Memahami Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional

Pexels
Ilustrasi, demonstran mengangkat tulisan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam sebuah demonstrasi.
Editor: Agung
23/8/2023, 07.00 WIB

Pada 30 Agustus 2011, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Peringatan ini sebagai sebuah dukungan moral bagi keluarga para korban. Peringatan ini berkaitan dengan upaya peningkatan kesadaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Untuk memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, terdapat banyak cara yang mampu dilakukan. Salah satunya yakni memahami hakikat dan makna peringatan tersebut.

Setiap orang memiliki HAM yang wajib dijunjung tinggi dan saling menghormati hak orang lain, termasuk penghapusan tindakan penghilangan paksa. Berkenaan dengan itu, simak uraian tentang Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional berikut.

Pemahaman tentang Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional (Pexels)

Peringatan ini adalah sebuah tindak lanjut dari Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa yang disahkan pada 18 Desember 1992. Deklarasi tersebut berujung pada Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 20 Desember 2006.

Tujuan utamanya adalah melengkapi kerangka hukum global agar terhindar dari insiden penghilangan paksa di masa depan. Penghilangan paksa adalah masalah global yang melibatkan negara-negara dengan militerisme dan otoritarian yang kuat.

Secara umum, dalam hal ini ada tiga elemen penting yang saling berkaitan. Ketiga elemen tersebut yakni penangkapan ilegal seseorang, perampasan kemerdekaan baik secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh aparat negara, dan penyangkalan terhadap perampasan kemerdekaan itu sendiri.

Sejarah Aksi Penghilangan Paksa di Indonesia

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional (Pexels)

Menurut amnesty.id, penghilangan paksa menjadi masalah global. Pembantaian massal berdarah yang terjadi pada tahun 1965/1966 menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan banyak orang lain hilang.

Hal ini juga terjadi di kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penembakan Misterius, Darurat Militer Aceh, Wasior, Wamena, Abepura, dan pelanggaran HAM Timor Leste yang mengakibatkan ribuan anak terpisah dari orang tuanya (stolen children). Disamping itu, upaya masif penculikan aktivis pro demokrasi yang terjadi antara 1997-1998 belum terendus keberadaan 13 aktivis yang melekat dengannya.

Terakhir adalah kasus Ruth Rudangta Sitepu di Malaysia pada November 2016 dimana warga negara Indonesia. Muncul pula koalisi anti penghilangan paksa seperti Komisi untuk YLBHI, Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Asia Justice and Rights (AJAR), Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), LBH-Jakarta, KontraS Sulawesi, ELSAM, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Federasi KontraS, LBH-Bandung, KontraS Surabaya, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah dan pegiat HAM, dan KontraS Aceh.

Penindasan secara paksa adalah teknik untuk mengurangi kekuatan dari lawan. Kriminalitas ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menghapuskan eksistensi seseorang secara pribadi.

Kebijakan paksa adalah salah satu cara kekuasaan militer untuk membangun ketakutan di masyarakat agar tidak menanggapi kritik. Ini tidak hanya berdampak pada korban yang mengalami penyiksaan dan ancaman tewas, tetapi juga dampaknya terasa oleh keluarga mereka.

Keluarga korban harus menghadapi ketidakpastian tentang nasib anggota keluarga yang hilang tanpa jejak, dan seringkali putus asa saat menunggu kabar selama bertahun-tahun.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mencatat sejumlah peristiwa yang melibatkan metode ini. Beberapa di antaranya adalah penembakan misterius tahun 1982-1985, pembantaian PKI 1965-1966, Tanjung Priok 1984-1985, Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Timor Timur dan lain sebagainya.

Gerakan Anti Penghilangan Paksa Internasional

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional (Pexels)

Pembicaraan tentang praktik penghilangan paksa yang tidak adil mendapatkan perhatian dunia internasional di akhir 1970-an. Ini disebabkan karena peristiwa penghilangan paksa yang masif terjadi di Amerika Latin antara 1960 sampai 1970-an.

Di Guatemala terjadi penghilangan paksa secara massal pada tahun 1966. Situasi itu terjadi saat adanya kondisi politik yang buruk usai ketika militer mengambil alih kekuasaan pada 1954.

Di Chile, penghilangan paksa dimulai setelah kudeta militer Jenderal Augusto Pinochet pada periode 1973-1990, dan di Argentina pada 1976–1983. Dalam peristiwa tersebut puluhan ribu orang diculik akibat kudeta militer Jenderal Jorge Rafael Videla.

Pada 28 Juli 1982, praktik kehilangan paksa yang berlangsung di Argentina mendorong para ibu para korban untuk melakukan aksi damai. Mereka menggelar demonstrasi di Plaza de Mayo di hadapan Casa Rosada, Istana Presiden Buenos Aires, dengan menebar kain bertuliskan nama anggota keluarga mereka yang hilang.

Gerakan anti-penghilangan paksa internasional yang dimulai dari aksi para ibu di Plaza de Mayo berhasil ketika Komisi Nasional Penghilangan Paksa (Comisión Nacional para la Desaparición de Personas) terbentuk. Pada 1984, komisi ini merilis laporan yang mengungkap tentang orang hilang selama rezim militer berkuasa di Argentina berjudul Nunca Mas yang artinya Jangan Terulang Lagi.

Demikian penjelasan terkait Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional yang diperingati setiap 30 Agustus. Selanjutnya dapat diketahui, aksi penghilangan paksa adalah aksi perampasan hak asasi manusia dan seharusnya tidak pernah terjadi.