asas-asas tata kelola perusahaan yang baik,” tulis riset Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang penerapan BJR pada Juni 2023 lalu.
Indonesia menerapkan prinsip dalam Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Lalu ada Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2022 juga mengatur hal serupa untuk BUMN.
Meski begitu, ICW melihat implementasi BJR di Indonesia masih tidak konsisten. Masih ada ketidakseragaman lembaga hukum dalam memandang pengambilan keputusan dalam korporasi. Untuk itu, ICW merekomendasikan adanya panduan teknis untuk lembaga hukum dalam tindak pidana kejahatan korporasi.