Konflik antara Walikota Bitung dan Menteri Kelautan dan Perikanan terus berlanjut. Setelah berulang kali memprotes kebijakan moratorium penggunaan kapal ikan asing dan eks asing, Walikota Max Lomban menyampaikan keluh kesahnya kepada rombongan anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja di Bitung, yang terkenal sebagai kota tuna tersebut.
"Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian dan Kelautan berdampak pada peningkatan kemiskinan dan penganguran tenaga kerja bagi masyarakat Bitung,” ujar Lomban, seperti dikutip www.manadopostonline.com, pertengahan Agustus lalu.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Susi Pudjiastuti menyodorkan data Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Manado yang justru mencatat peningkatan produksi perikanan di Bitung. Ekspor produk perikanan Sulawesi Utara periode Januari-Juli 2017 mencapai 66,25 juta dolar AS, naik 23,46 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2016.
“Tidak benar apa yang dikatakan Walikota Bitung, buktinya ekspor perikanan Sulawesi Utara naik,” kata Susi, seperti dikutip Kompas, akhir Agustus lalu.
Terlepas dari esensi perdebatan dan akibat dari kebijakan yang diambil, konflik antara Menteri Susi dan Walikota Max Lomban tak lepas dari lemahnya manajemen pengelolaan data perikanan nasional. Kedua pejabat tersebut menggunakan data yang saling bertolak belakang untuk mendukung pernyataan yang mereka buat.
Padahal, di tengah upaya membangkitkan sektor maritim nasional, yang ditandai dengan semakin meningkatnya anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan data kelautan dan perikanan yang handal sangatlah penting untuk mengambil kebijakan yang tepat sasaran. Konferensi dua tahunan World Ocean Summit (WOS) yang digelar di Bali pada pada 22-24 Februari lalu bahkan menyoroti minim dan buruknya ketersediaan dan pengelolaan data kelautan dan perikanan.
Pembenahan pengelolaan data perlu mendapat perhatian serius karena tanpa data yang rapih, lengkap, dan handal, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat berpotensi kontraproduktif. Oleh sebab itu, pembenahan manajemen data, mulai dari pengumpulan, penyimpanan, hingga analisis, harus menjadi prioritas lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan isu maritime tersebut.
Tentunya, tak dapat dipungkiri bahwa lemahnya pengelolaan data maritim nasional tak lepas dari kurang “seksi’-nya isu kelautan di masa silam. Meski laut meliputi lebih dari sepertiga wilayah Indonesia, sektor maritim kurang mendapat prioritas, sehingga pengelolaan data kelautan kurang mendapat perhatian, baik dari instansi pemerintahan, pendidikan, maupun media. Selain itu, data kelautan dan perikanan tercerai-berai di berbagai intansi, baik di pusat maupun daerah.
Tak hanya konflik antara Walikota Bitung dan Menteri Kelautan dan Perikanan, didasari data yang berbeda, “adu argumentasi” juga terjadi antara Menteri Susi dan pelaku industri ihwal dampak moratorium penggunaan kapal itu. Susi menegaskan, berkat moratorium, tangkapan nelayan meningkat. Sementara para pelaku industri mengeluhkan minimnya tangkapan. Dan, foto-foto pabrik pengelolaan ikan yang sepi dan ditinggal pekerjanya menjadi viral di internet.
Lemahnya pengelolaan dan analisis data juga diduga menjadi pemicu ketegangan antara Menteri Susi dan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, pertengahan tahun lalu. Ketika itu, Susi berkeras untuk melanjutkan moratorium, sementara Luhut meminta dilakukan evaluasi karena dampak negative kebijakan tersebut bagi industri.
Susi juga menegaskan bahwa moratorium akan memberi jeda bagi ikan untuk bereproduksi. Alih-alih, Luhut, mengatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan kemungkinan memberi izin penangkapan ikan kepada nelayan asing.
Kekacauan pengelolaan data juga mengemuka dalam berbagai seminar publik. Para pembicara yang hadir, baik pengambil kebijakan, akademisi, dan pengusaha, memiliki data yang berbeda. Walhasil, sulit untuk mencapai kesepahaman bersama untuk menyelesaikan problem yang muncul di sektor maritim. Di instansi pemerintah, data yang dipegang tiap instansi juga berbeda, sehingga—selain akibat ago sektoral—sulit terwujud kolaborasi antara lembaga negara.
Minimnya transparansi juga menjadi penyebab buruknya pengelolaan data . Padahal, bila lembaga pemerintah lebih terbuka dan data yang dimiliki mudah diakses, akan mendorong proses verifikasi yang dilakukan publik, baik dalam bentuk debat, sehingga data yang disimpan lebih teruji kesahihannya. Munculnya sejumlah organisasi yang berfokus pada manajemen data dan meluasnya praktik jurnalisme data juga akan membantu pengelolaan dan verifikasi data.
Oleh sebab itu, tak dapat ditunda lagi, pemerintah harus segara memprioritaskan pengelolaan data kelautan dan perikanan untuk mewujudkan harapan di sektor maritim. Sebagai contoh, upaya tersebut dapat dimulai dengan “one portal policy” atau pembuatan portal khusus data maritim, yang merupakan kolaborasi seluruh stakeholder, baik pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku usaha. Kolaborasi ini diharapkan akan menghasilkan data yang lebih handal sebagai dasar pengambilan kebijakan yang tepat sasaran, sehingga mendukung upaya mewujudkan tekad Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.***
Catatan: Sebagian isi artikel ini pernah dimuat di The Jakarta Post edisi 4 Maret 2017.
Editor: Adek Media Roza